Selasa, 12 Juni 2012

Bisnis Lukisan ‘Old Master’

Bisnis Lukisan ‘Old Master’
Mikke Susanto ; Staf Pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
SUMBER :  KORAN TEMPO, 09 Juni 2012

Pada dasawarsa kedua tahun 2000 ini seni rupa Indonesia diwarnai oleh polemik lukisan palsu. Polemik ini terpusat di sebuah tempat, tepat di mana banyak orang sedang menambatkan harapan: Magelang. Polemik ini berpusar pada sosok yang paling dihormati sebagian besar para kolektor: Oei Hong Djien (OHD). Polemik ini juga membawa setidaknya tiga pelukis yang paling dicari: Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan. Sejumlah persoalan muncul dari tiga hal besar ini.

Magelang menyimpan magma yang kuat sebagai kota yang penting bagi seni rupa. Kota ini dianggap mampu menarik seorang pelukis yang karyanya bisa setiap waktu menjadi incaran. Sejumlah kolektor dan art dealer hidup dan mengembangkan bisnis seninya melalui kota ini. Nyatanya, di kota ini juga terdapat beberapa kolektor yang menggunakan rumahnya menjadi museum bagi sejumlah koleksinya. Sebagian lagi menyimpan lukisan di "storage", alias beli, beli, dan beli, lalu digudangkan.

Pusaran kedua, terletak pada diri OHD. Sosok yang satu ini memang fenomenal dalam dunia seni rupa di Indonesia, bahkan di Asia. Begitu fenomenal OHD sehingga menyebabkan dirinya menyitir anggapan banyak art dealer seperti "dewa"-nya kolektor. Anggapan ini memang berlebihan. Tetapi asumsi ini juga tidak sepenuhnya salah, karena dalam perbincangan pasar, nama ini cukup "menakutkan". Beberapa art dealer merasa kurang percaya diri untuk datang dan berbincang dengannya. Beberapa di antaranya mengaku kepada saya segan, meski hanya untuk berkenalan.

Adapun para master yang dibicarakan kali ini adalah tiga pelukis besar yang karya-karyanya tengah memuncak di pasar lelang. Mereka tidak hanya menjadi pelaku sejarah seni, tetapi juga mampu menaikkan prestise para pemilik karya-karyanya. Karya-karya mereka yang sangat terbatas harus dimiliki sejumlah pemilik modal yang jauh lebih besar. Akibatnya, nama mereka menjadi sasaran "tembak" pemalsuan.

Dunia seni rupa Indonesia, yang terbiarkan (secara sengaja atau tidak sengaja) oleh negara, semakin menambah peluang munculnya berbagai penyakit. Sejumlah lembaga seperti museum kini tak berfungsi layaknya sebagai ruang referensi sebagaimana mestinya. Museum yang didirikan para pelukis master ini pun kini sering digosipkan kurang sedap, sekaligus tak dipercaya sepenuhnya oleh para kolektor. Mereka dianggap melalaikan tugasnya, hanya demi uang. Wajar bila seseorang menjadi bingung untuk mengawali bisnis seni ini. Upaya memilih karya, mengetahui sejarah perkembangan seni rupa maupun biografi maestro, sampai upaya untuk mengetahui karya yang memang orisinal, menjadi persoalan. Karena itu, munculnya keraguan terhadap karya-karya koleksi OHD menjadi sebuah kewajaran, meskipun dinilai oleh sebagian pihak polemik ini lebih berbau "perang pasar".

Di lain pihak, upaya OHD yang bertindak sebagai kurator atas koleksinya tidak cukup kuat. Oei Hong Djien terlampau percaya diri dalam melakukan kerja kurasi. Terbukti bahwa kurasi yang dibuatnya tampak belum matang secara akademis. Kurasi dilakukan tanpa referensi yang kuat (karena pameran ini terkait dengan sejarah seni rupa) dan menyebabkan munculnya polemik yang mengarah pada upaya untuk menganulir keabsahan karya seni yang dipamerkan. Di tengah pergolakan ini, Museum OHD kemudian mengajak beberapa pihak untuk berupaya menjernihkan suasana melalui diskusi di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 24 Mei lalu. Hasilnya tak cukup memberi pemahaman dan tindak lanjut yang menuju upaya kesadaran bersama. Pernyataan dalam rilis yang dikeluarkan oleh Sarasvati Art Management, yang menyatakan bahwa lukisan Museum OHD tidak palsu, dinyatakan tanpa bukti yang kuat pula.

Otentisitas lukisan-lukisan para old master seperti yang dipamerkan harus diuji setidaknya melalui dua pemindai. Cara pertama melalui pengujian materi. Cara ini lebih pada asumsi arkeologis dengan memakai seperangkat alat untuk menguji kualitas dan usia bahan. Meskipun memakai alat, cara ini pun belum tentu akurat, karena materi yang dipakai bisa saja dari lukisan master yang lain, hanya diganti namanya. Artinya, cara ini bukan utama.

Cara kedua adalah dengan penelitian sejarah atau biografis. Cara ini sangat memungkinkan karena ketiga nama besar ini memiliki catatan yang cukup lengkap dibandingkan dengan pelukis lainnya yang sezaman. Cara ini tentu saja tidak bisa instan dan perlu banyak narasumber. Cara ini saya anggap memiliki kecermatan tinggi dengan melakukan kajian dari berbagai aspek pada setiap karya. Cara ini setidaknya lebih mampu memuaskan publik dan lumayan sulit untuk dijadikan sasaran pemalsuan.

Setidaknya, dengan dua cara ini, OHD akan menjadi lembaga yang mampu menjawab tantangan publik. Penanganan koleksi yang lebih menukik pada upaya pencarian data dan informasi mutlak dilakukan. Selain perguruan tinggi, museum akan menjadi sarana menguak berbagai kasus yang belum diketahui publik. Museum tidak hanya berisi artefak yang penuh dengan mitos (kisah yang tak teruji), tetapi juga memberi terang jalan agar dunia seni rupa kita tak terus berada dalam kegelapan.

Tulisan ini tidak sedang menggugat museum (OHD) untuk mencari jalan agar bisa membuktikan lukisan yang dikoleksi memang orisinal. Pada kesempatan ini, harapan agar museum menjadi sarana pembelajaran sekaligus ruang diskusi yang ketat dan kuat merupakan tujuan yang lebih penting. Museum tidak perlu membuat diskusi instan hanya untuk menjawab isu yang sesungguhnya belum tentu benar pula. Seni rupa Indonesia yang tengah suram ini karena dilanda krisis pasar tak seharusnya semakin tenggelam hanya karena lukisan "old master" (dalam tanda petik). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar