Jumat, 15 Juni 2012

Belenggu Utang Pemerintah


Belenggu Utang Pemerintah
Dani Setiawan ; Ketua Koalisi Anti Utang; Anggota Komite Regional Jubilee
South Asia Pacific Movement on Debt and Development
Sumber :  KOMPAS, 15 Juni 2012


Hingga saat ini, pemerintah masih meyakini bahwa kondisi utang pemerintah masih dalam batas aman. Namun, sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah sebagai dampak dari krisis Eropa, peringatan soal meningkatnya beban utang juga muncul.

Banyak persoalan ekonomi bangsa ini bermula dari ketidakmampuan pemerintah sejak Orde Baru mengatasi utang yang membelenggu perekonomian. Pasca krisis moneter 1997/1998, utang luar negeri (ULN) pemerintah membengkak menjadi sekitar 68,064 miliar dollar AS pada akhir 2011, dari sekitar 53,8 miliar dollar AS sebelum krisis.

Jika ditambah Surat Berharga Negara (SBN) Rp 1.188 triliun, secara keseluruhan total utang pemerintah Rp 1.803 triliun. Utang pemerintah terus meningkat hingga mencapai Rp 1.960 triliun pada Mei 2012, meningkat sekitar Rp 157 triliun dari akhir 2011. Meski nominal utang terus meningkat, rasio utang terhadap PDB menurun dari sekitar 80 persen pada 2000 menjadi 24,1 persen pada pertengahan 2012.

Jepang, Perancis, Jerman, AS, Belanda, dan Australia adalah enam kreditor bilateral utama. Sementara Bank Dunia dan ADB adalah dua lembaga multilateral pemberi utang terbesar dengan total outstanding (stok) utang Rp 96,41 triliun dan Rp 112,19 triliun. Hingga Desember 2011, posisi ULN bilateral 44,789 miliar dollar AS dan multilateral 23,275 miliar dollar AS.

Sejak 1999, pemerintah tidak hanya terjerumus dalam perangkap ULN, tetapi juga utang dalam negeri (UDN). Jika ULN perlu 44 tahun untuk berakumulasi dari 2,17 miliar dollar AS menjadi 68 miliar dollar AS, UDN hanya perlu sekitar 13 tahun untuk tumbuh dari 0 menjadi Rp 1.188 triliun atau sekitar 63 persen dari total utang pemerintah pusat. Komponen terbesar utang pemerintah diisi SBN, dengan kepemilikan asing meningkat hingga 29,6 persen pada Mei 2012.

Sangat disayangkan, penambahan utang pemerintah ini tak memberi pengaruh pada peningkatan kualitas pembangunan ekonomi, yang tecermin dari meningkatnya kesejahteraan rakyat. Laporan UNDP (2011) tentang Indeks Pembangunan Manusia menempatkan Indonesia di posisi ke-124 dari 187 negara. Posisi ini satu peringkat di bawah Afrika Selatan dan lebih buruk dari lima negara tetangga: Singapura (26), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112).

Akibat beban utang ini, belanja negara tidak mampu mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat karena terus menekan porsi anggaran untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan pertanian. Pada 2010, realisasi pembayaran cicilan dan pokok utang di APBN mencapai Rp 215.546 triliun. Ini setara 20,6 persen dari total realisasi belanja negara 2010 yang berjumlah Rp 1.042,12 triliun. Angkanya meningkat lagi menjadi Rp 240.517 triliun pada 2011, bahkan dalam pagu APBN-P 2012 mencapai Rp 322.709 triliun (DJPU, Mei 2012).

Kondisi ini mengindikasikan, setiap tahun pemerintah secara konsisten memberi ”subsidi” dalam bentuk transfer pembayaran utang yang dinikmati negara-negara kaya dan pemilik surat berharga negara, termasuk sektor perbankan yang menikmati warisan berlimpah dari pembayaran bunga obligasi perbankan.

Selain transfer kapital yang sangat besar ke luar negeri untuk pembayaran utang, ULN juga memunculkan konsekuensi ekonomi-politik. Salah satunya, persyaratan adanya reformasi kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar, dalam persetujuan utang, sebagai bentuk pelembagaan intervensi asing dalam perekonomian nasional.

Optimalisasi Pajak

Mengurangi ketergantungan pada utang dan memobilisasi sumber penerimaan negara dari dalam negeri di luar utang menjadi agenda penting untuk segera dilakukan. Demikian pula, optimalisasi penerimaan negara dari perpajakan, renegosiasi bagi hasil dari izin serta kontrak karya pertambangan migas, mineral, batubara dan sumber daya alam lain yang selama ini lebih menguntungkan pihak asing dan segelintir elite di dalam negeri.

Pembenahan terhadap pengelolaan BUMN juga penting dilakukan agar dapat memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional. Langkah lain, mengupayakan penghapusan utang haram dan tak sah dengan kreditor dan menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan yang sangat tak adil bagi rakyat. Selama tak ada upaya ke sana, kekhawatiran soal utang akan terus muncul. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar