Ancaman
Geo-Energi Amerika-Australia
Eddy Purwanto ; Mantan Deputi Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi
SUMBER : KORAN
TEMPO, 08 Juni 2012
Kontingen pertama sebanyak 200 marinir
Amerika Serikat telah tiba di Darwin, Australia, sebagai bagian dari strategi
Amerika yang akan menempatkan 2.500 marinir untuk meningkatkan kekuatan militer
Amerika di kawasan Asia-Pasifik (4 April lalu). Perdana Menteri Australia Julia
Gillard mengungkapkan, Australia dan Amerika memasuki babak baru dalam sejarah
persekutuan yang sudah berusia 61 tahun sebagai reaksi terhadap perubahan
keseimbangan global, baik ekonomi maupun politik, terutama geo-energi.
Barak militer Amerika, Robertson, hanya
berjarak 800 kilometer dari wilayah Indonesia.
Posisi ini memungkinkan militer
Amerika bergerak cepat menghadapi masalah geopolitik dan geo-energi di Asia
Tenggara, termasuk kawasan Indonesia. Terlebih setelah pemerintah Cina mengumumkan
anggaran belanja militer 2012 yang akan meningkat dua digit sebesar 11,2 persen
menjadi US$ 106 miliar atau Rp 969 triliun sehingga mendorong banyak negara
membangun hubungan yang lebih erat, bahkan mengundang kehadiran Amerika yang
lebih nyata di Asia Tenggara.
Bulan sebelumnya dikabarkan Australia telah
memberi isyarat mengizinkan Amerika menggunakan Kepulauan Cocos di Samudra
Hindia sebagai basis pesawat tanpa awak (Drone)
yang berjarak hanya 1.000 kilometer dari wilayah Indonesia, berhadapan langsung
dengan Pulau Jawa dan Sumatera. Kepulauan Cocos oleh Amerika dianggap ideal
untuk menerbangkan pesawat mata-mata ke kawasan Laut Cina Selatan sebagai jalur
perdagangan internasional yang terpenting di Asia-Pasifik.
Amerika-Australia
Di luar dugaan sebelumnya, dalam waktu yang
tidak terlalu lama Amerika dan Australia siap menjadi poros geo-energi baru
sebagai sentrum penghasil serta pengekspor gas yang unggul di dunia. Australia
dewasa ini memiliki cadangan gas nomor 12 terbesar di dunia sebesar 110 triliun
kaki kubik dan akan terus bertambah dengan pesat dengan telah ditemukannya
cekungan migas baru, bahkan Australia kini sudah menjadi negara pengekspor gas
keempat terbesar dan siap menjadi sentrum gas dunia karena Australia sedang
mempersiapkan pembangunan tujuh kilang LNG baru dengan anggaran US$ 200 miliar.
Apabila semua kilang siap berproduksi, Australia sanggup mengekspor 95,7 juta
ton per tahun, lima kali lipat volume ekspor sekarang, yaitu 19 juta ton per
tahun atau lima kali volume ekspor Indonesia.
Di sisi lain, Amerika melalui revolusi
teknologi shale gas berhasil menguasai cadangan gas kelima terbesar di
dunia sebesar 273 triliun kaki kubik dan siap mengalahkan Rusia. Namun ekspor
gas Amerika masih tertahan karena di dalam negeri menghadapi tantangan
kebangkitan ekonomi yang membutuhkan harga gas domestik semurah mungkin, serta
menghadapi kendala politik domestik sehingga pemerintah Amerika harus menunggu
waktu yang tepat untuk mengeluarkan izin ekspor. Gas yang berlimpah menyebabkan
harga gas domestik Amerika turun di bawah US$ 3 per seribu kaki kubik.
Suka tidak suka, Amerika dan Australia
selepas 2020 akan menjadi dua sentrum gas bumi yang unggul di dunia. Sebagai bakal
pemasok LNG dunia, Amerika dan Australia memiliki beberapa kesamaan
kepentingan: yang pertama, pasar bersama di Asia-Pasifik dengan kebutuhan gas
yang terus berkembang, dan yang kedua, jaminan keamanan jalur perdagangan laut
yang menghubungkan Amerika dan Australia menuju negara-negara pembeli, terutama
Jepang, Korea Selatan, India, Taiwan, dan lainnya.
Untuk memudahkan akses ekspor LNG ke Asia
Timur, pada 2014 Amerika bersama Kanada berencana memperlebar Terusan Panama.
Dari sisi geo-politik, Amerika dan Australia mempunyai kepentingan bersama
mengamankan kawasan Laut Cina Selatan yang menjadi salah satu sumber kerawanan
terbesar menghadapi Cina yang berkali-kali mengklaim bahwa seluruh kawasan Laut
Cina Selatan adalah wilayah kedaulatan Cina.
Namun, di sisi lain, selepas 2020,
Cina sebagai pengguna energi terbesar di dunia ternyata memiliki potensi
menjadi sentrum gas yang baru karena diduga memiliki cadangan shale gas
19 persen dari cadangan gas dunia (Ernst & Young). Cina sudah memerintahkan
tiga perusahaan minyak nasional mengadopsi teknologi fracturing shale gas
mutakhir.
Amerika dan Australia berkolaborasi membentuk
poros geo-energi dan berambisi menguasai pasar gas Asia-Pasifik serta siap
bersaing dengan poros geo-energi lain. Rusia sebelumnya sudah menjadi negara
pengekspor gas terbesar di dunia, terutama untuk kebutuhan Eropa. Untuk pertama
kalinya Cina dan Rusia menggelar latihan angkatan laut gabungan di Laut Kuning
(23 April lalu). Menghadapi poros Amerika-Australia di Asia-Pasifik, sebagai tandingan
Cina siap bergabung dengan Rusia membentuk poros geo-energi membentuk
kesetimbangan global yang baru berbasis energi.
Ketahanan Maritim Indonesia
Dari tujuh selat yang strategis di dunia,
empat di antaranya berada di wilayah Indonesia, sehingga menempatkan perairan
wilayah Nusantara menjadi sangat strategis sekaligus rawan terhadap ancaman
keamanan dan lingkungan. Indonesia menjadi mata rantai maritim terpenting bagi
ekspor gas Australia menuju negara-negara pembeli di Asia Timur, sehingga wajar
Australia berkolaborasi dengan Amerika untuk bersama-sama menjaga keamanan
regional, termasuk juga mengawasi wilayah Indonesia yang luas. Di sisi lain,
Amerika mempunyai kepentingan menghadapi manuver Cina di Laut Cina Selatan
sebagai alur utama lalu lintas perdagangan dunia. Keamanan kawasan perairan ini
juga penting bagi Indonesia untuk kelancaran ekspor komoditas dan LNG ke
negara-negara Asia Timur.
Bagi Indonesia, di satu sisi poros
Amerika-Australia membawa kebaikan bagi jaminan keamanan regional dan keamanan
maritim, tapi di sisi lain mengandung sedikitnya dua ancaman.
Ancaman Ekonomi
Selepas 2020, gas bumi dari Australia dan
Amerika mulai membanjiri pasar Asia-Pasifik sehingga akan menekan harga gas
pada kontrak-kontrak baru serta pasar spot di Asia-Pasifik. Indonesia
terancam kehilangan devisa yang signifikan apabila proyek gas baru, seperti
Masela dan Donggi, terlambat dan baru selesai selepas 2016. Apabila Amerika
merealisasi pangkalan pesawat mata-mata tanpa awak Drone di Pulau Cocos,
dikhawatirkan akan menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan wilayah RI terhadap
operasi pengintaian dan intervensi asing.
Ancaman politik lainnya, Indonesia tersandera
oleh dua kekuatan adidaya yang masing-masing mempunyai penggembira di Asia
Tenggara. Apabila Indonesia condong ke arah poros Amerika, dikhawatirkan
"kegusaran" Cina tersulut, yang akan berdampak negatif terhadap
hubungan kedua negara serta mengancam kedaulatan Indonesia atas wilayah East
Natuna yang kaya akan gas.
Soal rencana kehadiran Drone, Indonesia memang tidak perlu mengirim nota protes kepada
Amerika, tapi wajar bila Kementerian Luar Negeri "bertanya" secara
resmi. Di sisi lain, menghadapi persaingan kedua poros politik-energi,
sewajarnya Kementerian Pertahanan mulai meningkatkan kewaspadaan nasional,
serta memperkuat kesiagaan komando pertahanan udara dan maritim melalui
penambahan serta modernisasi armada pesawat tempur dan kapal perang, seperti
yang telah dilakukan oleh negara-negara tetangga kita.
Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ke Cina beberapa waktu lalu diharapkan dapat memberikan gambaran positif bahwa
Indonesia tidak berniat memihak poros mana pun, dan tidak mengharapkan lahirnya
perang dingin model baru yang bermotif energi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar