Bisnis
Lukisan ‘Old Master’
Mikke Susanto ; Staf Pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni
Indonesia, Yogyakarta
SUMBER : KORAN
TEMPO, 09 Juni 2012
Pada dasawarsa kedua tahun 2000 ini seni rupa
Indonesia diwarnai oleh polemik lukisan palsu. Polemik ini terpusat di sebuah
tempat, tepat di mana banyak orang sedang menambatkan harapan: Magelang.
Polemik ini berpusar pada sosok yang paling dihormati sebagian besar para
kolektor: Oei Hong Djien (OHD). Polemik ini juga membawa setidaknya tiga pelukis
yang paling dicari: Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan. Sejumlah persoalan
muncul dari tiga hal besar ini.
Magelang menyimpan magma yang kuat sebagai
kota yang penting bagi seni rupa. Kota ini dianggap mampu menarik seorang
pelukis yang karyanya bisa setiap waktu menjadi incaran. Sejumlah kolektor dan art
dealer hidup dan mengembangkan bisnis seninya melalui kota ini. Nyatanya,
di kota ini juga terdapat beberapa kolektor yang menggunakan rumahnya menjadi
museum bagi sejumlah koleksinya. Sebagian lagi menyimpan lukisan di "storage",
alias beli, beli, dan beli, lalu digudangkan.
Pusaran kedua, terletak pada diri OHD. Sosok
yang satu ini memang fenomenal dalam dunia seni rupa di Indonesia, bahkan di
Asia. Begitu fenomenal OHD sehingga menyebabkan dirinya menyitir anggapan
banyak art dealer seperti "dewa"-nya kolektor. Anggapan ini
memang berlebihan. Tetapi asumsi ini juga tidak sepenuhnya salah, karena dalam
perbincangan pasar, nama ini cukup "menakutkan". Beberapa art
dealer merasa kurang percaya diri untuk datang dan berbincang dengannya.
Beberapa di antaranya mengaku kepada saya segan, meski hanya untuk berkenalan.
Adapun para master yang dibicarakan
kali ini adalah tiga pelukis besar yang karya-karyanya tengah memuncak di pasar
lelang. Mereka tidak hanya menjadi pelaku sejarah seni, tetapi juga mampu
menaikkan prestise para pemilik karya-karyanya. Karya-karya mereka yang sangat
terbatas harus dimiliki sejumlah pemilik modal yang jauh lebih besar.
Akibatnya, nama mereka menjadi sasaran "tembak" pemalsuan.
Dunia seni rupa Indonesia, yang terbiarkan
(secara sengaja atau tidak sengaja) oleh negara, semakin menambah peluang
munculnya berbagai penyakit. Sejumlah lembaga seperti museum kini tak berfungsi
layaknya sebagai ruang referensi sebagaimana mestinya. Museum yang didirikan
para pelukis master ini pun kini sering digosipkan kurang sedap,
sekaligus tak dipercaya sepenuhnya oleh para kolektor. Mereka dianggap
melalaikan tugasnya, hanya demi uang. Wajar bila seseorang menjadi bingung
untuk mengawali bisnis seni ini. Upaya memilih karya, mengetahui sejarah
perkembangan seni rupa maupun biografi maestro, sampai upaya untuk mengetahui
karya yang memang orisinal, menjadi persoalan. Karena itu, munculnya keraguan
terhadap karya-karya koleksi OHD menjadi sebuah kewajaran, meskipun dinilai
oleh sebagian pihak polemik ini lebih berbau "perang pasar".
Di lain pihak, upaya OHD yang bertindak
sebagai kurator atas koleksinya tidak cukup kuat. Oei Hong Djien terlampau
percaya diri dalam melakukan kerja kurasi. Terbukti bahwa kurasi yang dibuatnya
tampak belum matang secara akademis. Kurasi dilakukan tanpa referensi yang kuat
(karena pameran ini terkait dengan sejarah seni rupa) dan menyebabkan munculnya
polemik yang mengarah pada upaya untuk menganulir keabsahan karya seni yang
dipamerkan. Di tengah pergolakan ini, Museum OHD kemudian mengajak beberapa
pihak untuk berupaya menjernihkan suasana melalui diskusi di Galeri Nasional
Indonesia, Jakarta, 24 Mei lalu. Hasilnya tak cukup memberi pemahaman dan
tindak lanjut yang menuju upaya kesadaran bersama. Pernyataan dalam rilis yang
dikeluarkan oleh Sarasvati Art Management, yang menyatakan bahwa lukisan Museum
OHD tidak palsu, dinyatakan tanpa bukti yang kuat pula.
Otentisitas lukisan-lukisan para old
master seperti yang dipamerkan harus diuji setidaknya melalui dua pemindai.
Cara pertama melalui pengujian materi. Cara ini lebih pada asumsi arkeologis
dengan memakai seperangkat alat untuk menguji kualitas dan usia bahan. Meskipun
memakai alat, cara ini pun belum tentu akurat, karena materi yang dipakai bisa
saja dari lukisan master yang lain, hanya diganti namanya. Artinya, cara
ini bukan utama.
Cara kedua adalah dengan penelitian sejarah
atau biografis. Cara ini sangat memungkinkan karena ketiga nama besar ini
memiliki catatan yang cukup lengkap dibandingkan dengan pelukis lainnya yang
sezaman. Cara ini tentu saja tidak bisa instan dan perlu banyak narasumber.
Cara ini saya anggap memiliki kecermatan tinggi dengan melakukan kajian dari
berbagai aspek pada setiap karya. Cara ini setidaknya lebih mampu memuaskan
publik dan lumayan sulit untuk dijadikan sasaran pemalsuan.
Setidaknya, dengan dua cara ini, OHD akan
menjadi lembaga yang mampu menjawab tantangan publik. Penanganan koleksi yang
lebih menukik pada upaya pencarian data dan informasi mutlak dilakukan. Selain
perguruan tinggi, museum akan menjadi sarana menguak berbagai kasus yang belum
diketahui publik. Museum tidak hanya berisi artefak yang penuh dengan mitos
(kisah yang tak teruji), tetapi juga memberi terang jalan agar dunia seni rupa
kita tak terus berada dalam kegelapan.
Tulisan ini tidak sedang menggugat museum
(OHD) untuk mencari jalan agar bisa membuktikan lukisan yang dikoleksi memang
orisinal. Pada kesempatan ini, harapan agar museum menjadi sarana pembelajaran
sekaligus ruang diskusi yang ketat dan kuat merupakan tujuan yang lebih
penting. Museum tidak perlu membuat diskusi instan hanya untuk menjawab isu
yang sesungguhnya belum tentu benar pula. Seni rupa Indonesia yang tengah suram
ini karena dilanda krisis pasar tak seharusnya semakin tenggelam hanya karena
lukisan "old master" (dalam tanda petik). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar