Senin, 18 Juni 2012

Efektivitas Kurikulum Antikorusi


Efektivitas Kurikulum Antikorusi
Ali Usman ; Praktisi Pendidikan, Tinggal di Yogyakarta
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 18 Juni 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menandatangani nota kesepahaman (MoU) pendidikan antikorupsi di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (9/3). Pendidikan antikorupsi akan diberlakukan mulai tahun ajaran baru 2012-2013.

Kerja sama tersebut meliputi pendidikan antikorupsi, penelitian dan pengembangan, pertukaran data dan informasi, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), program pengendalian gratifikasi (PPG), pengaduan masyarakat dan pengawasan, penertiban barang milik negara, serta program pencegahan tindak pidana korupsi lainnya. Mengapa Kemendikbud mesti bekerja sama dengan KPK untuk sekadar mengimplementasikan kurikulum antikorupsi?

Jika tujuan utama Kemendikbud menjalin kerja sama dengan KPK hanya untuk memperoleh akses sebagaimana isi MoU tersebut, itu sebenarnya terlalu sederhana. Tanpa itu pun Kemendikbud sangat mudah memperoleh data-data terkait dengan korupsi lewat KPK, yaitu dengan memfungsikan peran koordinasi antarlembaga pemerintah. Karena itu, yang dikhawatirkan justru cenderung politis, Kemendikbud sengaja menggandeng KPK untuk melindungi sekaligus mensterilkan lembaganya dari aroma korupsi.

Lepas dari kekhawatiran itu, tulisan ini tidak bermaksud mengacaukan niat baik Kemendikbud, tetapi sebaliknya, hendak mengapresiasi sekaligus memberikan beberapa catatan terkait dengan rencana pendidikan antikorupsi.  Pertanyaannya, efektifkah pencegahan tindak korupsi diterapkan lewat jalur pendidikan? Bagaimana pula implementasi pendidikan antikorupsi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia?

Pendekatan Preventif

Pendidikan antikorupsi bukanlah sistem atau pola pendidikan yang sepenuhnya baru jika melihat korelasinya dengan pendidikan karakter yang belakangan ini gencar dikampanyekan Kemendikbud. Sejalan dengan pendidikan karakter, pendidikan antikorupsi juga berpijak pada kondisi moralitas bangsa yang kian terpuruk akibat korupsi yang makin membudaya.

Pendidikan antikorupsi dimaksudkan sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya korupsi. Strategi tersebut punya dampak positif dan kelebihan daripada pendekatan represif. Hanya, pendekatan preventif memang tidak dapat dinikmati secara langsung, tetapi dalam jangka panjang. Lain halnya dengan pendekatan represif, yang mengandalkan jalur hukum dan aparat keamanan sehingga terlihat sangat agresif memenjarakan orang-orang bersalah, termasuk yang tersangkut kasus korupsi.

Pendekatan represif memiliki kelemahan. Aspek hukum yang menjadi senjata andalan sesungguhnya merupakan sistem aturan terendah yang dapat dijadikan sandaran dalam berprilaku, karena manusia secara kodrati memiliki hati nurani dan kemampuan pikir yang membedakan sikap manusiawi dengan hewani.

Di dalam hati nurani terdapat nilai universal khas manusia yang disebut moral, yang tatarannya jauh lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih mampu menyentuh ranah individual (Sofia dan Herdiansyah, 2009: 892).

Berbeda dengan pendekatan preventif, yang lebih melihat perbaikan moral sehingga orang akan sadar bahwa korupsi merupakan perilaku tidak terpuji yang harus dihindari. Degradasi moral yang menjadi faktor terjadinya korupsi menyebabkan pendekatan preventif berperan strategis.

Nilai-nilai moral sebagai salah satu unsur penting pembentuk nilai-nilai luhur kehidupan selayaknya menjadi inti pembentukan karakter bangsa yang secara psikologis merupakan bagian dari kompetensi yang berada pada domain afektif, kognitif, dan psikomotorik. Proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi itu, dalam sistem pembelajaran, harus memperhatikan 1) pengertian atau pemahaman terhadap karakter antikorupsi, 2) perasaan antikorupsi, 3) tindakan antikorupsi, dan (4) internalisasi nilai-nilai (keimanan, etika, dan moral) (Budiningsih, 2004: 34).

Oleh karena itu, salah satu `pekerjaan rumah' sistem dan lembaga pendidikan di Indonesia saat ini ialah mengembalikan fungsi pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa, yang tidak hanya bertugas sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, life skill dan teknologi, tetapi juga sebagai wahana internalisasi nilai-nilai luhur dan ideal bagi masyarakat.

Independensi Kurikulum

Sebagai bentuk keseriusan dalam memerangi korupsi lewat jalur pendidikan, pemerintah berencana mengintegrasikan bahan-bahan materi antikorupsi ke dalam kurikulum yang relevan atau kurikulum yang serumpun dengan semangat antikorupsi. Strategi `penyisipan' muatan nilai antikorupsi itu memang sangatlah baik, tetapi itu tetap kurang efektif.

Sejauh ini, walau tanpa kebijakan baru dari Kemendikbud, pendidikan antikorupsi sebenarnya telah diterapkan. Misalnya ketika mata pelajaran/ kuliah pendidikan Pancasila, yang di dalamnya terdapat tema demokrasi, hukum, dan parlemen, seorang guru/dosen dapat berimprovisasi dengan mencontohkan kasus korupsi di Indonesia.

Lalu apa bedanya kurikulum yang sudah berjalan itu dengan rencana baru pendidikan antikorupsi tahun 2012/2013? Di situlah pemerintah perlu memberikan kebijakan yang `revolusioner'. Pendidikan antiko rupsi seharusnya menjadi sebuah mata pelajaran/kuliah independen, terutama bagi perguruan tinggi.

Hal ini bisa terjadi jika didu kung dan diinisiasi langsung oleh Ditjen Pendidikan di Kemendikbud maupun Kementerian Agama yang mengimbau--bahkan kalau perlu mewajibkan--semua lembaga pendidikan agar memasukkan kurikulum pendidikan anti korupsi sebagai mata pelajaran/kuliah.

Baru Paramadina

Di Indonesia hanya Universitas Paramadina yang menjadikan mata kuliah `pendidikan antikorupsi' sebagai mata kuliah wajib yang harus diambil setiap mahasiswa. Di negara lain, terdapat mata kuliah corruption and anti-corruption di Asia Pacific School of Economic and Government (APSEG), New South Wales Australia; basic of resistance to corruption di Kazakhstan; dan corruption in developing country di Georgetown university, AS.

Mengapa pendidikan antikorupsi model integrasi ke dalam kurikulum yang serumpun itu lebih banyak diadopsi sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia? Di luar komitmen yang tidak diragukan lagi terhadap pendidikan antikorupsi, pilihan tersebut tampaknya lebih ke pertimbangan praktis. Menyisipkan materi antikorupsi ke dalam satu-dua sesi itu mudah, tetapi model integrasi demikian cenderung kurang memiliki ruang bebas bagi penanaman nilai-nilai antikorupsi kepada siswa, kecuali dilakukan penguatan melalui program-program informal di sekolah (Sofia dan Herdiansyah, 2009: 924-925).

Berbeda dengan pendidikan antikorupsi model independen, yang merupakan langkah taktis dan berani.

Mengapa? Karena perlu upaya besar bagi sekolah untuk mempersiapkan secara matang seluruh perangkat komplet bagi pelaksanaan suatu mata pelajaran, mulai silabus, materi, referensi, metode pembelajaran, sumber daya manu sia (pengajar), hingga ragam aktivitas siswa bagi pelajaran pendidikan antikorupsi selama satu semester.

Di luar pertimbangan praktis tersebut, terdapat kemungkinan adanya pertimbangan beban moral: berani mengajarkan materi antikorupsi, apalagi sebagai sebuah mata pelajaran independen, sama artinya dengan secara tidak langsung berani menyatakan lembaga pendidikan terkait sudah bersih dari praktik-praktik korupsi.

Padahal, fakta membuktikan demikian banyak dan beragamnya bentuk-bentuk korupsi di sektor pendidikan. Sektor ini yang seharusnya menjadi garda depan negara bagi pembentukan generasi muda baru yang siap melaksanakan good and clean governance untuk membawa bangsa menuju kesejahteraan sosial ekonomi.

Pada akhirnya, nilai-nilai antikorupsi yang telah diajarkan di kelas akan sia-sia jika tidak mampu menjadi bagian inheren dari kepribadian dan perilaku (maha)siswa yang dipraktikkan secara konsisten dan berkelanjutan dalam hidup keseharian. Karena itu, pendidikan antikorupsi akan menuju kesempurnaan jika kurikulumnya ditunjang dengan program-program ekstrakurikuler, yang menjadi ujian praktik bagi pemahaman tentang korupsi, nilai-nilai antikorupsi, dan keterampilan (skills) melawan korupsi yang telah diajarkan di kelas.

Tingkat keberhasilan pelaksanaan program akan menjadi parameter efektivitas pembelajaran, khususnya penanaman nilai-nilai antikorupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar