Sabtu, 09 Juni 2012

Ani, SBY, dan Balada Demokrat


Ani, SBY, dan Balada Demokrat
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
SUMBER :  KOMPAS, 8 Juni 2012


Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berulang kali menegaskan untuk tak memajukan istrinya, Kristiani (Ani) Yudhoyono, sebagai calon presiden, para petinggi Partai Demokrat lain ternyata masih terus mendorong tampilnya sang Ibu Negara.
Jika serius dengan pernyataannya, mengapa SBY tak kunjung menegur petinggi partai yang cenderung menjerumuskannya? Barangkali itulah fenomena politik Indonesia, atau tepatnya gaya politik Jawa, yang tak kunjung berubah hingga kini. Ungkapan verbal seorang pemimpin atau petinggi parpol dengan latar kultur Jawa belum tentu dapat diartikan sebagaimana bunyi pernyataan verbal. Di luar ungkapan verbal masih ada bahasa tubuh berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, dan intonasi suara, yang pemaknaannya bisa berbeda, bahkan bertolak belakang dengan bahasa verbal.

SBY dan Pengultusan

Mantan penguasa abadi rezim Orde Baru, almarhum Soeharto, dikenal luas sebagai representasi figur pemimpin yang hampir selalu menggunakan langgam dan gaya politik Jawa ini. Para menteri dan orang terdekatnya harus paham betul makna di balik bahasa tubuh sang pandito Orde Baru ini. Jika elite lingkar dalam Istana hanya bertolak dari bahasa verbal tanpa mencoba memahami makna bahasa tubuh Soeharto, bisa dipastikan akan menjadi malapetaka bagi yang bersangkutan.

Pertanyaannya, apakah pernyataan SBY terkait pencapresan Ani Yudhoyono merupakan sikap final seperti dikemukakan secara verbal atau sikap sementara yang bisa berubah bersamaan berlalunya waktu dan kian dekatnya Pemilu 2014. Dengan kata lain, apakah pernyataan verbal SBY sungguh mencerminkan kehendak dan suasana hati? Secara singkat kita mungkin bisa menjawab: hanya SBY dan Tuhan yang tahu!

Sebenarnya konstitusi kita menjamin, siapa pun memiliki hak politik untuk menjadi pejabat publik, termasuk sebagai calon presiden. Apalagi, bagi seorang Ani Yudhoyono yang pernah menjabat Wakil Ketua Umum Partai Demokrat dan dua periode mendampingi SBY sebagai Ibu Negara. Wajar jika sejumlah petinggi Demokrat mewacanakannya sebagai salah satu calon presiden dari partai mereka.

Persoalannya barangkali bukan sekadar masalah hak politik individu Ani Yudhoyono dan hak institusi Partai Demokrat yang hendak mengusungnya sebagai capres. Juga bukan semata-mata soal ”hak genealogis” Ani Yudhoyono sebagai putri Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat yang heroik dan berjasa memimpin penumpasan para pendukung Gerakan 30 September 1965. Lebih jauh dari itu, pencapresan Ani agak mengkhawatirkan karena posisi dan statusnya sebagai Ibu Negara sekaligus istri Presiden SBY.

Artinya, pencapresan Ani Yudhoyono bisa dipandang sebagai cara segelintir petinggi Demokrat mengultuskan keluarga SBY: seolah-olah tak ada figur lain yang lebih layak ketimbang istri Presiden. Di sisi lain, sikap ngotot petinggi Demokrat—padahal sang suami melarangnya—juga bisa dilihat sebagai praktik kultur politik ABS (asal bapak senang) ala Orde Baru yang sudah kita tolak. Karena itu, jika tak ada makna lain di balik pernyataan publik Presiden, semestinya SBY menegur ”kelancangan” para petinggi Demokrat pada kesempatan pertama.

Kehendak Rakyat

Lalu, mengapa SBY membiarkan para petinggi Demokrat tetap mewacanakan pencapresan istrinya? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, SBY membiarkan Ruhut Sitompul dan kawan-kawan terus ”bernyanyi” tentang pencapresan Ani karena ingin mengetahui reaksi publik dan tingkat penerimaan masyarakat terhadap figur istrinya. Jika publik dapat menerima Ani sebagai salah satu capres, tentu tidak sulit bagi SBY ”meluruskan” kembali pernyataannya. Misalnya, dengan mengatakan bahwa pencapresan Ani Yudhoyono, istrinya, adalah ”kehendak rakyat”.

Kedua, SBY tak menegur Ruhut dan petinggi Demokrat lain karena Ketua Dewan Pembina sendiri masih gamang, siapa kira-kira yang layak diusung partainya sebagai capres dalam pemilu mendatang. Meski banyak nama beredar, hampir tak satu pun yang benar-benar menonjol dibandingkan yang lain. Hasil survei publik sejauh ini hanya menyebut nama Megawati (PDI Perjuangan), Prabowo Subianto (Gerinda), Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie (Golkar), serta Mahfud MD (nonpartai) yang memiliki tingkat elektabilitas agak lumayan. Ironisnya, tidak seorang pun di antaranya berasal dari Demokrat.

Ketiga, secara personal SBY sejak lama dikenal tak punya sikap konfrontatif, termasuk kepada kader Demokrat sendiri. Pencapresan Ani hak politik para kader Demokrat yang tak harus sama dengan sikap politik pribadi SBY yang tak hendak menjerumuskan sang istri ke dalam lumpur kekuasaan yang masih keruh.

Fenomena Demokrat dapat diibaratkan sebagai balada dari parpol relatif baru, lalu jadi pemenang pemilu, tetapi gagal mengelola momentum ”kebesaran”-nya sebagai aset untuk investasi kepemimpinan masa depan. Kepemimpinan SBY yang lembek dan cenderung tunduk pada tekanan koalisi parpol pendukung di DPR adalah sebagian sumber kegagalan itu, di samping ketidakmampuan para kader Demokrat memahami bahasa tubuh SBY.

Sumber lain adalah wabah korupsi yang menjerat sejumlah kader Demokrat yang akhirnya mengantar M Nazaruddin, bekas bendahara umum, ke penjara. Jika kader Demokrat lainnya, termasuk Ketua Umum Anas Urbaningrum, dinyatakan terlibat dalam kasus dugaan korupsi, tidak mustahil balada Demokrat berlanjut hingga Pemilu 2014. Karena itu, kini persoalannya terpulang kepada SBY: apakah akan membiarkan nasib Demokrat ”digoreng” oleh media dan akhirnya ditelan sejarah atau secara ksatria memanfaatkan sisa waktu kepresidenannya untuk mewariskan sesuatu yang bermakna dan bakal terus diingat oleh bangsa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar