40
Tahun Gerakan Lingkungan
Emil Salim ; Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993
SUMBER : KOMPAS, 5
Juni 2012
Ketika pembangunan berlangsung tahun 1960-an,
dunia dikejutkan oleh udara buram berkabut di Eropa, penyakit Minamata di
Jepang, dan sunyinya burung-burung berkicauan di musim semi Amerika Serikat.
Maka, dunia pun cemas akan kerusakan lingkungan. Karena itu, diselenggarakanlah
Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia, Juni 1972, di Stockholm, Swedia.
Konferensi ini menyepakati:
Pertama, ”Deklarasi Stockholm” yang
memuat prinsip-prinsip mengelola lingkungan hidup untuk masa depan, khususnya
melalui hukum lingkungan internasional. Kedua, ”Rencana Aksi” mencakup
perencanaan permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian pencemaran,
pendidikan, dan informasi tentang lingkungan hidup. Ketiga, segi kelembagaan,
membentuk Program Lingkungan PBB (United
Nations Environment Program/UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Sepanjang 1972-1982 lingkungan hidup
diperlakukan sebagai sektor tersendiri tanpa menyentuh pembangunan ekonomi.
Karena itu, dalam Konferensi UNEP 1982 disepakati pembentukan Komisi Dunia
untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commission on Environment and Development/WCED) dipimpin Perdana Menteri
Norwegia Gro Harlem Brundtland. Sepanjang 1984-1987 ia mengkaji kaitan
lingkungan dengan pembangunan.
Komisi Brundtland mengusulkan perubahan pola
dari ”pembangunan konvensional” melalui satu jalur ekonomi saja ke ”pembangunan
berkelanjutan” melalui tiga jalur: ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
dilaksanakan serentak.
KTT Bumi
Sepuluh tahun kemudian diselenggarakan
Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World Conference on Environment and Development, WCED) di Rio de
Janeiro, Brasil, 3-14 Juni 1992. Konferensi dihadiri para kepala pemerintahan
negara-negara sedunia membahas pola ini.
Konferensi Tingkat Tinggi—lebih dikenal
sebagai KTT Bumi—ini menghasilkan dokumen Deklarasi
Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, memperteguh komitmen Deklarasi Stockholm 1972. Tekanannya
adalah keterkaitan lingkungan dengan pembangunan.
Dokumen kedua memuat ”Agenda 21” tentang
program pelaksanaan dengan perincian pembiayaannya. Program ini melibatkan
”kelompok utama”, seperti para legislator anggota parlemen, pemerintahan lokal,
pengusaha, ilmuwan, perempuan, pemuda, dan lembaga swadaya. Secara khusus
disorot tentang keuangan, teknologi, dan kelembagaan.
Dokumen ketiga adalah ”Prinsip-prinsip
Kehutanan” memuat pola ”Pengelolaan Hutan secara Berkelanjutan”. Dokumen
keempat adalah ”Konvensi Perubahan Iklim” dan dokumen kelima adalah ”Konvensi
Keanekaan Hayati”.
KTT Bumi 1992 diliputi semangat kerja sama
global tinggi yang didukung iklim politik global dengan meredanya ketegangan
”perang dingin” antara Blok Komunis dan Blok Kapitalis (1992-2000). Dinding
pemisah Berlin Timur dengan Berlin Barat runtuh. Ada harapan ”laba perdamaian
dunia” yang terhimpun kini bisa dimanfaatkan untuk membiayai Agenda 21
Pembangunan Berkelanjutan.
Tahun 2000 Sekjen PBB Kofi Annan mengangkat
isu kemiskinan dalam Target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals, 2000), melengkapi pembangunan
berkelanjutan.
Tiba-tiba meletuslah ”Perang melawan
Terorisme” sebagai akibat pegeboman New York, 11 September 2001. Hancur suasana
optimistis dan hilang pula ”laba perdamaian”. Tahun-tahun menjelang akhir 2000
juga ditandai krisis ekonomi global. Indonesia adalah salah satu korban.
Pemerintahan Orde Baru pun digantikan Orde Reformasi sejak 1998. Kekuatan
ekonomi Jepang surut, sedangkan kekuatan ekonomi Republik Rakyat China (RRC)
bangkit. Peta kekuatan ekonomi pun bergeser dari Barat ke Timur.
Dunia Berubah
Dalam suasana perubahan politik dan ekonomi
global seperti ini berlangsunglah World
Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan, Juni
2002. Kesepakatan Konferensi penting adalah Deklarasi Johannesburg yang memuat
visi masa depan umat manusia dengan penjabaran lebih luas dari segi-segi
pembangunan berkelanjutan Rio 1992.
Juga disepakati saran keuangan hasil
Pertemuan Menteri-Menteri Keuangan di Monterrey (2001) dan saran perdagangan
hasil Pertemuan Menteri-Menteri Perdagangan di Doha (2001). Untuk pertama kali
menteri non-lingkungan aktif dalam konferensi lingkungan.
Kesepakatan kedua adalah Johannesburg Plan of Implementation yang menambah Agenda 21 dengan
isu HIV/AIDS, dimensi sosial pembangunan berkelanjutan, kesetaraan jender, air,
energi, kesehatan, pertanian, dan keanekaan hayati.
Dunia kini sedang menyiapkan UN Conference on Sustainable Development,
Rio+20, di Rio de Janeiro, Brasil, Juni 2012. Dokumen utamanya adalah ”The Future We Want”, mengintegrasikan
pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan,
ditopang keuangan, sains-teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia. Dokumen
kedua menjabarkan kelembagaan pelaksanaannya dalam lingkungan PBB.
Tampak trend
perkembangan dari sekadar isu pencemaran tahun 1972, Konferensi Rio+20 kini
berkembang lebih luas. Sekjen PBB merencanakan kerangka Sustainable Development Goals (SDG) memuat upaya MDG, perubahan
iklim, keberlanjutan keanekaan hayati, sekuritas pangan, energi, dan lain
tantangan global penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia masa datang.
Untuk inilah Sekjen PBB meminta Presiden
Republik Indonesia, Presiden Liberia, dan Perdana Menteri Inggris menjadi Co-Chairs memimpin High Level Panel on SDG, memberi masukan tentang ”peta jalan” dari
Rio+20 (2012) ke MDG-Summit (2013) dan ke masa depan melalui pola pembangunan
berkelanjutan dengan ukuran keberhasilan ”produk domestik bruto dimensi ekonomi
plus sosial plus lingkungan”.
”Peta jalan” dunia ini juga penting bagi
Indonesia menanggapi keberlanjutannya ke-100 pada 2045. Maka sangatlah urgen
melengkapi pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan lingkungan menuju
Indonesia 2045. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar