Rabu, 13 Juni 2012

Dirampok Kerakahan dan Kerakusan


PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN :
Dirampok Kerakahan dan Kerakusan
Laporan Diskusi Panel Terbatas KOMPAS
SUMBER :  KOMPAS, 12 Juni 2012


Entah berapa banyak lagi solusi yang ditawarkan untuk mencapai cita-cita ”Pembangunan Berkelanjutan”. Yang jelas, jejak-jejak model pembangunan yang serba rakus di Indonesia mulai ramai gugatan, tetapi sepi tanggapan.

Setelah 20 tahun Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (WCED) atau Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, banyak terjadi perubahan. Namun, optimisme kemajuan yang tecermin dari pertumbuhan ekonomi terus dibayangi meluasnya penghancuran sosial-ekologis di banyak negara.

Kapitalisme yang penuh muslihat merebut ruang pemaknaan atas pendekatan-pendekatan yang diyakini sebagai ”solusi”, termasuk ”green economy” dengan segala turunannya yang menjadi primadona perundingan

Berpihak yang Kuat

Selama ini hampir seluruh kebijakan dan program pembangunan di Indonesia bertaut dengan kepentingan politik-ekonomi kapitalisme global. Pintu masuknya diperlebar dan penghambatnya dipangkas melalui berbagai regulasi terkait kebumian dan sumber daya alam. Yang terbaru, UU Pengadaan Tanah, disahkan pada Desember 2011.

Konflik pun merebak. Badan Pertanahan Nasional mencatat, kebijakan pemerintah menyebabkan 14.377 konflik (2009-2011) antara petani dan investor, baik dari dalam maupun luar negeri, atau patungan, atau yang lain.

Dua tahun terakhir Komnas HAM menerima 10.139 kasus pengaduan pelanggaran HAM, 1.557 di antaranya konflik agraria dan sumber daya alam.

”Walhi menerima ratusan kasus, juga Serikat Petani Indonesia,” kata Ali Akbar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Jumlah petani berkurang sekitar 7,42 persen atau 3,1 juta pada 2011 meski masih mencakup 39 persen dari populasi kerja. Frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari 240-300 hari menjadi 160-180 hari per tahun. Jumlah nelayan menurun drastis, dari 4 juta menjadi 2,2 juta (2011). Konflik kelautan dan pesisir terus berlangsung.

Serba Rakus

Model pembangunan ekonomi di Indonesia 20 tahun terakhir rakus bahan bakar fosil, rakus bahan mentah hayati, rakus air, rakus menguras sumber daya alam tak terbarukan, rakus lahan dan tanah, rakus buruh murah, serta melibatkan kekerasan yang militeristik. Kesenjangan semakin dalam. Saat ini, sekitar 56 persen aset nasional dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk.

Kegiatan pertambangan telah menggusur kedaulatan pangan. Persawahan hijau di Desa Kertabuana, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang dikembangkan 30 tahun, misalnya, berubah jadi lahan gersang dalam dua bulan karena berubah jadi tambang batubara. Laju konversi lahan pangan tak terkendali, mencapai 100.000 hektar per tahun.

Jadi, tak sulit menjawab mengapa impor bahan pangan terus meningkat, mencapai 65 persen atau setara Rp 125 triliun per tahun. Juga tak sulit menjawab mengapa target mengurangi angka kelaparan dan kurang gizi sebanyak 75 persen tak akan tercapai pada 2015.

Desentralisasi memberi akses pada pemerintah daerah atas izin pertambangan untuk pendapatan daerah. Namun, akses itu tampaknya melumpuhkan prinsip demokrasi substansial.

Sampai Januari 2012, dikeluarkan 10.235 izin pengerukan tambang, 2.475 di antaranya di Kalimantan. Dari jumlah itu, 1.212 konsesi tambang di Kalimantan Timur. Luasnya 4,4 juta hektar atau 22,1 persen luas provinsi. Pertambangan telah mengancam keragaman hayati pada sedikitnya 3,97 juta hektar kawasan hutan lindung.

Ironisnya, penduduk hanya menggunakan 2 persen dari lebih dari 200 juta ton batubara yang dibongkar dari perut Kalimantan. Indonesia adalah pemasok kedua terbesar batubara dan keenam terbesar gas bumi di dunia. Pada saat sama, industri dalam negeri kesulitan mendapatkan gas. Jadi, jangan bermimpi soal kedaulatan energi.

Salah Kelola

Pasar batubara dan gas bumi terbesar adalah China dan India, padahal cadangan mereka sangat besar. Kepentingan jangka pendek menipiskan kewaspadaan terhadap bahaya terkurasnya sumber energi tak terbarukan. Cadangan batubara Indonesia diperkirakan habis dalam 64 tahun, gas bumi 33 tahun. Cadangan bijih mineral tak terbarukan, seperti bauksit, besi, dan nikel, terancam habis dalam 5-15 tahun ke depan karena salah kelola.

Berbagai bukti menunjukkan, pengerukan tambang dan akumulasi modal tak banyak meningkatkan kualitas kesejahteraan rakyat setempat. Selain itu, ”Kualitas lingkungan hidup terus turun,” ujar Rachmat Pambudy dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, ”sebagian besar yang kita miliki tak bisa kita nikmati.”

Dampak kegiatan pertambangan cukup serius. Dinas Kesehatan Samarinda mencatat, sampai awal tahun 2011 terdapat 17.444 kasus infeksi saluran pernapasan atas. Antara 2007 dan 2011 terjadi 72 kali banjir, berdampak pada lebih dari 10.000 warga, dengan kerugian sedikitnya Rp 2,3 miliar setiap banjir. Dua dari 150 lubang bekas penambangan telah menewaskan lima pelajar.

Perlawanan pun merebak. Di Molo, Flores, Nusa Tenggara Timur, perempuan berada di baris terdepan, menolak tambang marmer yang telah menghancurkan alam. Mereka menganalogikan batu, hutan, air, dan tanah sebagai tubuh manusia. Semboyan perlawanan mereka, ”Ka m i tak akan jual apa yang kami tak bisa buat.”

Rusak Berkesinambungan

Dalam 10 tahun terakhir, kerusakan kawasan tangkapan air 1,1-1,7 juta hektar per tahun, sebagian besar dialihfungsikan menjadi kawasan pembalakan kayu, perkebunan sawit, dan pertambangan. ”Saat ini 9 juta hektar lahan perkebunan sawit dikuasai korporasi,” ujar Tejo Pramono dari Serikat Petani Indonesia.

Hanya 34 persen air hujan yang tersimpan menjadi air tanah, sisanya menjadi air permukaan penyebab banjir. Kementerian Lingkungan Hidup mengumumkan, 63 persen dari 51 sungai besar di Indonesia tercemar berat, 31 persen tercemar sedang.

Daratan, sungai, dan laut juga tercemar limbah tailing. Dalam 10 tahun terakhir, korporasi penambangan emas Newmont dan Freeport ”direstui” membuang 1.475 miliar ton limbah tailing ke sungai dan laut Indonesia.

Orang berharap, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) akan menahan laju eksploitasi. Nyatanya, 75 persen dari 9.000 dokumen amdal yang disetujui pemerintah kualitasnya buruk dan sangat buruk. Komisi Penilai Amdal baru ada di 119 dari 474 kabupaten/kota di Indonesia (2008). Itu pun yang berfungsi baru 50 persen.

Demikianlah. Semua fakta sudah terpapar, tetapi baru ”bunyi” kalau diberi makna. Dalam hal ini, ruang pemaknaan harus direbut demi kehidupan, keselamatan manusia, dan keutuhan fungsi alam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar