Senin, 11 Juni 2012

Demokrasi Nirmanfaat


Demokrasi Nirmanfaat
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SUMBER :  SINDO, 09 Juni 2012


Sejumlah pemikir tentang demokrasi mengemukakan hal-hal yang kurang-lebih sama tentang apa dan bagaimana demokrasi, yakni: penghargaan terhadap individu, kebebasan, persamaan kedudukan di depan hukum, hak memilih dan dipilih, hak menyampaikan protes terhadap penguasa, penghargaan atas cara persuasif ketimbang kekerasan dalam menciptakan perubahan, penghargaan terhadap hak-hak minoritas, dan banyak hal lainnya. 

Jika semua hal tersebut terwujud di tengah kehidupan bernegara dan berbangsa, bukankah demokrasi niscaya membuat kehidupan kita menjadi lebih baik? Apalagi di sisi lain, demokrasi bukan hanya berurusan dengan persoalan-persoalan sistemik-struktural kenegaraan dan prosedural mekanisme untuk memilih para pemimpin. Lebih dari itu, demokrasi juga menyangkut sejumlah nilai (values) yang seharusnya kita amalkan di tengah kehidupan sehari-hari.

Pertanyaannya, mengapa kian lama kian banyak orang yang mempertanyakan manfaat demokrasi bagi Indonesia yang sedang mereformasi dirinya ini? Ada banyak kemungkinan untuk menjawabnya. Pertama, karena demokrasi tak disertai dengan etika berpolitik yang benar oleh para politisi sehingga demokrasi pun berubah menjadi sekadar ajang untuk mencari kekuasaan demi mencapai kepentingan. Akibatnya, politik ala Machiavelli pun menjadi pilihan taktik dan prinsip. Padahal seharusnya politik itu merupakan ”panggilan” (calling) untuk mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini.

Berdasarkan itu, dengan mengutip Guru Etos Jansen Sinamo, berpolitik seharusnya merupakan rahmat sehingga harus dilakukan dengan tulus penuh syukur. Berpolitik merupakan amanah sehingga harus bekerja benar penuh tanggung jawab. Berpolitik merupakan ibadah sehingga harus bekerja benar dan serius. Berpolitik merupakan aktualisasi diri sehingga harus bekerja penuh semangat, kreatif, dan unggul. Berpolitik merupakan kehormatan sehingga harus bekerja tekun dan bertanggung jawab.Berpolitik merupakan pelayanan sehingga harus bekerja dengan kerendahan hati.

Kedua, bicara tentang etika politik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Forum Ke-6 World Movement for Democracy di Jakarta, 12 April 2010, berkata: ”Tantangan terbesar demokrasi sekarang adalah politik uang. Ini menjadi masalah di banyak negara. Demokrasi seperti itu pada akhirnya hanya melahirkan demokrasi yang artifisial dan mengurangi kepercayaan dan dukungan publik.” Makin besar politik uang, menurut SBY, makin sedikit aspirasi rakyat yang diperjuangkan oleh pemimpin politik. Praktik demokrasi seperti itu niscaya menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Terkait itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Jawa Tengah, Poppy Dharsono, pernah mengungkapkan pesimismenya menatap prospek demokrasi Indonesia. Betapa tidak, Poppy yang relatif sudah terkenal saja masih ”dimintai” uang sekitar Rp5 miliar untuk bisa menjadi calon kepala daerah yang didukung partai tertentu. Kalau partai pendukungnya, katakanlah, ada tiga, apakah jumlah uang yang harus ”disetor” mantan peragawati itu otomatis menjadi tiga kali lipat besarnya? Itu pun baru ongkos untuk bisa meraih tiket pencalonan.

Jika Poppy jadi maju, miliaran rupiah lagi harus disiapkan untuk dana kampanye dan berbagai kebutuhan lainnya. Sebesar itukah biaya yang harus dikeluarkan seseorang yang bermimpi menjadi pemimpin? Kalau benar begitu, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak kaya raya, namun berkualitas, berintegritas, dan terpanggil untuk menjadi pemimpin? Apakah hak politik mereka untuk dipilih di ajang demokrasi prosedural hanya boleh diimpikan tapi tak bisa dinikmati lantaran tak punya modal? Jika merujuk Indeks Demokrasi Global 2011, mungkin kita terheran-heran bahwa Indonesia ditempatkan pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang di survei; jauh di bawah Timor Leste (42),Papua Nugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57).

Indonesia bahkan masuk dalam kategori ”cacat demokrasi” (flawed democracy); yang antara lain ditandai dengan pemilu yang kotor, pemerintahan yang korup dan ingkar janji, serta keterancaman pluralisme (Economist Intelligence Unit, 2011). Begitulah, meski Indonesia pernah mendapatkan Democracy Award, 12 November 2007, dari International Association of Political Consultants (IAPC) di Bali, dan bahkan diakui sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia (setelah Amerika Serikat dan India), namun ternyata ”rapor demokrasi” Indonesia dipenuhi warna merah.

Ketiga, karena demokrasi yang bergulir deras dewasa ini tidak disertai dengan penegakan hukum. Tidakkah tanpa penegakan hukum, demokrasi yang meninggikan kebebasan niscaya menjadi liar karenanya? Benar bahwa atas nama demokrasi, setiap orang berhak menikmati kebebasan. Tetapi, bukankah kita tak hidup di ruang hampa? Bukankah kita berada di tengah kebersamaan dengan sesama yang lain? Itu sebabnya, di negara manapun, hukum harus menjadi panglima dan supremasi hukum ditegakkan. Dengan demikianlah, demokrasi niscaya menjadi tertib.
Keempat, pemerintahan demokratis di sebuah negara besar yangpenduduknya sangatpluralistik lebih cocok dilaksanakan oleh orang-orang yang berkepribadian tegas dan berani menghadapi risiko. Jika sebaliknya, demokrasi hanya akan menjadi sebentuk proses tawar-menawar (politik) yang menjemukan dan tak mampu memberi kepastian. Alhasil, rakyat pun niscaya merasa gelisah dan selalu bertanya: apa manfaat demokrasi kalau kehidupan kita tak semakin membaik? Itulah demokrasi yang nirmanfaat.
Atas dasar itulah, para pemikir dan para pemimpin harus terus-menerus mewacanakan demokrasi secara dialektik sehingga produk-produk yang dihasilkannya niscaya lebih cocok dengan perkembangan zaman dan dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, demokrasi juga menjadi dinamis. Memang, sampai kapan pun demokrasi tak mungkin mencapai tahapan final sehingga menutup peluang bagi terjadinya perubahan-perubahan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar