Senin, 25 Juni 2012

Dua Wajah Otonomi Daerah


Dua Wajah Otonomi Daerah
Susanti Agustina ;  Litbang KOMPAS
Sumber :  KOMPAS, 25 Juni 2012


Era otonomi daerah berlangsung lebih dari satu dekade sejak tahun 2001. Kendati ada pengakuan publik terhadap perkembangan fisik di sejumlah daerah, banyak hal yang dinilai masih rawan. Selain ada kekhawatiran atas merosotnya kualitas layanan publik, merebaknya korupsi di wilayah yang telah dimekarkan juga sangat mengkhawatirkan.

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan kecenderungan peningkatan kepuasan publik terhadap perbaikan dalam pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi di daerah setelah otonomi. Terhadap pembangunan sarana pendidikan (sekolah), misalnya, apresiasi publik bertambah dari angka 61,8 persen (tahun 2010) menjadi 65,5 persen. Kenaikan penilaian yang relatif sama juga disuarakan responden di bidang kesehatan (rumah sakit, puskesmas) dan pembangunan sarana perekonomian (pasar, mal).

Tak hanya persoalan strategis, masalah kerapian dan pengelolaan kota juga diapresiasi responden. Meski demikian, tanggapan publik terhadap perbaikan kondisi sarana umum (jalan, jembatan) cenderung lebih rendah, yaitu 53,8 persen responden justru menyatakan ketidakpuasan. Masyarakat kecewa dengan kondisi jalan dan transportasi yang tidak mengalami kemajuan berarti di daerah mereka, selain lalu lintas kota yang makin semrawut.

Berbeda dengan penilaian publik terhadap perkembangan kondisi infrastruktur fisik wilayah yang cenderung diapresiasi, penilaian terhadap kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah justru dinilai relatif mengecewakan. Salah satu yang paling dominan adalah korupsi yang ditengarai 36,2 persen responden kian banyak dilakukan pada era otonomi. Hanya 14 persen responden yang menilai di daerah mereka makin sedikit elite yang korupsi.

Selain itu, soal kualitas layanan publik juga masih meragukan. Sepertiga bagian responden menyatakan kualitas layanan publik di daerahnya tetap buruk dan bahkan makin buruk. Setali tiga uang, perhatian pemerintah kepada warga juga mengkhawatirkan. Lebih dari 41 persen responden menyatakan, perhatian pemerintah di daerah mereka tetap minim, bahkan makin minim. Masyarakat menilai pemerintah daerah (pemda) masih ”dikelilingi” kepentingan politik ketimbang kepentingan masyarakat.

Merujuk data evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (2011), tercatat ada enam kabupaten yang dinilai berkinerja rendah. Selama tahun 1999-2009 pun hanya dua daerah yang mendapatkan nilai/skor di atas 60 dari skala 1-100. Puncak Jaya dan Paniai bahkan mendapat nilai kosong untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan, dan daya saing.

Kualitas Layanan Publik

Salah satu tujuan pemekaran adalah pelayanan kepada masyarakat menjadi makin mudah dan berkualitas. Namun, kondisi demikian belum tercapai. Alih-alih memberikan pelayanan berkualitas, banyak aparat pemerintahan daerah sibuk ”menyelamatkan” berbagai agenda politik partai yang terkait dengan keuangan daerah.

Tengok saja sejumlah kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah atau anggota DPRD. Data terakhir menyebutkan, 200 lebih kepala daerah, gubernur, wali kota, atau bupati diduga terlibat kasus korupsi terkait penggunaan dana APBD.

Tak dimungkiri, pendelegasian sejumlah besar kewenangan ke daerah menciptakan format ”raja kecil” yang berusaha menjaga daerah kekuasaannya dari serangan pemerintah pusat. Masalahnya, dana terbesar yang dikelola daerah tetap berasal dari pusat. Meski telah lebih 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah masih tetap buruk. Keuangan daerah masih tergantung pada dana pusat.

Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran menemukan, 80 persen pemda di Indonesia sangat bergantung pada dana perimbangan. Komposisi dana yang dapat dikembangkan daerah melalui berbagai pajak dan retribusi atau produk inovasi lain relatif habis, bahkan defisit tiap tahun. Kondisi ini memburuk karena pemda tidak memberi porsi besar untuk belanja publik.

Temuan berikutnya juga menunjukkan, ada 297 kabupaten/kota (separuh lebih total kabupaten/kota di Indonesia) yang memiliki belanja pegawai di atas 50 persen alias melebihi belanja untuk pelayanan publik. Dengan kondisi ini, sulit mengharapkan peningkatan kualitas pelayanan publik dari sejumlah besar pemda yang ada.

Otonomi Khusus Papua

Papua merupakan ironi berikutnya dari pembangunan daerah pada era otonomi. Alih-alih memajukan dan memberdayakan ”Bumi Cenderawasih”, penggelontoran dana otonomi khusus justru ”menjerumuskan” aparat dan publik Papua dalam karut-marut korupsi serta tuntutan pemekaran. Tiap tahun, Papua dan Papua Barat menerima dana perimbangan triliunan rupiah.

Tahun 2012, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 30 triliun untuk pembangunan Papua. Namun, kenyataannya, dana itu tak pernah terwujud menjadi sarana dan fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, dan terminal. Sebanyak 55,3 persen responden di luar Papua menilai pembangunan fasilitas umum pasca-pemekaran di Papua tidak memuaskan.

Kekurangcermatan kebijakan otonomi dan pengabaian kebutuhan substansial warga asli Papua membuat wilayah ini seperti api dalam sekam. Penggelontoran triliunan rupiah uang negara bukannya memajukan pembangunan dan mendekatkan warga Papua dengan saudara sebangsa, tetapi sebaliknya justru memicu isu separatisme hingga kini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar