Rabu, 20 Juni 2012

Akuntabilitas dan Ekuitas Penerimaan Mahasiswa

Akuntabilitas dan Ekuitas Penerimaan Mahasiswa
Yohanes Nugroho Widiyanto ; Dosen Unika Widya Mandala Surabaya
Sumber :  KOMPAS, 20 Juni 2012


Peran mahasiswa dalam penentuan arah bangsa sudah terbukti dalam sejarah republik ini. Merekalah tulang punggung pembentukan sebuah masyarakat madani yang dilandasi oleh cara hidup dan berpikir demokratis, beradab, serta memiliki keunggulan kompetitif dalam berhadapan dengan negara-negara lain di era global ini.

Berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah yang menjadi kewajiban konstitusional negara untuk menyediakannya, kursi yang tersedia di perguruan tinggi memang tidak sebanding dengan jumlah lulusan pendidikan menengah atas. Oleh karena itu, seleksi mahasiswa baru, terutama di universitas negeri, menempati peran yang sangat besar dalam menentukan siapa yang nantinya akan dididik menjadi calon pemimpin bangsa.

Seleksi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan prosesnya, yang berarti akuntabilitasnya rendah dan yang tidak memberikan kesempatan yang adil, terutama bagi kelompok terpinggirkan (ekuitas rendah), hanya akan membuat bangsa ini terkungkung lingkaran setan ketidakadilan dan ketidakmerataan.

Mobilitas Sosial

Kesempatan untuk mendapatkan bangku di perguruan tinggi memang berhubungan dengan mobilitas sosial. Seseorang bisa berpindah status sosial ekonominya ke tingkat yang lebih tinggi apabila sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan. Hal ini didasarkan pada situasi umum bahwa orang yang meraih sarjana mendapat kesempatan lebih besar untuk meraih pekerjaan profesional dengan penghasilan yang lebih besar.

Dalam konteks itulah Ruth A Childs et al (2011) menyebut ada tiga pola mobilitas sosial yang digunakan dalam menentukan penerimaan mahasiswa baru. Pertama adalah contest mobility, di mana panitia seleksi mahasiswa baru melihat bahwa semua calon mempunyai kesempatan yang sama sehingga yang terbaik sajalah yang bisa diterima.

Biasanya yang jadi ukuran ialah nilai dalam tes standar (dalam konteks Indonesia: hasil tes seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri/SNMPTN). Sistem ini seolah menyiratkan keadilan karena hanya anak bangsa terbaik yang berhak mendapatkan kursi di PTN. Akan tetapi, sistem ini jelas menafikan kesenjangan sosial ekonomi yang nyata di republik ini.

Seorang yang berasal dari keluarga menengah ke atas yang didukung gizi yang baik, tidak ada beban untuk membantu keluarga mencari nafkah, dan mendapat tambahan pelajaran dari lembaga bimbingan belajar yang bisa ”menyiasati” soal ujian tertulis SNMPTN jelas memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapat skor yang lebih tinggi.

Inilah sebuah kontes/pertandingan yang seakan adil, tetapi sebenarnya tidak adil. Ibarat mempertandingkan seorang petinju dari kelas berat melawan petinju dari kelas nyamuk. Praktik ketidakadilan yang lebih tragis lagi adalah ”kontes” yang mempertandingkan seberapa besar nilai uang yang akan disumbang lewat jalur undangan.

Perhatikan yang Miskin

Pola kedua adalah sponsored mobility, di mana perguruan tinggi memberi dukungan kepada para calon mahasiswa dari golongan miskin untuk bisa mengecap pendidikan tinggi. Dengan cara ini diharapkan mereka bisa memperbaiki harkat hidup keluarga setelah mereka lulus.

Dalam konteks Indonesia, program bidik misi adalah salah satu perwujudan dari pola ini. Akan tetapi, masih ada kritik terhadap pola ini, yaitu kurangnya akuntabilitas dalam perekrutan. Disinyalir orang yang tidak berhak dibela justru mendapat kursi. Ketidaktepatan sasaran disinyalir terjadi lewat praktik pemalsuan dokumen sehingga anak orang kaya bisa mendapatkan kursi melalui jalur ini.

Lebih menyedihkan lagi, beberapa oknum dosen yang seharusnya memiliki kepekaan sosial tinggi juga turut serta dalam mencari keuntungan diri sendiri dengan memasukkan anaknya lewat jalur ini.

Pola ketiga yang direkomendasikan adalah structured mobility, di mana para pemegang kebijaksanaan dunia pendidikan menyadari bahwa ada kesenjangan kesejahteraan di negara kita. Karena itulah mereka ikut memikirkan sebuah rekayasa sosial agar struktur masyarakat piramidal yang terus bertahan berabad-abad bisa diperbaiki.

Pola ketiga ini memiliki kemiripan dengan pola kedua. Yang membedakan adalah bahwa ada unsur transparansi dalam prosesnya. Kalau pola pertama hanya menonjolkan sisi akuntabilitas dan pola kedua hanya menonjolkan unsur ekuitas, pola ketiga ini menonjolkan unsur ekuitas tanpa melupakan unsur akuntabilitas.

Ekuitas Perlu

Alangkah baiknya para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan menentukan kebijakan bersama untuk meningkatkan ekuitas penerimaan mahasiswa baru tanpa melupakan akuntabilitas proses seleksinya. Sudah saatnya kelompok yang diidentifikasi sebagai kalangan yang terpinggirkan (kaum miskin, buruh tani, suku terpencil, bagian timur Indonesia, dan seterusnya) memperoleh kesempatan lebih besar masuk perguruan tinggi berkualitas.

Program Bidik Misi yang diharapkan meningkatkan ekuitas menunjukkan penyerapan yang rendah, di mana dari 40.000 kursi yang tersedia, hanya terserap 15.000. Pemerintah semestinya menyikapinya dengan memberikannya kursi yang tersisa kepada perguruan tinggi swasta (PTS) yang selama ini menjadi tumpuan harapan para calon mahasiswa yang gagal menembus PTN.

Dikotomi PTN dan PTS harus dihapus kalau kita menginginkan sebuah rekayasa sosial yang melibatkan seluruh potensi bangsa. Yang penting para calon mahasiswa harus direkrut lewat proses yang transparan dan dibantu proses belajarnya sehingga mereka bisa kembali ke kelompok masyarakat asalnya dan membantu memperkecil kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar