Ani,
SBY, dan Balada Demokrat
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
SUMBER : KOMPAS, 8
Juni 2012
Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berulang kali menegaskan untuk tak memajukan istrinya, Kristiani (Ani)
Yudhoyono, sebagai calon presiden, para petinggi Partai Demokrat lain ternyata
masih terus mendorong tampilnya sang Ibu Negara.
Jika serius dengan pernyataannya, mengapa SBY
tak kunjung menegur petinggi partai yang cenderung menjerumuskannya? Barangkali
itulah fenomena politik Indonesia, atau tepatnya gaya politik Jawa, yang tak
kunjung berubah hingga kini. Ungkapan verbal seorang pemimpin atau petinggi
parpol dengan latar kultur Jawa belum tentu dapat diartikan sebagaimana bunyi
pernyataan verbal. Di luar ungkapan verbal masih ada bahasa tubuh berupa
isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, dan intonasi suara, yang pemaknaannya
bisa berbeda, bahkan bertolak belakang dengan bahasa verbal.
SBY dan Pengultusan
Mantan penguasa abadi rezim Orde Baru,
almarhum Soeharto, dikenal luas sebagai representasi figur pemimpin yang hampir
selalu menggunakan langgam dan gaya politik Jawa ini. Para menteri dan orang
terdekatnya harus paham betul makna di balik bahasa tubuh sang pandito Orde
Baru ini. Jika elite lingkar dalam Istana hanya bertolak dari bahasa verbal
tanpa mencoba memahami makna bahasa tubuh Soeharto, bisa dipastikan akan
menjadi malapetaka bagi yang bersangkutan.
Pertanyaannya, apakah pernyataan SBY terkait
pencapresan Ani Yudhoyono merupakan sikap final seperti dikemukakan secara
verbal atau sikap sementara yang bisa berubah bersamaan berlalunya waktu dan
kian dekatnya Pemilu 2014. Dengan kata lain, apakah pernyataan verbal SBY
sungguh mencerminkan kehendak dan suasana hati? Secara singkat kita mungkin
bisa menjawab: hanya SBY dan Tuhan yang tahu!
Sebenarnya konstitusi kita menjamin, siapa
pun memiliki hak politik untuk menjadi pejabat publik, termasuk sebagai calon
presiden. Apalagi, bagi seorang Ani Yudhoyono yang pernah menjabat Wakil Ketua
Umum Partai Demokrat dan dua periode mendampingi SBY sebagai Ibu Negara. Wajar
jika sejumlah petinggi Demokrat mewacanakannya sebagai salah satu calon
presiden dari partai mereka.
Persoalannya barangkali bukan sekadar masalah
hak politik individu Ani Yudhoyono dan hak institusi Partai Demokrat yang
hendak mengusungnya sebagai capres. Juga bukan semata-mata soal ”hak
genealogis” Ani Yudhoyono sebagai putri Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen
Para Komando Angkatan Darat yang heroik dan berjasa memimpin penumpasan para
pendukung Gerakan 30 September 1965. Lebih jauh dari itu, pencapresan Ani agak
mengkhawatirkan karena posisi dan statusnya sebagai Ibu Negara sekaligus istri
Presiden SBY.
Artinya, pencapresan Ani Yudhoyono bisa dipandang
sebagai cara segelintir petinggi Demokrat mengultuskan keluarga SBY:
seolah-olah tak ada figur lain yang lebih layak ketimbang istri Presiden. Di
sisi lain, sikap ngotot petinggi Demokrat—padahal sang suami melarangnya—juga
bisa dilihat sebagai praktik kultur politik ABS (asal bapak senang) ala Orde
Baru yang sudah kita tolak. Karena itu, jika tak ada makna lain di balik
pernyataan publik Presiden, semestinya SBY menegur ”kelancangan” para petinggi
Demokrat pada kesempatan pertama.
Kehendak Rakyat
Lalu, mengapa SBY membiarkan para petinggi
Demokrat tetap mewacanakan pencapresan istrinya? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, SBY membiarkan Ruhut Sitompul dan kawan-kawan terus ”bernyanyi”
tentang pencapresan Ani karena ingin mengetahui reaksi publik dan tingkat
penerimaan masyarakat terhadap figur istrinya. Jika publik dapat menerima Ani
sebagai salah satu capres, tentu tidak sulit bagi SBY ”meluruskan” kembali
pernyataannya. Misalnya, dengan mengatakan bahwa pencapresan Ani Yudhoyono,
istrinya, adalah ”kehendak rakyat”.
Kedua, SBY tak menegur Ruhut dan petinggi
Demokrat lain karena Ketua Dewan Pembina sendiri masih gamang, siapa kira-kira
yang layak diusung partainya sebagai capres dalam pemilu mendatang. Meski
banyak nama beredar, hampir tak satu pun yang benar-benar menonjol dibandingkan
yang lain. Hasil survei publik sejauh ini hanya menyebut nama Megawati (PDI
Perjuangan), Prabowo Subianto (Gerinda), Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie
(Golkar), serta Mahfud MD (nonpartai) yang memiliki tingkat elektabilitas agak
lumayan. Ironisnya, tidak seorang pun di antaranya berasal dari Demokrat.
Ketiga, secara personal SBY sejak lama
dikenal tak punya sikap konfrontatif, termasuk kepada kader Demokrat sendiri.
Pencapresan Ani hak politik para kader Demokrat yang tak harus sama dengan
sikap politik pribadi SBY yang tak hendak menjerumuskan sang istri ke dalam
lumpur kekuasaan yang masih keruh.
Fenomena Demokrat dapat diibaratkan sebagai
balada dari parpol relatif baru, lalu jadi pemenang pemilu, tetapi gagal
mengelola momentum ”kebesaran”-nya sebagai aset untuk investasi kepemimpinan
masa depan. Kepemimpinan SBY yang lembek dan cenderung tunduk pada tekanan
koalisi parpol pendukung di DPR adalah sebagian sumber kegagalan itu, di
samping ketidakmampuan para kader Demokrat memahami bahasa tubuh SBY.
Sumber lain adalah wabah korupsi yang
menjerat sejumlah kader Demokrat yang akhirnya mengantar M Nazaruddin, bekas
bendahara umum, ke penjara. Jika kader Demokrat lainnya, termasuk Ketua Umum
Anas Urbaningrum, dinyatakan terlibat dalam kasus dugaan korupsi, tidak
mustahil balada Demokrat berlanjut hingga Pemilu 2014. Karena itu, kini
persoalannya terpulang kepada SBY: apakah akan membiarkan nasib Demokrat
”digoreng” oleh media dan akhirnya ditelan sejarah atau secara ksatria memanfaatkan
sisa waktu kepresidenannya untuk mewariskan sesuatu yang bermakna dan bakal
terus diingat oleh bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar