Jumat, 22 Juni 2012

Berkonflik dengan Jiran


Berkonflik dengan Jiran
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Sumber :  SUARA MERDEKA, 22 Juni 2012


APA yang ada dalam benak Anda membaca judul besar berita utama harian ini (SM, 21/06/12), ’’ Malaysia Tembak Tiga TKI’’.  Kalau kita berhenti pada pembacaan judul mungkin kegeraman orang pada jiran makin membuncah. Meskipun ada subjudul ’’Dicurigai Hendak Merampok’’, penembakan ini tentu tetap menyisakan ketidakberterimaan.

Hanya setelah menyimak isi beritanya, tindakan itu diambil karena tiga pelaku bersenjata api sehingga aparat terpaksa menembaknya. Di tengah upaya kedua negara mempererat silaturahmi, berita itu tentu menjadi penghalang kuat untuk menciptakan hubungan harmonis. Belum lagi, klaim tari tortor yang memantik kecaman di Tanah Air dan makin memburukkan Malaysia di mata masyarakat Indonesia.

Kita paham media berperan memberikan informasi utuh dan seimbang pada pembaca. Meskipun tidak dielakkan, kadang menonjolkan isu tertentu seraya menyembunyikan isu lain. Pengalaman buruk konfrontasi dengan slogan ganyang Malaysia dan olok-olok Malingsia melekat kuat di benak banyak warga. Tak ayal, bila media menyodorkan berita terkait tuduhan tertentu, khalayak serta-merta mengungkapkan kejengkelannya lewat media sosial.
Sejatinya, harapan wujud hubungan baik media makin membuncah mengingat Menteri Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Rais Yatim dan Menkominfo Tifatul Sembiring sama-sama dari Minangkabau. Tanpa bermaksud berpandangan etnosentrik, kesamaan latar belakang daerah mestinya lebih memudahkan komunikasi antara dua negara untuk menepis prasangka. Secara sederhana, kalau kita mau menerima Tifatul, tentu tidak akan menolak Rais Yatim.

Menuju Penyelesaian

Betapapun korban penembakan berjatuhan atau penistaan terhadap buruh migran oleh majikan terjadi, kita harus memikirkan penyelesaian agar bencana ini tidak makin menenggelamkan iktikad baik menciptakan hubungan baik yang setara. Sebenarnya, banyak kasus melibatkan buruh migran kita telah mendorong pemerintah Malaysia mengambil sikap berhati-hati.

Malah banyak kasus melibatkan TKI tidak serta-merta berpihak pada majikan lokal. Pada waktu yang sama, kita pun tidak perlu menutup mata betapa banyak majikan merugi karena banyak TKW berpindah pada majikan lain hanya karena diimingi-imingi gaji lebih besar oleh sindikat.

Tentu Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) harus membuka pusat pelayanan di Kuala Lumpur dan beberapa negara bagian di Malaysia untuk memantau lebih dekat keberadaan pekerja kita di jiran, baik yang resmi maupun tidak. Selain itu, pengisian kursi pejabat duta besar perlu disegerakan.
Kelalaian ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah memandang penting nasib warga Indonesia di negeri jiran yang berjumpah 2 juta jiwa lebih, hampir mendekati 10% jumlah penduduk lokal. Dengan warga sebanyak itu, tentu kita tidak bisa mencegah bahwa ada segelintir warga kita yang berlaku jahat sehingga misalnya harus mati di ujung senapan.
Demikian juga terkait kebudayaan, kita tak perlu berpikir sempit. Menilik sejarah, kita tahu bahwa konflik di Sulawesi atau Minangkabau telah memicu pergerakan manusia ke Semenanjung Malaysia. Demikian juga, ikhtiar orang Jawa untuk memperbaiki nasib telah mendorong mereka berhijrah.

Warga Malaysia hari ini adalah generasi kedua dan ketiga bernenek moyang ’’Indonesia’’ yang menduduki posisi penting, baik di pemerintahan maupun perdagangan. Wajar bila mereka tetap mengekalkan identitas kebudayaannya karena merupakan bagian dari jati diri.  Kita harus belajar pada India yang tak pernah mengusik orang Jawa yang merasa memiliki dua epos besar :  Mahabharata dan Ramayana. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar