Minggu, 10 Juni 2012

Ancaman Geo-Energi Amerika-Australia


Ancaman Geo-Energi Amerika-Australia
Eddy Purwanto ; Mantan Deputi Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
SUMBER :  KORAN TEMPO, 08 Juni 2012


Kontingen pertama sebanyak 200 marinir Amerika Serikat telah tiba di Darwin, Australia, sebagai bagian dari strategi Amerika yang akan menempatkan 2.500 marinir untuk meningkatkan kekuatan militer Amerika di kawasan Asia-Pasifik (4 April lalu). Perdana Menteri Australia Julia Gillard mengungkapkan, Australia dan Amerika memasuki babak baru dalam sejarah persekutuan yang sudah berusia 61 tahun sebagai reaksi terhadap perubahan keseimbangan global, baik ekonomi maupun politik, terutama geo-energi.
Barak militer Amerika, Robertson, hanya berjarak 800 kilometer dari wilayah Indonesia. 

Posisi ini memungkinkan militer Amerika bergerak cepat menghadapi masalah geopolitik dan geo-energi di Asia Tenggara, termasuk kawasan Indonesia. Terlebih setelah pemerintah Cina mengumumkan anggaran belanja militer 2012 yang akan meningkat dua digit sebesar 11,2 persen menjadi US$ 106 miliar atau Rp 969 triliun sehingga mendorong banyak negara membangun hubungan yang lebih erat, bahkan mengundang kehadiran Amerika yang lebih nyata di Asia Tenggara.

Bulan sebelumnya dikabarkan Australia telah memberi isyarat mengizinkan Amerika menggunakan Kepulauan Cocos di Samudra Hindia sebagai basis pesawat tanpa awak (Drone) yang berjarak hanya 1.000 kilometer dari wilayah Indonesia, berhadapan langsung dengan Pulau Jawa dan Sumatera. Kepulauan Cocos oleh Amerika dianggap ideal untuk menerbangkan pesawat mata-mata ke kawasan Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan internasional yang terpenting di Asia-Pasifik.

Amerika-Australia

Di luar dugaan sebelumnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama Amerika dan Australia siap menjadi poros geo-energi baru sebagai sentrum penghasil serta pengekspor gas yang unggul di dunia. Australia dewasa ini memiliki cadangan gas nomor 12 terbesar di dunia sebesar 110 triliun kaki kubik dan akan terus bertambah dengan pesat dengan telah ditemukannya cekungan migas baru, bahkan Australia kini sudah menjadi negara pengekspor gas keempat terbesar dan siap menjadi sentrum gas dunia karena Australia sedang mempersiapkan pembangunan tujuh kilang LNG baru dengan anggaran US$ 200 miliar. Apabila semua kilang siap berproduksi, Australia sanggup mengekspor 95,7 juta ton per tahun, lima kali lipat volume ekspor sekarang, yaitu 19 juta ton per tahun atau lima kali volume ekspor Indonesia.

Di sisi lain, Amerika melalui revolusi teknologi shale gas berhasil menguasai cadangan gas kelima terbesar di dunia sebesar 273 triliun kaki kubik dan siap mengalahkan Rusia. Namun ekspor gas Amerika masih tertahan karena di dalam negeri menghadapi tantangan kebangkitan ekonomi yang membutuhkan harga gas domestik semurah mungkin, serta menghadapi kendala politik domestik sehingga pemerintah Amerika harus menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan izin ekspor. Gas yang berlimpah menyebabkan harga gas domestik Amerika turun di bawah US$ 3 per seribu kaki kubik.

Suka tidak suka, Amerika dan Australia selepas 2020 akan menjadi dua sentrum gas bumi yang unggul di dunia. Sebagai bakal pemasok LNG dunia, Amerika dan Australia memiliki beberapa kesamaan kepentingan: yang pertama, pasar bersama di Asia-Pasifik dengan kebutuhan gas yang terus berkembang, dan yang kedua, jaminan keamanan jalur perdagangan laut yang menghubungkan Amerika dan Australia menuju negara-negara pembeli, terutama Jepang, Korea Selatan, India, Taiwan, dan lainnya.

Untuk memudahkan akses ekspor LNG ke Asia Timur, pada 2014 Amerika bersama Kanada berencana memperlebar Terusan Panama. Dari sisi geo-politik, Amerika dan Australia mempunyai kepentingan bersama mengamankan kawasan Laut Cina Selatan yang menjadi salah satu sumber kerawanan terbesar menghadapi Cina yang berkali-kali mengklaim bahwa seluruh kawasan Laut Cina Selatan adalah wilayah kedaulatan Cina. 

Namun, di sisi lain, selepas 2020, Cina sebagai pengguna energi terbesar di dunia ternyata memiliki potensi menjadi sentrum gas yang baru karena diduga memiliki cadangan shale gas 19 persen dari cadangan gas dunia (Ernst & Young). Cina sudah memerintahkan tiga perusahaan minyak nasional mengadopsi teknologi fracturing shale gas mutakhir.

Amerika dan Australia berkolaborasi membentuk poros geo-energi dan berambisi menguasai pasar gas Asia-Pasifik serta siap bersaing dengan poros geo-energi lain. Rusia sebelumnya sudah menjadi negara pengekspor gas terbesar di dunia, terutama untuk kebutuhan Eropa. Untuk pertama kalinya Cina dan Rusia menggelar latihan angkatan laut gabungan di Laut Kuning (23 April lalu). Menghadapi poros Amerika-Australia di Asia-Pasifik, sebagai tandingan Cina siap bergabung dengan Rusia membentuk poros geo-energi membentuk kesetimbangan global yang baru berbasis energi.

Ketahanan Maritim Indonesia

Dari tujuh selat yang strategis di dunia, empat di antaranya berada di wilayah Indonesia, sehingga menempatkan perairan wilayah Nusantara menjadi sangat strategis sekaligus rawan terhadap ancaman keamanan dan lingkungan. Indonesia menjadi mata rantai maritim terpenting bagi ekspor gas Australia menuju negara-negara pembeli di Asia Timur, sehingga wajar Australia berkolaborasi dengan Amerika untuk bersama-sama menjaga keamanan regional, termasuk juga mengawasi wilayah Indonesia yang luas. Di sisi lain, Amerika mempunyai kepentingan menghadapi manuver Cina di Laut Cina Selatan sebagai alur utama lalu lintas perdagangan dunia. Keamanan kawasan perairan ini juga penting bagi Indonesia untuk kelancaran ekspor komoditas dan LNG ke negara-negara Asia Timur.

Bagi Indonesia, di satu sisi poros Amerika-Australia membawa kebaikan bagi jaminan keamanan regional dan keamanan maritim, tapi di sisi lain mengandung sedikitnya dua ancaman.

Ancaman Ekonomi

Selepas 2020, gas bumi dari Australia dan Amerika mulai membanjiri pasar Asia-Pasifik sehingga akan menekan harga gas pada kontrak-kontrak baru serta pasar spot di Asia-Pasifik. Indonesia terancam kehilangan devisa yang signifikan apabila proyek gas baru, seperti Masela dan Donggi, terlambat dan baru selesai selepas 2016. Apabila Amerika merealisasi pangkalan pesawat mata-mata tanpa awak Drone di Pulau Cocos, dikhawatirkan akan menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan wilayah RI terhadap operasi pengintaian dan intervensi asing.

Ancaman politik lainnya, Indonesia tersandera oleh dua kekuatan adidaya yang masing-masing mempunyai penggembira di Asia Tenggara. Apabila Indonesia condong ke arah poros Amerika, dikhawatirkan "kegusaran" Cina tersulut, yang akan berdampak negatif terhadap hubungan kedua negara serta mengancam kedaulatan Indonesia atas wilayah East Natuna yang kaya akan gas.

Soal rencana kehadiran Drone, Indonesia memang tidak perlu mengirim nota protes kepada Amerika, tapi wajar bila Kementerian Luar Negeri "bertanya" secara resmi. Di sisi lain, menghadapi persaingan kedua poros politik-energi, sewajarnya Kementerian Pertahanan mulai meningkatkan kewaspadaan nasional, serta memperkuat kesiagaan komando pertahanan udara dan maritim melalui penambahan serta modernisasi armada pesawat tempur dan kapal perang, seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara tetangga kita.

Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Cina beberapa waktu lalu diharapkan dapat memberikan gambaran positif bahwa Indonesia tidak berniat memihak poros mana pun, dan tidak mengharapkan lahirnya perang dingin model baru yang bermotif energi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar