Dukungan
Negara Pengaruhi Kinerja KPK
(
Wawancara )
Zainal Arifin Muchtar ; Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat)
Universitas Gajah Mada (UGM)
SUMBER : SUARA
KARYA, 09 Juni 2012
Masalah pemberantasan korupsi, hingga kini masih menjadi perhatian
masyarakat luas di Indonesia. Pusat perhatian terutama pada sepak terjang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga penegak hukum ekstra yang dibentuk
negara hampir sepuluh tahun yang lalu dengan alasan tugas memberantas korupsi
tidak bisa 100 persen dipercayakan lagi kepada dua institusi penegak hukum yang
ada, Kejaksaan Agung dan Polri.
Harapan masyarakat pun tercurah kepada tiga "angkatan"
pimpinan KPK, yang kerap dielu-elukan bak pahlawan harapan baru untuk
mengenyahkan korupsi dari bumi Indonesia.
Apakah itu sudah tidak problem lagi terkait kinerja KPK? Untuk
membahas hal itu, wartawan Suara Karya Nefan Kristiono secara
khusus menemui Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah
Mada (UGM) Zainal Arifin Muchtar di kantor Pukat, Bulaksumur,
Yogyakarta, Jumat (8/6). Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda menilai
pemberantasan korupsi di Indonesia hingga saat ini?
Saya sering bilang pemberantasan korupsi kita sering mengalami
anakronisme. Maksud saya, semangatnya tinggi, tetapi pada saat yang sama
hasilnya tidak bagus. Semangat menguatkannya tinggi, tetapi semangat
perlawanannya juga sangat tinggi.
Sayangnya, banyak pihak tidak bisa memaknai hal tersebut sebagai
sebuah serangan balik dari para koruptor. Masih banyak yang menilai perlawanan
itu sah dan wajar. Misalnya, bagaimana cara Komisi III DPR RI tindakannya
sering mengintervensi peradilan, tetapi selalu diterjemahkan dengan bahasa
melakukan pengawasan terhadap lembaga tersebut.
Dalam pemberantasan korupsi ini, kita jelas berkeringat. Apa yang
tidak kita punyai. Undang-undang yang mendukungnya kita punya semua.
Tetapi kan masyarakat
umum sekarang sudah melihat perlawanan itu sebagai hal
yang luar biasa?
Saya menilai pihak yang menilai perlawanan itu sebagai hal biasa
adalah negara. Dalam hal ini, negara tidak melihat hal itu sebagai hal yang
luar biasa. Anggota DPR menyebut campur tangan terhadap pengadilan itu sebagai
kewenangan pengawasan. Tidak aware (peduli-Red) bahwa dengan cara itu, mereka
bisa mengintervensi pengadilan dan memperburuk sistem peradilan.
SBY pun tidak pernah memaknai dengan melakukan perang luar biasa.
Tidak ada terobosan dalam pemberantasan korupsi.
Meskipun dia sering
mengatakan akan memberantas korupsi?
Dia memang sering mengatakan tetapi dalam bahasa "saya",
itu hanya gagah di kata-kata, tetapi tidak disertai dengan tindakan. Belum
dimaknai dengan serius. Jika kita mengacu kepada indeks persepsi korupsi yang
dikeluarkan Transparency International, misalnya, kita juga tidak mengalami
kemajuan berarti, meskipun IPK kita sekarang jauh lebih baik dari beberapa
tahun sebelumnya.
Tetapi, itu belum berarti apa-apa dalam pemberantasan korupsi.
Saya mengistilahkan baru berubah dari tikus menjadi kelinci dalam rantai
makanan. Belum menjadi manusia. Sebab, tikus dan kelinci masih tergolong pada
mata rantai makanan di tingkat yang rendah. Kalau sudah menjadi manusia tentu
sudah berada pada tingkat pemangsa, bukan yang dimangsa seperti tikus dan
kelinci.
Kalau dilacak, sebenarnya problem penyakitnya menurut saya berada
di tingkat kemauan negara. Dukungan negara.
Selama ini kan KPK sudah
gencar melakukan reformasi birokrasi?
Benar. Tetapi dukungan terhadap tindakan itu, kan, rendah. Begitu
juga dukungan untuk KPK. Misalnya saya dalam hal anggaran bagi KPK. Nilainya,
kan, sangat jauh dari anggaran untuk KPK-nya Hong Kong (ICAC/Independent
Commision Against Corruption).
Apakah itu dalam hal
jumlah?
Benar. Hongkong itu kan penduduknya hanya empat juta jiwa,
pulaunya hanya empat buah. Besar anggarannya empat kali dari anggaran KPK kita.
Sedangkan pekerjaan mereka sekarang tidak begitu banyak. Sebab, mereka sudah
mampu menurunkan perkara korupsi yang menurut klaimnya hampir sebesar 90 persen
sebelum ICAC dibentuk.
Sekarang fokus mereka beralih pada tahap meningkatkan integritas
kelembagaan. Sedangkan KPK, sekarang saja sudah diamanatkan Undang-Undang KPK,
Pasal 19 ayat 2 untuk mendirikan perwakilan di daerah. Tetapi, sampai sekarang
mana? Belum dilakukan.
Itu yang mempengaruhi
kinerja pengadilan tindak pidana korupsi di daerah?
Benar, Pengadilan Tipikor di daerah jadi agak tidak maksimal,
karena tidak ada yang mendorong kinerjanya. Selain itu, untuk bisa memiliki
ruang tahanan sendiri, khusus untuk pelaku tindak pidana korupsi yang dimiliki
KPK pun sangat sederhana. Itu pun setelah mereka lama mengemis-ngemis.
Dalam bayangan saya, dukungan negara terhadap KPK saat ini sangat
rendah. Bahkan, hampir tidak ada. Khususnya dari anggota DPR, dalam arti
kekuatan politik. Mereka lebih banyak berkeinginan mengintervensi dan mendomestifikasi
(menjinakkan) ketimbang melakukan pemberdayaan.
Jadi persoalan
pemberantasan korupsi di Indonesia bukan sekadar melakukan penegakan hukum
semata, tetapi ada masalah lain di situ?
Tepat. Kalau dilacak penyebabnya, menurut saya, adalah birokrasi
tidak menutup celah agar orang berlaku permisif. Orang kalau mengurus sesuatu
produk pemerintah biasanya masih lama. Problem pengurusan birokrasi kan
biasanya waktunya lama, tidak jelas unit complain-nya, sehingga masyarakat
memilih dengan menambahkan uang mendapat jalur yang lebih cepat.
Dengan kondisi seperti
itu, apakah kita perlu membentuk lembaga baru yang lebih kuat lagi dari KPK?
Dalam hal ini tidak ada obat tunggal dalam pemberantasan korupsi.
Saya termasuk orang yang tidak percaya dengan panadol yang bisa mengobati semua
penyakit mulai dari sakit kepala, sakit gigi, dan demam sekaligus.
Jadi yang apa yang harus
dilakukan untuk mengobati penyakit korupsi di negeri kita?
Semua harus dilakukan. Penguatan lembaga dilakukan, penguatan
penegakkan hukum dilakukan, perbaikan sistem dilakukan, memilih pemimpin yang
lebih baik, pendidikan masyarakat, membangun sistem pendidikan yang lebih baik.
Semuanya.
Artinya, untuk melakukan
pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya melakukan pembangunan lembaga,
tetapi menciptakan suatu gerakan?
Orang yang selalu berfikir menyelesaikan sesuatu dengan membangun
lembaga kan? Orang terjebak pada pola pikir institusionalitas. Padahal, cara
berpikir hanya dengan membangun lembaga tidak serta merta menyelesaikan
masalah, karena lembaga itu kan dijalankan oleh orang.
Kalau mengacu pada
kesuksesan gerakan keluarga berencana di era Soeharto, mungkin kah kesuksesan
yang sama dilakukan dengan gerakan anti korupsi?
Saya mungkin harus membaca ulang bagaimana konsep gerakan keluarga
berencana bisa sukses dilakukan. Tetapi, menurut Saya gerakan itu memang
menarik untuk dipelajari. Misalnya adanya pemberian insentif kepada pegawai
negeri sipil hanya untuk dua anak, anak selebihnya tidak ditanggung negara
misalnya. Selain itu, gencarnya dukungan pemerintah untuk gerakan itu.
Di bidang pemberantasan korupsi, banyak juga hal yang bisa
dilakukan untuk membangun gerakan. Tetapi karena kemauan yang rendah, sinergisitasnya
juga rendah sehingga sulit dilakukan. Jadi kuncinya ada pada kemauan Negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar