Jumat, 22 Juni 2012

Count-down Karier Politik Anas


Count-down Karier Politik Anas
Effnu Subiyanto ;  Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair        
Sumber :  SUARA KARYA, 22 Juni 2012
 

Hasil survei terakhir Soegeng Surjadi Syndicate terhadap 2.192 responden yang berlangsung pada 14-24 Mei 2012 dengan metode stratified random sampling tampaknya menjadi pukulan telak bagi Partai Demokrat (PD). Indikasi jajak pendapat snapshot ini menunjukkan Partai Golkar meraih suara tertinggi dengan 23 persen suara. Urutan kedua, ketiga dan keempat masing-masing ditempati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan 19,6 persen suara, Partai Demokrat dengan 10,7 persen suara dan Partai Gerindra dengan 10,5 persen suara.

Dua partai lain yang diprediksi lolos ke Senayan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 6,9 persen suara serta Nasional Demokrat (NasDem) dengan 4,8 persen suara.
Jatuhnya suara dukungan kepada PD ini diduga ada hubungannya dengan turbulensi korupsi yang banyak dilakukan elite partainya. Setelah Nazaruddin diputus bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 20 April 2012 dengan vonis 4 tahun 10 bulan dan dipenjarakan, kini giliran Angelina Sondakh yang masih dalam masa persidangan. Berikutnya, persoalan proyek sport center Hambalang yang melibatkan kader PD juga dalam sorotan media.

Kabinet Ketua Umum (Ketum) PD Anas Urbaningrum benar-benar babak-belur dan ini menunjukkan bahwa ada persoalan kepemimpinan dan juga manajerial Anas. Karena itu, Anas di-absen-kan pada pertemuan para pimpinan daerah PD dari 33 provinsi di kediaman Ketua Dewan Pembina PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas, Bogor, Selasa (12/6/12). Keesokan harinya, Anas kembali tidak kelihatan pada sarasehan Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat di Hotel Sahid Jakarta, yang dipimpin langsung oleh SBY.

Tidak tampilnya Ketum pada acara kepartaian yang sangat penting selama dua kali berturut-turut tentu saja menebarkan spekulasi negatif. Diberitahukan atau tidak, diakui atau ditutup-tutupi, dalam bahasa isyarat apa pun sudah pasti bisa dirasakan bahwa telah terjadi 'perang dingin' antara pendiri PD dengan Anas. Ada posisi diametral di antara keduanya dan jika dirasakan sebetulnya hubungannya sudah terasa tidak harmonis sejak Anas memenangi kongres Bandung, Mei 2010.

Kegusaran SBY hanya diungkapkan dalam bahasa isyarat namun dapat dirasakan substansinya bahwa ada kader PD yang terlibat korupsi dan untuk itu diminta mundur untuk kepentingan partai. SBY tentu saja hanya bisa menyerukan atau menghimbau mengingat konstitusi dalam AD/ART PD, kader baru bisa dipecat jika sudah ada putusan inkracht dari pengadilan karena korupsi. Sampai detik ini, kendati terpidana Nazaruddin lantang menyebut keterlibatan korupsi elite PD lainnya, termasuk Anas, betapapun masih dalam dugaan.

Keuntungannya bagi SBY karena menjadi pihak yang menyeru maka tercipta kesan bahwa kubu Anas yang terlibat korupsi itu. Dugaan ini menguat karena Anas tidak hadir dalam momen itu, otomatis seruan SBY ditujukan kepada pihak yang absen.

Dukungan Melemah

Situasi kini menjadi cukup sulit bagi kubu Anas. Apalagi, posisi Anas akhir-akhir ini semakin terpojok dengan keberanian buka suara dari kadernya di daerah, seperti, misalnya, dari mantan Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Bualemo, Gorontalo, Ismiyati. Posisi Anas benar-benar di ujung tanduk dan rasa-rasanya tidak akan bisa dipertahankan lagi.

Ada pertanyaan besar melihat gonjang-ganjing politik yang menerpa PD, akhir-akhir ini. Yang membuat prihatin, PD faktanya menjadi partai berkuasa, tempat anak-anak muda yang dulu disebut terbaik di zamannya, kendaraan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan yang terpenting hingga kini menganut paham politik citra yang sangat kuat. Pencitraan anti-korupsi malah dipublikasikan dan hendak dijadikan ikon PD, jika melihat gencarnya tayangan, baik media elektronik maupun media cetak.

Namun, melihat fakta akhir-akhir ini, antara perkataan dan perbuatan, janji terhadap bukti-bukti prestasi, tidak bisa dengan cara ilmiah maupun pragmatis bahwa politik citra itu sungguh-sungguh diterapkan secara konsekuen. Kini, tidak terkesan lagi namun sudah dilabeli rakyat sama halnya dengan jargon atau lipstik.

Politik citra membawa konsekuensi yang sangat berat karena sulitnya melakukan pengukuran keberhasilan. (Batra dan Homer: 2004) Citra itu image atau representasi dari visualisasi secara umum dalam satu pandangan sekilas. Jika citra itu baik, maka dalam sekilas penilaian masyarakat akan baik. Namun, ketika citra itu bernoda meski setitik, rusaklah susu sebelanga. Inilah jebakan yang mematikan dari citra itu sendiri.

Ketika Ismiati atau Nazar sudah demikian gamblang membuka aib PD, maka tidak ada pilihan bahwa PD benar-benar berada pada titik kritis dan butuh contingency plan. Kali ini, elite PD benar-benar diuji, akankah tetap komit menjaga sumpah citra itu dengan rela berkorban atau mengabaikannya dengan alasan masih dugaan.

Di belahan bumi nyata, baru-baru ini, PM Jepang Naoto Kan tidak segan-segan mundur pada Agustus, tahun lalu hanya karena merasa gagal dalam menangani krisis nuklir PLTN Fukushima. Pemimpin Partai Demokratik Jepang (DPJ) dan Sekjen Katsuya Okada malah mendorong agar Kan mundur. Padahal, sejauh ini ekses krisis nuklir PLTN Jepang sudah kian membaik.

Kali ini, elite pengurus PD yang tersisa dan juga kubu Anas sendiri benar-benar menjalani sesi dilematis yang tidak ringan. Mempertahankan jabatan dengan konsekuensi semakin luruh suara PD, ataukah mundur untuk menyelamatkan partai pada 2014 sesuai seruan pendiri PD, Susilo Bambang Yudhoyono. Akankah Anas akan mencontoh PM Jepang Naoto Kan atau bersikap defensive, waktu yang akan membuktikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar