Rabu, 13 Juni 2012

BBM dan Ekonomi 2013

BBM dan Ekonomi 2013
Anggito Abimanyu ; Dosen FEB UGM, Yogyakarta
SUMBER :  KOMPAS, 13 Juni 2012


Pemerintah dan DPR tengah membahas Pokok-pokok Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Ekonomi Makro tahun 2013 sebagai dasar penyusunan RAPBN tahun 2013.
Untuk bisa menjadi dokumen perencanaan dan penganggaran yang kredibel, 

Pokok-pokok Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Ekonomi Makro 2013 masih menyisakan satu persoalan besar, yakni ketidakpastian menyangkut kebijakan BBM. Tanpa kepastian soal ini pada 2012, sulit memercayai prospek RAPBN 2013. Pemerintah meyakini perekonomian 2013 lebih cerah, ditandai pergeseran pendorong utama perekonomian, dari konsumsi ke investasi. ”Investasi dalam bentuk modal tetap bruto akan memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan dengan yang lain,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Kamis.

Tema utama pembahasan rencana kerja pemerintah 2013 adalah memperkuat perekonomian domestik untuk peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat. Isu strategis nasionalnya peningkatan daya saing. ”Ada dua hal penting untuk melihat daya tahan ekonomi, yaitu ketahanan pangan dan ketahanan energi, termasuk peningkatan elektrifikasi nasional,” katanya.

Dalam rapat kerja Komisi XI DPR tentang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 3013, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan 6,8-7,2 persen pada 2013, sementara BI 6,3-6,7 persen. Perbedaan ini wajar karena deviasi sumber pendorong pertumbuhan. BI masih pesimistis soal prospek dunia yang memengaruhi ekspor seraya berharap ekspor naik di 2013. BI menekankan perlunya dipertahankan konsumsi dan investasi. ”Kalau semua itu dijaga, target 6,8 persen bisa tercapai di 2013,” ujar Gubernur BI Darmin Nasution.

Untuk 2012, BI memperkirakan nilai tukar rupiah rata-rata Rp 9.100-Rp 9.300 per dollar AS meski perekonomian global masih diliputi ketidakpastian. Prospek nilai tukar rupiah ini dipengaruhi kondisi ekonomi domestik yang masih menguat.

Kenyataannya hingga akhir Mei terjadi tren pelemahan rupiah dan mata uang negara Asia lain yang tak terlepas dari pengaruh ketidakpastian kondisi di Eropa. Sampai akhir Mei, rupiah rata-rata tercatat Rp 9.117 per dollar AS, melemah 3,98 persen dibandingkan dengan rata-rata tahun 2011 sebesar Rp 8.768 per dollar AS.

Kondisi ini mendorong penyesuaian aliran modal asing dari instrumen pasar keuangan domestik ke pasar keuangan global yang lebih aman. Pelemahan rupiah juga disebabkan naiknya impor, sejalan dengan kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional dan defisit neraca perdagangan sektor energi. Impor BBM menjadikan salah satu penyebab. Ekspektasi kenaikan ekspor juga terganggu akibat diterapkannya bea keluar sejumlah produk pertambangan tanpa persiapan matang.

Pada 2013 nilai tukar rata-rata diperkirakan berada pada kisaran sama karena adanya peningkatan aliran modal asing, terutama berbentuk investasi langsung yang meningkatkan surplus neraca fiskal.

Untuk inflasi, BI memperkirakan masih terkendali pada kisaran 4,5 persen pada 2012 karena selama empat bulan pertama 2012 masih tercatat 1,09 persen secara bulanan dan 4,5 persen secara tahunan.

Orientasi Perekonomian Domestik

Untuk memperluas kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup, mulai 2013, pemerintah akan memperkuat perekonomian domestik. Menkeu Agus Martowardojo mengungkapkan empat pilar yang akan jadi fokus utama dalam pembangunan, yakni pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment. Untuk memperkuat ekonomi domestik, kebijakan fiskal juga harus diperhatikan. Arah kebijakan fiskal 2013 adalah mendorong pertumbuhan berkelanjutan dengan upaya penyehatan fiskal. Empat pilar utama untuk menjaga kesehatan fiskal: optimalisasi pendapatan negara, peningkatan kualitas belanja negara, pengendalian defisit APBN, dan mengurangi rasio utang.

Tahun 2012 dan 2013 ujian berat bagi peningkatan signifikan pendapatan dari perpajakan. Terlepas dari kasus yang terus menimpa aparat perpajakan, saat ini adalah pembuktian hasil dari buah reformasi perpajakan dan birokrasi yang sudah dimulai lebih dari lima tahun lalu. Pendapatan pajak penghasilan dari orang pribadi harus meningkat dengan kepatuhan dan sistem yang mampu menjaring peningkatan penghasilan wajib pajak, khususnya menengah dan besar. Maju-mundurnya peningkatan pendapatan tidak kena pajak dan kebijakan bea keluar produk pertambangan sangat tak mendukung upaya peningkatan pajak.

Kebijakan pengelolaan utang sudah cukup mapan. Berbagai variasi kebijakan utang dalam rangka membiayai defisit, reorientasi instrumen pembiayaan, skema refinancing, penyediaan pinjaman siaga, dan penerbitan obligasi sukuk berbasis proyek menjamin keberlanjutan fiskal.

Terganjal kebijakan BBM

Prospek perekonomian dan RAPBN 2013 akan sangat tergantung kepastian kebijakan BBM 2012. Kebijakan subsidi BBM yang masih menggantung di APBN-P 2012 menyisakan masalah kekurangan anggaran dan potensi defisit yang tidak terbiayai. Volume konsumsi 40 juta kiloliter (kl) sudah hampir pasti terlampaui dan memicu potensi kelangkaan BBM di sejumlah daerah. Tambahan 1 juta kl volume konsumsi akan menambah defisit anggaran Rp 4 triliun. Harga minyak dunia yang terus di atas asumsi APBN-P (105 dollar AS per barrel) akan menambah defisit dan tak ada alasan menaikkan harga BBM. Depresiasi nilai tukar juga akan berakibat buruk pada defisit APBN-P.

Belum lagi jelas nasib BBM di 2012, pemerintah kembali merencanakan kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2013. Dirjen Migas Evita Herawati Legowo mengatakan, penyesuaian harga ini bagian dari upaya pengendalian konsumsi. Tentu banyak pihak skeptis mendengar rencana heroik tersebut, apalagi 2013 menjelang tahun pemilu, partai politik tidak berani mengambil risiko tidak populer.

Pemerintah mengusulkan kuota BBM bersubsidi pada RAPBN 2013 sebesar 45 juta-48 juta kl, naik dari kuota APBN-P 2012 sebesar 40 juta kl. Kuota 2013 itu didasarkan pada konsumsi BBM bersubsidi tahun ini, sebesar 44 juta kl, dan pertumbuhan konsumsi 9 persen per tahun. Angka ini cukup realistis, sekaligus untuk berjaga-jaga apabila kebijakan kenaikan harga BBM tak bisa diterima oleh DPR. Yang lebih realistis, asumsi kuota BBM bersubsidi 45 juta kl pada 2013 bisa direalisasikan jika program penghematan BBM 2012 tetap diimplementasikan dan ada kenaikan harga jual BBM bersubsidi. Asumsi 48 juta kl berlaku jika program penghematan dan kenaikan harga jual BBM bersubsidi 2013 tidak dijalankan.

Pemerintah juga harus menghitung biaya distribusi dan margin BBM bersubsidi yang realistis. Kekurangan biaya distribusi menyebabkan Pertamina rugi operasi. Pada RAPBN 2013 biaya distribusi dan margin dinaikkan menjadi rata-rata Rp 703,45 dari Rp 641,94 per liter pada 2012.

Pemerintah juga berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL) 2013 sebesar 5-15 persen untuk menekan subsidi listrik. Kementerian ESDM menyiapkan dua skenario kenaikan TDL, yakni berlaku per 1 Januari 2013 atau 1 April 2013. Tahun 2013 bukanlah tahun mudah untuk menggelontorkan kebijakan tak populer, seperti kenaikan harga BBM dan TDL. Namun, apabila kebijakan ini tak disentuh sama sekali, ambisi pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen dan kebijakan makro yang stabil dengan inflasi rendah sulit tercapai. 

Kepastian APBN 2012 adalah jangkar menuju perencanaan 2013 dan penyusunan RAPBN 2012(?) yang dapat dipercaya. Kebijakan BBM harus segera dibahas lagi dengan DPR untuk menyelamatkan perekonomian dan saatnya melakukan perubahan adalah kini, bukan nanti di 2013. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar