Ekonomi
Gelap di Balik Isu Ekonomi Hijau
Hendro Sangkoyo ; Peneliti pada School of Democratic Economics
SUMBER : KOMPAS, 8
Juni 2012
Bingkai-bingkai wilayah juro-politik adalah
tanda jejak spasial dari perubahan peradaban. Relasi kemanusiaan di situ
tecermin dari bagaimana manusia dan alam diperlakukan.
Kita bisa menangguk pelajaran dari perairan
Indonesia. Saat ini tak ada pulau yang terlalu besar untuk ditaksir nilai
uangnya atau terlalu kecil untuk dikeruk bahan mentahnya. Setiap pulau, besar
ataupun kecil, hanya berarti sebatas sumber uang dan bahan mentah. Lihatlah
Bali. Merujuk tiga episode awal perubahan kemasyarakatan di Bali circa akhir
milenium pertama, belah-empat pembagian kerja sosial yang tak sepenuhnya
hierarkis (catur-warna) beradaptasi menjadi hierarki spasial dan sosial dengan
demarkasi ruang antar-keempatnya (catur asrama). Adaptasi ini menghasilkan
ketetapan daur reproduksi sosial dan sistem pendukungnya selama berabad-abad.
Maksimisasi Surplus
Di awal milenium ketiga ini, politik spasial
tak lagi mengikuti logika adaptasi untuk mempertahankan keajekan, tetapi
melayani maksimisasi produksi nilai dari seluruh pulau dan manusianya. Bali,
seperti pulau lain, diperlakukan sebagai medan perluasan ekonomik, minus ruang
sisa bagi daur-daur kemanusiaan dan alami yang tak bisa dibeli dengan kartu
kredit atau uang, seperti ketenteraman hidup manusia, atau penyelarasan ulang
air, tanah, udara, energi, dan ruang. Bali adalah sebuah barcode tanda harga. Di bawah agenda integrasi ruang-ekonomik Asia
Timur, setiap jengkal kepulauan Asia Tenggara kini tengah mengalami
revalorisasi ekonomik.
Sejak awal dekolonisasi, negeri-negeri bekas
jajahan Eropa dan AS mengalami eskalasi intervensi publik atas penggunaan ruang
dan waktu. Logikanya, semakin ketat kontrol politik atas sebuah wilayah hidup,
semakin terjamin keselamatan manusia dan keutuhan fungsi faal infrastruktur
alamnya. Kepercayaan bahwa teknik mampu menjawab masalah sosial-ekologis,
diwakili khususnya oleh teori ”Modernisasi Ekologis” dan variannya, seperti
”Pembangunan Berkelanjutan” dan yang tengah dijajakan di berbagai fora
internasional sekarang, ”Ekonomi Hijau”.
Pengetatan kendali institusional dan
penajaman peta pengetahuan atas petak-petak permukaan Bumi memungkinkan
maksimisasi potensi surplus di situ. Pengurus negara, penduduk, dan bentang
alam menjadi instrumen realisasi surplus.
Daur reproduksi bingkai ruang-waktu ini
menghibahkan hak prerogatif pemanfaatan ruang-waktu kepada cabang-cabang
produksi-konsumsi paling berpotensi. Keprihatinan atas land-grab dan water-grab sebetulnya mengecil-ngecilkan
cakupan dari apa yang dirampas dari monopoli ruang. Bingkai ruang kapitalistik
mencakup bukan hanya monopoli daratan, air, dan sekarang, atmosfer, melainkan
juga kuasa atas berbagai proses sosial dan ekologis dengan logika perubahan dan
reproduksinya.
Praktik dominan ini membungkam keragaman
sistem dan praktik bertutur yang berpusat pada reproduksi masyarakat manusia
dan daur-daur alami yang menopangnya. Dalam praktik, institusi-institusi publik
di berbagai cabang produksi nilai mendorong perancuan di antara logika
reproduksi rerantai sosial-ekologis dan logika akumulasi surplus rerantai
kapital. Pembangunan wilayah tak lagi mengacu pada syarat metabolisme sosial.
Sebuah perancuan topologis berskala Bumi.
Dua Cerita Ekonomi Hijau
Di akhir 1960-an kepulauan Indonesia menjadi
salah satu situs uji coba impian surplus karbohidrat lewat penggelontoran pupuk
dan racun kimia serta bibit rakitan pabrik. Belum genap satu generasi kemudian,
impian tersebut—lebih layak disebut mutasi hijau daripada revolusi hijau—telah
mengerut menjadi target swasembada beras yang hanya bertahan seumur jagung.
Meski rezim tani industrial gagal
menyempitkan jurang asupan nutrisi Utara-Selatan, sirkuit produksi konsumsi dan
perdagangannya terus meluas lewat promosi organisme dengan genetika rakitan,
korporatisasi tani-pangan yang melemahkan daya metabolisme sosial di negara
Selatan, serta ketentuan politik yang menggantungkan keamanan prosumsi pangan
pada rantai perdagangan. Percobaan perluasan kontrol atas ruang waktu
berikutnya—juga dengan sandi-warna hijau—lahir dari sikap oportunistik ekstrem
terhadap pendalaman krisis sosial-ekologis. Rontoknya daya regulasi termal dari
selubung atmosfer Bumi menjadi medan inovasi kapital keuangan lewat perdagangan
jatah emisi.
Rusaknya kesatuan-kesatuan sosial-ekologis
menyejarah karena moda prosumsi bahan dan energi yang brutal melahirkan
eksperimentasi pengembangan instrumen keuangan untuk bisnis
kompensasi-kerusakan-keragaman biologis. Dua protokol perlindungan alam PBB
yang vital, Konvensi Keragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim,
dalam dua dekade terakhir jadi subordinat agenda pelancaran aliran kapital
global. Krisis ekonomi di Eropa dan AS menguak cacat logika finansialisasi
kompensasi emisi dan kerusakan keragaman-biologis.
Mobilisasi global tanpa koreksi atas logika
akumulasi—seperti tujuan kemajuan kemanusiaan di pergantian milenium—takkan
menjawab krisis. Dua dekade setelah KTT Rio 1992, kegagalan internal rezim
akumulasi dan perumitan krisis memberi sinyal prospek kekacauan lebih parah
jika kapital industri dan keuangan terus mendikte para pengurus negara anggota
PBB untuk memperlakukan masyarakat manusia dan rumah Buminya sebagai sumber
surplus. Saatnya belajar bersama merebut syarat keselamatan manusia dan
keutuhan fungsi alam dengan mata hati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar