Minggu, 10 Juni 2012

Dukungan Negara Pengaruhi Kinerja KPK


Dukungan Negara Pengaruhi Kinerja KPK
( Wawancara )
Zainal Arifin Muchtar ; Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat)
Universitas Gajah Mada (UGM)
SUMBER :  SUARA KARYA, 09 Juni 2012



Masalah pemberantasan korupsi, hingga kini masih menjadi perhatian masyarakat luas di Indonesia. Pusat perhatian terutama pada sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga penegak hukum ekstra yang dibentuk negara hampir sepuluh tahun yang lalu dengan alasan tugas memberantas korupsi tidak bisa 100 persen dipercayakan lagi kepada dua institusi penegak hukum yang ada, Kejaksaan Agung dan Polri.
Harapan masyarakat pun tercurah kepada tiga "angkatan" pimpinan KPK, yang kerap dielu-elukan bak pahlawan harapan baru untuk mengenyahkan korupsi dari bumi Indonesia.

Apakah itu sudah tidak problem lagi terkait kinerja KPK? Untuk membahas hal itu, wartawan Suara Karya Nefan Kristiono secara khusus menemui Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Muchtar di kantor Pukat, Bulaksumur, Yogyakarta, Jumat (8/6). Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda menilai pemberantasan korupsi di Indonesia hingga saat ini?

Saya sering bilang pemberantasan korupsi kita sering mengalami anakronisme. Maksud saya, semangatnya tinggi, tetapi pada saat yang sama hasilnya tidak bagus. Semangat menguatkannya tinggi, tetapi semangat perlawanannya juga sangat tinggi.

Sayangnya, banyak pihak tidak bisa memaknai hal tersebut sebagai sebuah serangan balik dari para koruptor. Masih banyak yang menilai perlawanan itu sah dan wajar. Misalnya, bagaimana cara Komisi III DPR RI tindakannya sering mengintervensi peradilan, tetapi selalu diterjemahkan dengan bahasa melakukan pengawasan terhadap lembaga tersebut.

Dalam pemberantasan korupsi ini, kita jelas berkeringat. Apa yang tidak kita punyai. Undang-undang yang mendukungnya kita punya semua.

Tetapi kan masyarakat umum sekarang sudah melihat perlawanan itu sebagai hal 
yang luar biasa?

Saya menilai pihak yang menilai perlawanan itu sebagai hal biasa adalah negara. Dalam hal ini, negara tidak melihat hal itu sebagai hal yang luar biasa. Anggota DPR menyebut campur tangan terhadap pengadilan itu sebagai kewenangan pengawasan. Tidak aware (peduli-Red) bahwa dengan cara itu, mereka bisa mengintervensi pengadilan dan memperburuk sistem peradilan.

SBY pun tidak pernah memaknai dengan melakukan perang luar biasa. Tidak ada terobosan dalam pemberantasan korupsi.

Meskipun dia sering mengatakan akan memberantas korupsi?

Dia memang sering mengatakan tetapi dalam bahasa "saya", itu hanya gagah di kata-kata, tetapi tidak disertai dengan tindakan. Belum dimaknai dengan serius. Jika kita mengacu kepada indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparency International, misalnya, kita juga tidak mengalami kemajuan berarti, meskipun IPK kita sekarang jauh lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya.

Tetapi, itu belum berarti apa-apa dalam pemberantasan korupsi. Saya mengistilahkan baru berubah dari tikus menjadi kelinci dalam rantai makanan. Belum menjadi manusia. Sebab, tikus dan kelinci masih tergolong pada mata rantai makanan di tingkat yang rendah. Kalau sudah menjadi manusia tentu sudah berada pada tingkat pemangsa, bukan yang dimangsa seperti tikus dan kelinci.

Kalau dilacak, sebenarnya problem penyakitnya menurut saya berada di tingkat kemauan negara. Dukungan negara.

Selama ini kan KPK sudah gencar melakukan reformasi birokrasi?

Benar. Tetapi dukungan terhadap tindakan itu, kan, rendah. Begitu juga dukungan untuk KPK. Misalnya saya dalam hal anggaran bagi KPK. Nilainya, kan, sangat jauh dari anggaran untuk KPK-nya Hong Kong (ICAC/Independent Commision Against Corruption).

Apakah itu dalam hal jumlah?

Benar. Hongkong itu kan penduduknya hanya empat juta jiwa, pulaunya hanya empat buah. Besar anggarannya empat kali dari anggaran KPK kita. Sedangkan pekerjaan mereka sekarang tidak begitu banyak. Sebab, mereka sudah mampu menurunkan perkara korupsi yang menurut klaimnya hampir sebesar 90 persen sebelum ICAC dibentuk.

Sekarang fokus mereka beralih pada tahap meningkatkan integritas kelembagaan. Sedangkan KPK, sekarang saja sudah diamanatkan Undang-Undang KPK, Pasal 19 ayat 2 untuk mendirikan perwakilan di daerah. Tetapi, sampai sekarang mana? Belum dilakukan.

Itu yang mempengaruhi kinerja pengadilan tindak pidana korupsi di daerah?

Benar, Pengadilan Tipikor di daerah jadi agak tidak maksimal, karena tidak ada yang mendorong kinerjanya. Selain itu, untuk bisa memiliki ruang tahanan sendiri, khusus untuk pelaku tindak pidana korupsi yang dimiliki KPK pun sangat sederhana. Itu pun setelah mereka lama mengemis-ngemis.

Dalam bayangan saya, dukungan negara terhadap KPK saat ini sangat rendah. Bahkan, hampir tidak ada. Khususnya dari anggota DPR, dalam arti kekuatan politik. Mereka lebih banyak berkeinginan mengintervensi dan mendomestifikasi (menjinakkan) ketimbang melakukan pemberdayaan.

Jadi persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan sekadar melakukan penegakan hukum semata, tetapi ada masalah lain di situ?

Tepat. Kalau dilacak penyebabnya, menurut saya, adalah birokrasi tidak menutup celah agar orang berlaku permisif. Orang kalau mengurus sesuatu produk pemerintah biasanya masih lama. Problem pengurusan birokrasi kan biasanya waktunya lama, tidak jelas unit complain-nya, sehingga masyarakat memilih dengan menambahkan uang mendapat jalur yang lebih cepat.

Dengan kondisi seperti itu, apakah kita perlu membentuk lembaga baru yang lebih kuat lagi dari KPK?

Dalam hal ini tidak ada obat tunggal dalam pemberantasan korupsi. Saya termasuk orang yang tidak percaya dengan panadol yang bisa mengobati semua penyakit mulai dari sakit kepala, sakit gigi, dan demam sekaligus.

Jadi yang apa yang harus dilakukan untuk mengobati penyakit korupsi di negeri kita?

Semua harus dilakukan. Penguatan lembaga dilakukan, penguatan penegakkan hukum dilakukan, perbaikan sistem dilakukan, memilih pemimpin yang lebih baik, pendidikan masyarakat, membangun sistem pendidikan yang lebih baik. Semuanya.

Artinya, untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya melakukan pembangunan lembaga, tetapi menciptakan suatu gerakan?

Orang yang selalu berfikir menyelesaikan sesuatu dengan membangun lembaga kan? Orang terjebak pada pola pikir institusionalitas. Padahal, cara berpikir hanya dengan membangun lembaga tidak serta merta menyelesaikan masalah, karena lembaga itu kan dijalankan oleh orang.

Kalau mengacu pada kesuksesan gerakan keluarga berencana di era Soeharto, mungkin kah kesuksesan yang sama dilakukan dengan gerakan anti korupsi?

Saya mungkin harus membaca ulang bagaimana konsep gerakan keluarga berencana bisa sukses dilakukan. Tetapi, menurut Saya gerakan itu memang menarik untuk dipelajari. Misalnya adanya pemberian insentif kepada pegawai negeri sipil hanya untuk dua anak, anak selebihnya tidak ditanggung negara misalnya. Selain itu, gencarnya dukungan pemerintah untuk gerakan itu.

Di bidang pemberantasan korupsi, banyak juga hal yang bisa dilakukan untuk membangun gerakan. Tetapi karena kemauan yang rendah, sinergisitasnya juga rendah sehingga sulit dilakukan. Jadi kuncinya ada pada kemauan Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar