Dari
Mesir untuk Hakim Indonesia
Bambang Satriya ; Guru Besar Universitas Ma-Chung dan
STIEKMA Malang;
Penulis Buku ‘Etika Birokrasi’
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 7 Juni 2012
HAKIM
di Mesir menunjukkan keberanian. Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak divonis
hukuman seumur hidup karena dinilai terbukti terlibat dalam pembunuhan sejumlah
aktivis atau pendemo. Hukuman yang dijatuhkan hakim itu, meskipun oleh kelompok
aktivis di Mesir belum tergolong berkeadilan atau tidak sesuai dengan tuntutan
keluarga korban yang meminta hakim menghukum mati Mubarak, layak diapresiasi
sebagai vonis yang berani.
Seorang
mantan presiden dijatuhi hukuman seumur hidup jelas bukanlah vonis ringan.
Hakim yang menjatuhkan vonis kepada Mubarak itu mampu menunjukkan integritasnya
antara menghadapi tekanan publik dan kepentingan menegakkan hukum dan keadilan.
Hakim tersebut bernyali tinggi dalam melawan kedua arus, kubu Mubarak dengan
kubu korban dan rakyat.
Apakah
hakim di Mesir yang bernyali tinggi itu juga bergaji tinggi? Tidak. Gaji yang
diterima hakim di Mesir juga tidak berbeda dengan pegawai pada umumnya, apalagi
Mesir juga sedang menghadapi krisis ekonomi yang serius sehingga tidak mampu
memberikan kesejahteraan memadai kepada hakim.
Keberanian
hakim itu lebih dimotivasi oleh semangat mewujudkan reformasi di segala bidang
di Mesir pasca-Mubarak, bukan oleh `syahwat' yang berelasi dengan kepentingan
kesejahteraan profesinya. Para hakim bertekad kuat membumikan reformasi hukum ke
ranah empiris, antara lain dengan cara menjatuhkan vonis yang bernapaskan
keadilan dan kesamaan derajat. Dari vonis yang dijatuhkan kepada Mubarak itu,
apa yang bisa ditiru hakim di negeri ini?
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim Indonesia tak perlu merelasikannya
dengan kesejahteraan. Jika itu terus yang dijadikan parameter, negara ibarat
mendapatkan kewajiban `menyuap' hakim supaya keadilan bisa ditegakkan atau
minimal kinerja hakim bisa meningkat.
Memang
selama ini ada pertanyaan di ranah publik, benarkah gaji atau kesejahteraan
hakim menentukan putusan? Atau, adakah dampak antara gaji atau kesejahteraan
yang diterima hakim dan putusan yang dijatuhkannya?
Benarkah hakim yang memeriksa perkara pidana korupsi atau kejahatan istimewa (extraordinary crime) pun menggaransikan jenis putusan yang dijatuhkannya berdasarkan gaji atau kesejahteraan yang diterimanya?
Benarkah hakim yang memeriksa perkara pidana korupsi atau kejahatan istimewa (extraordinary crime) pun menggaransikan jenis putusan yang dijatuhkannya berdasarkan gaji atau kesejahteraan yang diterimanya?
Pertanyaan
itu berkali-kali terlontar saat menyikapi putusan hakim yang membebaskan
terdakwa kasus korupsi atau putusannya hanya menghukum beberapa bulan penjara. Artinya,
mencuat dan menguat asumsi bahwa besar kecilnya gaji hakim dinilai berpengaruh
terhadap kinerjanya. Ketika ada hakim yang berani menjatuhkan putusan bebas
terhadap perkara korupsi, itu mengindikasikan hakim yang menangani masih
terpengaruh oleh besaran gaji atau kesejahteraan yang diterimanya.
Asumsi
juga berlanjut bahwa ketika gaji atau kesejahteraannya tidak mendapatkan
perhatian maksimal dari negara, sedangkan ada kekuatan lain yang
memperhatikannya, kecenderungan meng ikuti irama dari seseorang atau sekelompok
orang yang memedulikannya bukan kemustahilan. Praduga demikian tidak mutlak
salah. Pasalnya, tidak jarang ditemukan praktik mafia peradilan, salah satu
oknum yang ikut menjadi pemainnya adalah hakim. Hakim ikut menjadi bagian dari
instrumen `tragedi peradilan' karena tidak sedikit yang menerima suap,
gratifikasi, atau mengadakan kolaborasi dengan terdakwa.
Asep
Rahmat Fajar (2011) dari KY sebenar nya pernah menyatakan jika kinerja para
hakim sudah mulai menunjuk kan perbaikan dari har ke hari, publik atau
masyarakat akan memberikan support demi mewu judkan kesejahteraannya.
Kesejahteraan merupakan elemen paling penting bagi kinerja peradilan. Namun, para hakim harus menunjukkan bahwa mereka pantas diberi kesejahteraan atau gaji yang tinggi.
Kesejahteraan merupakan elemen paling penting bagi kinerja peradilan. Namun, para hakim harus menunjukkan bahwa mereka pantas diberi kesejahteraan atau gaji yang tinggi.
Itu
menunjukkan gaji atau kesejahteraan hakim berelasi dengan kinerja. Kinerja
hakim yang baik akan berdampak pada peningkatan gajinya. Selama jinya. Selama
kinerjanya belum baik, ke sejahteraannya pun tidak akan meningkat. Ketika
kesejahteraannya tidak meningkat, `tragedi' seperti putusan bebas atau
meringankan terdakwa sulit dihindari. Masalahnya, apakah memang demikian
pragmatisme dan kapitalisme hakim-hakim di negeri ini?
Memang
jika dibandingkan dengan penggajian hakim di berbagai negara, gaji yang
diterima hakim-hakim di Indonesia tergolong rendah. Pada 2008 misalnya,
disebutkan perbandingan gaji hakim di Indonesia dengan koleganya di negara
tetangga, Malaysia, sangatlah jauh. Perbandingannya 1:50. Itu suatu kondisi disparitas
yang menempatkan as yang menempatkan hakim Indonesia di posisi inferior. Meski
demikian, opsi menjalani profesi hakim bukanlah bekerja untuk uang
(kesejahteraan), melainkan bekerja untuk hukum dan keadilan.
Itu
menunjukkan, terlepas apakah nantinya ada penaikan gaji atau pemberian
kesejahteraan oleh pemerintah, publik atau masyarakat pencari keadilan (justiabelen) sangat meminta hakim
membangun etos kerja dan integritas moral. Hak kesejahteraan memang harus
diperjuangkannya, tetapi kedudukannya sebagai pilar peradilan yang mengabdi
kepada hukum dan keadilan pun wajib ditunjukkan tanpa tawar-menawar. Atau,
kinerjanya wajib benar-benar bersih dari berbagai bentuk malapraktik profesi,
seperti suap-menyuap atau simbiosis mutualisme (saling menguntungkan dan diuntungkan).
Tingginya
kesejahteraan hakim di sejumlah negara memang bisa dijadikan acuan oleh hakim
maupun negara. Akan tetapi, besaran gaji hakim juga diikuti besaran prestasi
yang ditunjukkannya tanpa perlu bargaining.
Elite yudisial itu tidak serta-merta menerima gaji dan berbagai macam
tunjangan, tetapi melalui tahapan evaluasi kinerja yang objektif dan akuntabel,
khususnya da lam memperjuangkan hukum dan keadilan.
Umumnya,
kita gampang tergiur untuk menuntut hak dengan cara mencari pembenaran lewat objek
perbandingan dengan negara-negara lain, bukan pada ranah kewajiban-kewajiban.
Berwibawanya lembaga kehakiman di negara lain bukan dimodali besarnya gaji dan
tunjangan yang diberikan pada komunitas hakim, melainkan karena etos kerja,
independensi, dan integritas moral yang ditunjukkan para hakim seperti yang
ditunjukkan hakim yang memeriksa kasus Mubarak.
Sebagai
pemegang palu keadilan, hakim seharusnya menyadari bahwa keadilan tidak hanya
berlaku untuk orang lain, tetapi juga pada dirinya. Ketika kinerjanya belum
maksimal dan masih sarat `baksil'
atau profesinya belum bersih dari hegemoni borok yang menjangkitinya, di
samping masih kental oleh tuduhan miskin (lemah) etos kerja, permintaan
penaikan gaji kepada negara selayaknya tidak perlu menjadi prioritasnya.
Program
prioritas yang sekarang wajib digarap hakim ialah kinerja peradilan dan
citranya yang jatuh hingga ke ranah memprihatinkan dan memilukan, kalau tak
dibilang titik nadir. Kalau kinerja dan citra itu bisa maksimal
diimplementasikan, permintaan penaikan gaji tidak sampai jadi bahan cemoohan
atau misoginisme (kebencian) publik.
Dalam
Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selain itu,
hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Itu
berarti di tangan hakim tersebut, nasib keadilan ditentukan. Hukum yang
diproduksi sebagai instrumen keadilan merupakan objek yang dipahami dan
meregulasi kinerja hakim sehingga di tangan hakim pula, keadilan bisa
dikalahkan dan dihancurkan, di samping bisa dimenangkan dan disejarahkan. Itu
berarti hakim memegang kunci utama terwujud tidaknya keadilan.
Hakim menjadi elemen sakral peradilan dan negara hukum.
Integritas
dan kepribadian hakim seperti yang dituntut negara (melalui norma yuridis) itu
selama ini masih menjadi penyakit atau `baksil'
yang menjatuhkan kewibawaan peradilan. Hakim merupakan salah satu elemen
peradilan yang diperlakukan masyarakat sebagai objek misoginisme. Perlakukan
masyarakat itu tidak lepas dari rekam jejak hakim yang tidak di antaranya
terperosok pada praktik penyalahgunaan peran, tugas, dan kewenangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar