Kamis, 14 Juni 2012

Apa Artinya Berkecukupan?


Apa Artinya Berkecukupan?
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
SUMBER :  SINDO, 13 Juni 2012


Semua negara pasti menghendaki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabil, mempekerjakan banyak warga negara, dan mendatangkan kemakmuran. Dalam upaya tersebut, ada satu kelompok masyarakat yang didorong terus untuk “berkembang biak” yakni kelas menengah.

Sebelum bicara lebih jauh, mungkin kita perlu menyamakan persepsi tentang siapa yang disebut kelas menengah karena studi tentang kelas telah sedemikian jauh berkembang. Dari pemikiran klasik, sosiolog kenamaan Max Weber memaknai kelas menengah sebagai sebuah kategori menurut orientasi subjektifnya seperti cara berpikir, motivasi, kedudukannya dalam masyarakat, pola belanjanya, dan sebagainya.

Sementara dalam definisi Marx,kelas lebih dilihat dari sejauh mana mereka menguasai atau tidak alat produksi. Bila mereka menguasai alat produksi, dimasukkan sebagai kelas kapitalis, sementara bila tidak, dikategorikan sebagai kelas pekerja. Konsep kelas pun berkembang sesuai dengan perkembangan kapitalisme.Kepemilikan alat produksi menjadi semakin abu-abu ketika kelas pekerja dianggap dapat memiliki alat produksi misalnya ketika mereka membeli saham perusahaannya seperti di negara-negara kesejahteraan.

Sementara status kelas menengah juga bukan sebuah status subjektif permanen karena krisis dapat membuat seorang direktur bank jatuh miskin dan menjadi kelas pekerja dengan bekerja sebagai sopir taksi. Demi memotret dinamika kelompok di dalam masyarakat, saya menggunakan teori yang memandang kelas menengah sebagai yang punya keahlian, keterampilan, ide, kapital dan daya beli,serta daya dorong untuk suatu perubahan.

Jadi, kelas menengah selalu digambarkan punya peranan sangat penting; tidak hanya dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi,tetapi juga menentukan besaran peranan negara dalam kehidupan sosial politik,penegakan demokrasi, dan sebenarnya juga terkait penghargaan atas hak asasi manusia.

Kelas menengah juga diimpikan dapat mencipta generasi baru bagi bangsa, terutama yang lebih punya daya saing serta tahan banting dalam perkembangan di masa-masa mendatang. Namun, realita masa kini menunjukkan tidak semua kelas menengah punya daya saing, kekuatan banting, dan daya dorong untuk perubahan.

Yang perlu diwaspadai adalah karena kelemahan itu akan memenjarakan negara dalam ketidakberdayaan berkepanjangan ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi dari negara-negara lain, apalagi karena tren ekonomi masa kini cenderung memburuk. Bagaimana bisa demikian?

Pertama, karena sejumlah studi yang berkembang, terutama yang dilakukan untuk menganalisis negara-negara berkembang termasuk yang baru-baru ini dilakukan oleh World Bank, mengambil margin bawah yang lebih rendah dalam klasifikasi kelas menengah. Umumnya, seseorang baru bisa dianggap sebagai kelas menengah bila ia mampu menghabiskan antara USD10- 100 per hari.

Di sini orang yang menghabiskan USD2 per hari pun dianggap sudah masuk kelas menengah. Artinya secara studi,kita perlu lebih hatihati dalam menarik kesimpulan tentang kekuatan dan karakter kelas menengah di rata-rata negara berkembang termasuk Indonesia.

Kedua, karena kelas menengah di Asia dibesarkan dengan sistem kredit yang diberikan perbankan, tetapi belum ada pelembagaan yang kuat bagi daya beli kelas menengah itu. Rata-rata negara berkembang di Asia belum cukup ditopang oleh sistem jaminan sosial yang terpadu sehingga ketika mereka tibatiba sakit, mengurus anggota keluarga yang sakit, atau mengalami kecelakaan kerja serta kematian, mereka berisiko jatuh miskin.

Karena rata-rata pergerakan naik dari kelas bawah ke kelas menengah tergolong lambat,kerentanan kelas menengah untuk jatuh miskin akan memperbesar pula beban negara dalam kondisi ekonomi global yang tak menentu.

Ketiga, karena kelas menengah belum masuk dalam kategori penghasilan minimal USD10 per hari, sebenarnya mereka belum punya cukup kemampuan untuk menggerakkan perubahan. Mereka masih berkutat pada kesenangan membeli ini dan itu, termasuk yang sifatnya sesaat dan sebatas menguntungkan diri sendiri.

Belum terpikirkan dalam benak mereka untuk meluncurkan ide-ide segar yang mendorong perubahan, meningkatkan daya saing, atau menjaga keragaman dalam demokrasi. Karena itu,hasil survei Kompas minggu lalu tentang gaya hidup kelas menengah Indonesia yang semata senang dengan ornamen kemewahan, gaya hidup konsumtif, tidak mau ambil pusing, dan cenderung mencari aman bagi diri sendiri dengan berlindung di balik ideologi yang diamini mayoritas orang (tidak berani tampil beda) menjadi catatan penting bagi kita semua.

Meskipun di situ dikenali ada dua kelompok kelas menengah di Indonesia, yakni menengah bawah dan menengah atas. Di mana, yang menengah bawah cenderung bekerja delapan jam saja dalam sehari. Dan yang menengah atas cenderung bekerja lembur lebih dari 10 jam per hari.Namun, secara umum perilaku mereka sama.Mereka kritis, terutama dalam celoteh di jejaring sosial, tetapi enggan bertindak secara konkret dalam mendorong perubahan.

Artinya bahwa kelas menengah di Indonesia baru sampai di tahapan menjadi konsumen belaka. Itu pun mereka rentan diombang-ambingkan kekuatan ekonomi pasar global. Mereka bertopang semata pada penghasilan rutin, tanpa perlindungan sistem jaminan sosial, sehingga daya beli mereka pun rentan terhadap gejolak pasar. Kelas menengah di Indonesia perlu paham positioning nya di tataran global.

Saat ini, menurut data OECD, ada 1,8 miliar manusia yang masuk dalam kategori kelas menengah yang sesungguhnya, dengan konsentrasi jumlah di Asia sebanyak 525 juta,Eropa 664 juta, dan Amerika Utara 328 juta. Daya beli yang saat ini terkuat adalah di Asia,tetapi saat ini hal itu hanya dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Negara di kawasan lain berlomba-lomba memanfaatkan kelas menengah di Asia sebagai pasar dan konsumen.

Tak heran bila mereka rapuh karena sekadar menikmati pertumbuhan ekonomi,bukan ikut berproduksi atau memperbaiki sistemekonomidanpolitikyang jelas-jelas sedang di titik krisis, sehingga dengan mentalitas ini mereka dikhawatirkan akan tergerus oleh pasar dan oligarki kekuasaan. Kecukupan dalam hal ekonomi perlu dimanfaatkan oleh manusia yang ada di kelas menengah untuk sebaik mungkin membangun sistem berkelanjutan dalam kehidupan bernegara.

Dalam komunitas di rumah, tempat kerja, sekolah, kita harus berani melawan arus yang menggerogoti persatuan bangsa dan Bhineka Tunggal Ika. Sistem yang korup, serbatidak toleran terhadap perbedaan, dan mencari untung sendiri adalah sistem yang rapuh dan sakit. Sistem semacam itu adalah cikal bakal dari negara yang gagal.

Jika Indonesia, sebagai bagian dari Asia, gagal mendorong pembangunan sistem baru yang berkelanjutan, premis yang berkembang saat ini tentang rapuhnya kelas menengah di Asia akan menjadi kenyataan penuh. Mustahil mengharapkan Indonesia jaya bila kelas menengah di dalam negerinya melempem dan tidak punya antusiasme visi ke depan. Dari pihak negara, jejaring kelas menengah perlu difasilitasi untuk mendorong penguatan praktik-praktik dan kelembagaan demokrasi.

Bukan sekadar keterbukaan berpendapat yang dijamin, melainkan juga pelembagaan cara berpikir ilmiah berbasis data keilmuan karena dengan cara itu kaum kelas menengah terlatih untuk menerima perbedaan, mengupayakan kemajuan, dan berpartisipasi dalam politik. Cara itu juga memupuk kreativitas dan daya saing di tengah kompetisi yang makin tajam di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar