PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN :
Dirampok
Kerakahan dan Kerakusan
Laporan Diskusi Panel
Terbatas KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 12
Juni 2012
Entah berapa banyak lagi solusi yang
ditawarkan untuk mencapai cita-cita ”Pembangunan Berkelanjutan”. Yang jelas, jejak-jejak
model pembangunan yang serba rakus di Indonesia mulai ramai gugatan, tetapi
sepi tanggapan.
Setelah 20 tahun Konferensi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan (WCED) atau Earth
Summit di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, banyak terjadi perubahan.
Namun, optimisme kemajuan yang tecermin dari pertumbuhan ekonomi terus
dibayangi meluasnya penghancuran sosial-ekologis di banyak negara.
Kapitalisme yang penuh muslihat merebut ruang
pemaknaan atas pendekatan-pendekatan yang diyakini sebagai ”solusi”, termasuk ”green economy” dengan segala turunannya
yang menjadi primadona perundingan
Berpihak yang Kuat
Selama ini hampir seluruh kebijakan dan
program pembangunan di Indonesia bertaut dengan kepentingan politik-ekonomi
kapitalisme global. Pintu masuknya diperlebar dan penghambatnya dipangkas
melalui berbagai regulasi terkait kebumian dan sumber daya alam. Yang terbaru,
UU Pengadaan Tanah, disahkan pada Desember 2011.
Konflik pun merebak. Badan Pertanahan
Nasional mencatat, kebijakan pemerintah menyebabkan 14.377 konflik (2009-2011)
antara petani dan investor, baik dari dalam maupun luar negeri, atau patungan,
atau yang lain.
Dua tahun terakhir Komnas HAM menerima 10.139
kasus pengaduan pelanggaran HAM, 1.557 di antaranya konflik agraria dan sumber
daya alam.
”Walhi menerima ratusan kasus, juga Serikat
Petani Indonesia,” kata Ali Akbar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Jumlah petani berkurang sekitar 7,42 persen
atau 3,1 juta pada 2011 meski masih mencakup 39 persen dari populasi kerja.
Frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari 240-300 hari menjadi 160-180
hari per tahun. Jumlah nelayan menurun drastis, dari 4 juta menjadi 2,2 juta
(2011). Konflik kelautan dan pesisir terus berlangsung.
Serba Rakus
Model pembangunan ekonomi di Indonesia 20
tahun terakhir rakus bahan bakar fosil, rakus bahan mentah hayati, rakus air,
rakus menguras sumber daya alam tak terbarukan, rakus lahan dan tanah, rakus
buruh murah, serta melibatkan kekerasan yang militeristik. Kesenjangan semakin
dalam. Saat ini, sekitar 56 persen aset nasional dikuasai hanya oleh 0,2 persen
penduduk.
Kegiatan pertambangan telah menggusur
kedaulatan pangan. Persawahan hijau di Desa Kertabuana, Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur, yang dikembangkan 30 tahun, misalnya, berubah jadi lahan
gersang dalam dua bulan karena berubah jadi tambang batubara. Laju konversi
lahan pangan tak terkendali, mencapai 100.000 hektar per tahun.
Jadi, tak sulit menjawab mengapa impor bahan
pangan terus meningkat, mencapai 65 persen atau setara Rp 125 triliun per
tahun. Juga tak sulit menjawab mengapa target mengurangi angka kelaparan dan
kurang gizi sebanyak 75 persen tak akan tercapai pada 2015.
Desentralisasi memberi akses pada pemerintah
daerah atas izin pertambangan untuk pendapatan daerah. Namun, akses itu
tampaknya melumpuhkan prinsip demokrasi substansial.
Sampai Januari 2012, dikeluarkan 10.235 izin
pengerukan tambang, 2.475 di antaranya di Kalimantan. Dari jumlah itu, 1.212
konsesi tambang di Kalimantan Timur. Luasnya 4,4 juta hektar atau 22,1 persen luas
provinsi. Pertambangan telah mengancam keragaman hayati pada sedikitnya 3,97
juta hektar kawasan hutan lindung.
Ironisnya, penduduk hanya menggunakan 2
persen dari lebih dari 200 juta ton batubara yang dibongkar dari perut
Kalimantan. Indonesia adalah pemasok kedua terbesar batubara dan keenam
terbesar gas bumi di dunia. Pada saat sama, industri dalam negeri kesulitan
mendapatkan gas. Jadi, jangan bermimpi soal kedaulatan energi.
Salah Kelola
Pasar batubara dan gas bumi terbesar adalah
China dan India, padahal cadangan mereka sangat besar. Kepentingan jangka
pendek menipiskan kewaspadaan terhadap bahaya terkurasnya sumber energi tak
terbarukan. Cadangan batubara Indonesia diperkirakan habis dalam 64 tahun, gas
bumi 33 tahun. Cadangan bijih mineral tak terbarukan, seperti bauksit, besi,
dan nikel, terancam habis dalam 5-15 tahun ke depan karena salah kelola.
Berbagai bukti menunjukkan, pengerukan
tambang dan akumulasi modal tak banyak meningkatkan kualitas kesejahteraan
rakyat setempat. Selain itu, ”Kualitas lingkungan hidup terus turun,” ujar
Rachmat Pambudy dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, ”sebagian besar yang
kita miliki tak bisa kita nikmati.”
Dampak kegiatan pertambangan cukup serius.
Dinas Kesehatan Samarinda mencatat, sampai awal tahun 2011 terdapat 17.444
kasus infeksi saluran pernapasan atas. Antara 2007 dan 2011 terjadi 72 kali
banjir, berdampak pada lebih dari 10.000 warga, dengan kerugian sedikitnya Rp
2,3 miliar setiap banjir. Dua dari 150 lubang bekas penambangan telah
menewaskan lima pelajar.
Perlawanan pun merebak. Di Molo, Flores, Nusa
Tenggara Timur, perempuan berada di baris terdepan, menolak tambang marmer yang
telah menghancurkan alam. Mereka menganalogikan batu, hutan, air, dan tanah
sebagai tubuh manusia. Semboyan perlawanan mereka, ”Ka m i tak akan jual apa
yang kami tak bisa buat.”
Rusak Berkesinambungan
Dalam 10 tahun terakhir, kerusakan kawasan
tangkapan air 1,1-1,7 juta hektar per tahun, sebagian besar dialihfungsikan
menjadi kawasan pembalakan kayu, perkebunan sawit, dan pertambangan. ”Saat ini
9 juta hektar lahan perkebunan sawit dikuasai korporasi,” ujar Tejo Pramono
dari Serikat Petani Indonesia.
Hanya 34 persen air hujan yang tersimpan
menjadi air tanah, sisanya menjadi air permukaan penyebab banjir. Kementerian
Lingkungan Hidup mengumumkan, 63 persen dari 51 sungai besar di Indonesia
tercemar berat, 31 persen tercemar sedang.
Daratan, sungai, dan laut juga tercemar
limbah tailing. Dalam 10 tahun terakhir, korporasi penambangan emas Newmont dan
Freeport ”direstui” membuang 1.475 miliar ton limbah tailing ke sungai dan laut Indonesia.
Orang berharap, analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal) akan menahan laju eksploitasi. Nyatanya, 75 persen dari
9.000 dokumen amdal yang disetujui pemerintah kualitasnya buruk dan sangat buruk.
Komisi Penilai Amdal baru ada di 119 dari 474 kabupaten/kota di Indonesia
(2008). Itu pun yang berfungsi baru 50 persen.
Demikianlah. Semua fakta sudah terpapar,
tetapi baru ”bunyi” kalau diberi makna. Dalam hal ini, ruang pemaknaan harus
direbut demi kehidupan, keselamatan manusia, dan keutuhan fungsi alam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar