Kamis, 07 Juni 2012

Dari Mesir untuk Hakim Indonesia


Dari Mesir untuk Hakim Indonesia
Bambang Satriya ; Guru Besar Universitas Ma-Chung dan STIEKMA Malang;
Penulis Buku ‘Etika Birokrasi’
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 7 Juni 2012


HAKIM di Mesir menunjukkan keberanian. Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak divonis hukuman seumur hidup karena dinilai terbukti terlibat dalam pembunuhan sejumlah aktivis atau pendemo. Hukuman yang dijatuhkan hakim itu, meskipun oleh kelompok aktivis di Mesir belum tergolong berkeadilan atau tidak sesuai dengan tuntutan keluarga korban yang meminta hakim menghukum mati Mubarak, layak diapresiasi sebagai vonis yang berani.

Seorang mantan presiden dijatuhi hukuman seumur hidup jelas bukanlah vonis ringan. Hakim yang menjatuhkan vonis kepada Mubarak itu mampu menunjukkan integritasnya antara menghadapi tekanan publik dan kepentingan menegakkan hukum dan keadilan. Hakim tersebut bernyali tinggi dalam melawan kedua arus, kubu Mubarak dengan kubu korban dan rakyat.

Apakah hakim di Mesir yang bernyali tinggi itu juga bergaji tinggi? Tidak. Gaji yang diterima hakim di Mesir juga tidak berbeda dengan pegawai pada umumnya, apalagi Mesir juga sedang menghadapi krisis ekonomi yang serius sehingga tidak mampu memberikan kesejahteraan memadai kepada hakim.

Keberanian hakim itu lebih dimotivasi oleh semangat mewujudkan reformasi di segala bidang di Mesir pasca-Mubarak, bukan oleh `syahwat' yang berelasi dengan kepentingan kesejahteraan profesinya. Para hakim bertekad kuat membumikan reformasi hukum ke ranah empiris, antara lain dengan cara menjatuhkan vonis yang bernapaskan keadilan dan kesamaan derajat. Dari vonis yang dijatuhkan kepada Mubarak itu, apa yang bisa ditiru hakim di negeri ini?
 
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim Indonesia tak perlu merelasikannya dengan kesejahteraan. Jika itu terus yang dijadikan parameter, negara ibarat mendapatkan kewajiban `menyuap' hakim supaya keadilan bisa ditegakkan atau minimal kinerja hakim bisa meningkat.

Memang selama ini ada pertanyaan di ranah publik, benarkah gaji atau kesejahteraan hakim menentukan putusan? Atau, adakah dampak antara gaji atau kesejahteraan yang diterima hakim dan putusan yang dijatuhkannya?
Benarkah hakim yang memeriksa perkara pidana korupsi atau kejahatan istimewa (extraordinary crime) pun menggaransikan jenis putusan yang dijatuhkannya berdasarkan gaji atau kesejahteraan yang diterimanya?

Pertanyaan itu berkali-kali terlontar saat menyikapi putusan hakim yang membebaskan terdakwa kasus korupsi atau putusannya hanya menghukum beberapa bulan penjara. Artinya, mencuat dan menguat asumsi bahwa besar kecilnya gaji hakim dinilai berpengaruh terhadap kinerjanya. Ketika ada hakim yang berani menjatuhkan putusan bebas terhadap perkara korupsi, itu mengindikasikan hakim yang menangani masih terpengaruh oleh besaran gaji atau kesejahteraan yang diterimanya.

Asumsi juga berlanjut bahwa ketika gaji atau kesejahteraannya tidak mendapatkan perhatian maksimal dari negara, sedangkan ada kekuatan lain yang memperhatikannya, kecenderungan meng ikuti irama dari seseorang atau sekelompok orang yang memedulikannya bukan kemustahilan. Praduga demikian tidak mutlak salah. Pasalnya, tidak jarang ditemukan praktik mafia peradilan, salah satu oknum yang ikut menjadi pemainnya adalah hakim. Hakim ikut menjadi bagian dari instrumen `tragedi peradilan' karena tidak sedikit yang menerima suap, gratifikasi, atau mengadakan kolaborasi dengan terdakwa.

Asep Rahmat Fajar (2011) dari KY sebenar nya pernah menyatakan jika kinerja para hakim sudah mulai menunjuk kan perbaikan dari har ke hari, publik atau masyarakat akan memberikan support demi mewu judkan kesejahteraannya.
Kesejahteraan merupakan elemen paling penting bagi kinerja peradilan. Namun, para hakim harus menunjukkan bahwa mereka pantas diberi kesejahteraan atau gaji yang tinggi.

Itu menunjukkan gaji atau kesejahteraan hakim berelasi dengan kinerja. Kinerja hakim yang baik akan berdampak pada peningkatan gajinya. Selama jinya. Selama kinerjanya belum baik, ke sejahteraannya pun tidak akan meningkat. Ketika kesejahteraannya tidak meningkat, `tragedi' seperti putusan bebas atau meringankan terdakwa sulit dihindari. Masalahnya, apakah memang demikian pragmatisme dan kapitalisme hakim-hakim di negeri ini?

Memang jika dibandingkan dengan penggajian hakim di berbagai negara, gaji yang diterima hakim-hakim di Indonesia tergolong rendah. Pada 2008 misalnya, disebutkan perbandingan gaji hakim di Indonesia dengan koleganya di negara tetangga, Malaysia, sangatlah jauh. Perbandingannya 1:50. Itu suatu kondisi disparitas yang menempatkan as yang menempatkan hakim Indonesia di posisi inferior. Meski demikian, opsi menjalani profesi hakim bukanlah bekerja untuk uang (kesejahteraan), melainkan bekerja untuk hukum dan keadilan.

Itu menunjukkan, terlepas apakah nantinya ada penaikan gaji atau pemberian kesejahteraan oleh pemerintah, publik atau masyarakat pencari keadilan (justiabelen) sangat meminta hakim membangun etos kerja dan integritas moral. Hak kesejahteraan memang harus diperjuangkannya, tetapi kedudukannya sebagai pilar peradilan yang mengabdi kepada hukum dan keadilan pun wajib ditunjukkan tanpa tawar-menawar. Atau, kinerjanya wajib benar-benar bersih dari berbagai bentuk malapraktik profesi, seperti suap-menyuap atau simbiosis mutualisme (saling menguntungkan dan diuntungkan).

Tingginya kesejahteraan hakim di sejumlah negara memang bisa dijadikan acuan oleh hakim maupun negara. Akan tetapi, besaran gaji hakim juga diikuti besaran prestasi yang ditunjukkannya tanpa perlu bargaining. Elite yudisial itu tidak serta-merta menerima gaji dan berbagai macam tunjangan, tetapi melalui tahapan evaluasi kinerja yang objektif dan akuntabel, khususnya da lam memperjuangkan hukum dan keadilan.

Umumnya, kita gampang tergiur untuk menuntut hak dengan cara mencari pembenaran lewat objek perbandingan dengan negara-negara lain, bukan pada ranah kewajiban-kewajiban. Berwibawanya lembaga kehakiman di negara lain bukan dimodali besarnya gaji dan tunjangan yang diberikan pada komunitas hakim, melainkan karena etos kerja, independensi, dan integritas moral yang ditunjukkan para hakim seperti yang ditunjukkan hakim yang memeriksa kasus Mubarak.

Sebagai pemegang palu keadilan, hakim seharusnya menyadari bahwa keadilan tidak hanya berlaku untuk orang lain, tetapi juga pada dirinya. Ketika kinerjanya belum maksimal dan masih sarat `baksil' atau profesinya belum bersih dari hegemoni borok yang menjangkitinya, di samping masih kental oleh tuduhan miskin (lemah) etos kerja, permintaan penaikan gaji kepada negara selayaknya tidak perlu menjadi prioritasnya.

Program prioritas yang sekarang wajib digarap hakim ialah kinerja peradilan dan citranya yang jatuh hingga ke ranah memprihatinkan dan memilukan, kalau tak dibilang titik nadir. Kalau kinerja dan citra itu bisa maksimal diimplementasikan, permintaan penaikan gaji tidak sampai jadi bahan cemoohan atau misoginisme (kebencian) publik.

Dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Itu berarti di tangan hakim tersebut, nasib keadilan ditentukan. Hukum yang diproduksi sebagai instrumen keadilan merupakan objek yang dipahami dan meregulasi kinerja hakim sehingga di tangan hakim pula, keadilan bisa dikalahkan dan dihancurkan, di samping bisa dimenangkan dan disejarahkan. Itu berarti hakim memegang kunci utama terwujud tidaknya keadilan.
 
Hakim menjadi elemen sakral peradilan dan negara hukum.
Integritas dan kepribadian hakim seperti yang dituntut negara (melalui norma yuridis) itu selama ini masih menjadi penyakit atau `baksil' yang menjatuhkan kewibawaan peradilan. Hakim merupakan salah satu elemen peradilan yang diperlakukan masyarakat sebagai objek misoginisme. Perlakukan masyarakat itu tidak lepas dari rekam jejak hakim yang tidak di antaranya terperosok pada praktik penyalahgunaan peran, tugas, dan kewenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar