Senin, 04 Juni 2012

Benih Kedaulatan Petani


Benih Kedaulatan Petani
Dwi Andreas Santosa ; Ketua Program S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB; Aktif di Gerakan Petani
SUMBER :  KOMPAS, 4 Juni 2012


Pada 22-24 Mei 2012 di Joglo Tani, Godean, Yogyakarta, berlangsung pertemuan jaringan petani independen se-Jawa. Dalam pertemuan itu dibahas tantangan dan peran petani kecil dalam pengembangan pertanian dan pemenuhan kebutuhan pangan, komunikasi antara petani dan penguasa, berbagai peraturan dan perundangan-undangan, miskonsepsi pemerintah dan kalangan ilmuwan dalam memahami petani kecil, masalah penguasaan benih dan input pertanian, hingga masalah kriminalisasi petani. Di tengah keterbatasan lahan dan keterpurukan ekonomi, produktivitas petani Indonesia tetap yang tertinggi di Asia Tenggara. Meski tiap tahun kita impor beras, produktivitas sawah kita 5,03 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga. Jika produktivitas dihitung tahunan, akan didapatkan angka 9,03 ton atau salah satu tertinggi di dunia (DA Santosa, ”UU Kedaulatan Petani”, Kompas, 6/9/2011).

Demikian juga dengan jagung. Meski Indonesia tahun lalu masih harus impor 3,5 juta ton, produktivitas jagung petani kecil kita 4,45 ton per hektar (untuk Jawa 4,66 ton per hektar), lebih tinggi dibanding Vietnam (4,32 ton per hektar), Thailand (4,15 ton per hektar), dan Filipina yang 2,73 ton per hektar (BPS, 2011, USDA, Desember 2011). Ironisnya, Filipina sering dijadikan rujukan oleh para pejabat, ilmuwan, perusahaan, dan media sebagai ”contoh keberhasilan” negara di ASEAN yang telah menanam jagung transgenik skala besar. Jagung transgenik Monsanto telah memperoleh izin untuk ditanam di Filipina sejak 10 tahun yang lalu (Science, Desember 2002) dan saat ini pertanaman jagung transgenik di negara tersebut sudah mencapai setengah juta hektar.

Komunikasi antara petani dan penguasa juga mengkhawatirkan. Sejak Orde Baru, petani hanya menjadi obyek berbagai UU, kebijakan, dan program yang hampir tak melibatkan petani dalam perumusannya. Dalam pertemuan itu dikaji bahwa hampir semua UU terkait pertanian dan turunannya tak berpihak kepada petani. Upaya revitalisasi UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria juga kandas di tengah jalan.

Perlindungan Petani

Sepercik harapan timbul ketika DPR memunculkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Keinginan kuat sebagian wakil rakyat untuk membela petani patut diapresiasi, hanya keinginan ini tak tecermin baik dalam judul maupun isi RUU. Pada beberapa kesempatan rapat dengan Komisi IV DPR, penulis dan atas usul beberapa teman yang bergerak di jaringan petani menyampaikan perubahan judul dan isi menjadi RUU Hak dan Kedaulatan Petani yang memiliki makna jauh lebih tegas dan jelas.

Terkait dengan ancaman krisis pangan di masa depan, konsep maupun wacana yang dikembangkan justru menjiplak negara maju. Sejarah pertanian pangan Indonesia berbeda dengan pertanian di negara maju dan sebagian negara berkembang (misalnya Brasil dan Argentina) yang terdiri dari tuan-tuan tanah dengan skala usaha besar. Indonesia juga berbeda dengan China, di mana institusi negara sangat dominan dalam pemanfaatan tanah. Indonesia tampaknya lebih mirip India dan beberapa negara di Amerika Latin.

Sangat kebetulan dua sahabat yang sama-sama pejuang kemerdekaan dan proklamator, yaitu Soekarno dan Jawaharlal Nehru, menggulirkan reforma agraria. Di India, reforma agraria dijalankan dengan konsisten oleh Nehru dan hampir semua penerusnya. Reforma agraria terbukti memiliki dampak positif terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan di India (Besley and Burgess, London School of Economics, 1998).

Reforma agraria dan juga gerakan kedaulatan pangan menjadi pilar utama pemenuhan kebutuhan pangan 1,21 miliar penduduk India. Produksi pangan bahkan berlebih sehingga India jadi salah satu eksportir utama beras, jagung, dan kedelai (DA Santosa, ”Membangun Kedaulatan Pangan”, Kompas, 11/2/2012). Hal ini kontradiktif dengan kebijakan pertanian Indonesia yang mengarah ke pertanian korporasi dan estat pangan. Banyak penelitian di dunia kian menegaskan petani kecil berlahan sempit lebih produktif dibanding korporasi berlahan luas.

Kedaulatan Petani

Pertemuan di Yogyakarta juga membahas isu teramat penting di dunia pertanian, yaitu benih. Benih adalah kehidupan dan menentukan lebih dari 60 persen kesuksesan dan kegagalan usaha tani. Petani, baik dulu, sekarang, maupun di masa depan, adalah pengembang benih terpenting di dunia. Sejak tahun 1960-an, petani kecil telah menghasilkan 1,9 juta varietas tanaman. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding varietas yang dikembangkan perusahaan, yakni 72.500 varietas dan lembaga publik yang sekitar 8.000 varietas (ETC Group, 2009).

Ironisnya, benih yang sesungguhnya milik petani kemudian berubah menjadi milik korporasi besar, baik nasional maupun lintas negara, yang dilindungi rezim konvensi internasional semacam The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dan International Convention for the Protection of New Varieties of Plants (UPOV Convention). Konvensi ini kemudian diturunkan menjadi UU yang banyak menjerat dan mengkriminalisasi petani pengembang benih. Saat ini 90 persen pasar benih dan input pertanian dan hampir 100 persen benih transgenik dikuasai hanya oleh 6 perusahaan multinasional (PMN).

Di Indonesia, sekitar 90 persen pasar benih jagung hibrida dikuasai PMN. Pada 2008, 71 persen benih jagung hibrida dan 40 persen benih padi hibrida dikuasai satu perusahaan. Sebagian besar (70 persen) benih hortikultura juga dikuasai PMN dengan satu perusahaan menguasai sekitar 45 persen benih yang beredar di Indonesia. Semua peraturan dikemas sedemikian rupa sehingga hanya perusahaan benih dan pemulia tanaman di universitas dan lembaga penelitian yang mampu dan punya kewenangan serta perlindungan hukum untuk mengembangkan dan memasarkan benih. Petani hanya ditempatkan sebagai pembeli dan pemakai, padahal dari merekalah benih berasal.

Saat ini ribuan petani di Indonesia melakukan pemuliaan tanaman, pengembangan dan penangkaran benih. Beberapa petani berhasil mengembangkan benih padi dengan potensi hasil di atas 12 ton per hektar. Beberapa lainnya mengembangkan jagung hibrida serta berbagai benih hortikultura dengan potensi hasil setara atau bahkan lebih tinggi dibanding yang dihasilkan PMN dan peneliti. Problem besar muncul ketika buah ketekunan tersebut hendak dikomersialisasikan. Puluhan petani di berbagai tempat harus berhadapan dengan polisi, pengadilan, dan penjara.

Berkaitan dengan itu, wakil jaringan petani se-Jawa yang hadir pada pertemuan itu sepakat bersatu untuk membentuk Bank Benih Tani Indonesia (B2TI). B2TI akan jadi wadah ribuan petani yang melakukan konservasi, meneliti, memuliakan, menangkar, mendistribusikan, dan mengomersialisasikan benih serta memberikan perlindungan hukum. Melalui visinya, diharapkan B2TI menjadi pusat keunggulan di bidang perbenihan yang dimiliki petani Indonesia dalam upaya meningkatkan penguasaan dan kedaulatan petani atas benih, mendukung sistem pertanian berkelanjutan serta untuk mencapai penghidupan petani yang lebih sejahtera.

Kita semua berharap gerakan ini, serta upaya petani lain untuk meretas berbagai persoalan yang menimpa mereka, benar-benar menjadi benih yang tumbuh di tanah yang subur, benih yang membawa petani Indonesia mendapatkan hak, kemerdekaan, dan kedaulatan mereka. Hanya petani, dan bukan yang lain, yang akan menyelamatkan pangan dan pertanian kita, baik di masa kini maupun masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar