Kamis, 21 Juni 2012

Ekonomi Hijau dan Implikasinya bagi Indonesia


Ekonomi Hijau dan Implikasinya bagi Indonesia
Achmad Fauzi ; Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan;
Ketua Program Pascasarjana Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2012


PEKAN ini para pemimpin dunia berkum pul di Rio de Janeiro, Brasil, untuk merumuskan kembali komitmen pembangunan berkelanjutan yang sudah didengungkan sejak 20 tahun sebelumnya. Pertemuan Rio+20 mengusung tema `ekonomi hijau' sebagai sebuah paradigma pembangunan yang tidak hanya ramah terhadap lingkungan, tetapi juga inklusif secara sosial.

Ada alasan yang fundamental mengapa pertemuan KTT tersebut penting. Meski 40 tahun lalu terbit The Limit to Growth yang menekankan pentingnya batas kapasitas lingkungan dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan pertemuan Rio+20 tahun lalu melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dunia masih menghadapi dua tantangan besar. Yakni, bagaimana memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia yang jumlahnya miliaran, tetapi di sisi lain bagaimana pula menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan yang menopang kehidupan manusia di muka bumi itu sendiri.

Bumi terus mengalami tekanan yang berat sebagai dampak dari kegiatan ekonomi yang tidak memedulikan dampak yang ditimbulkan. Ekonomi keserakahan, selain menghasilkan krisis ekonomi dan finansial, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang cukup kompleks, antara lain perubahan iklim, degradasi lingkungan, pengurasan sumber daya alam, serta pencemaran air dan udara yang pada gilirannya juga menghasilkan proses pemiskinan terhadap masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam dan lingkungan.

Meski PDB dunia pada 2011 sudah mencapai US$77,2 triliun, 900 juta orang lebih masih hidup di bawah garis kemiskinan dan menurut Worldwatch Institute, itu telah menimbulkan `stres' pada ekosistem bu mi. Kondisi semacam itu menimbulkan apa yang diistilahkan David Orr sebagai `progress trap' atau jebakan kemajuan sehingga tujuan untuk menyejahterakan manusia kemudian harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan yang harus ditanggung rus ditanggung dari perubahan iklim, pencemaran, dan kerusakan lingkungan.

Jebakan kemajuan itu pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut. Beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan dilakukannya `degrowth' dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Dalam beberapa dekade belakang, persoalan ekonomi dan lingkungan seolah berjalan sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang perspektif lingkungan dianggap sebagai `pengerem' pembangunan ekonomi. Mindset `growth first, clean up later' merupakan mindset yang sering muncul pada perencanaan kebijakan pembangunan khususnya di daerah-daerah yang demi mengejar PAD, urusan `cuci piring' kerusakan terhadap bumi merupakan urusan belakangan.

Paradigma tersebut tentu harus kita ubah. Ekonomi dan lingkungan bukan dua hal yang diametrikal. Yang diperlukan untuk menjembatani keduanya ialah mencari `the right kind of growth'. Yakni, selain memenuhi pertumbuhan ekonomi, juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan per tumbuhan ekonomi baru dari sumber daya alam dan lingkungan tanpa harus merusaknya. Itulah esensi dari `ekonomi hijau' sebenarnya.

Perubahan paradigma berpikir itu juga penting karena selain krisis lingkungan yang dialami bumi, penggunaan kerangka ekonomi konven sional semata untuk mencapai kesejahteraan telah terbukti gagal menjawab beberapa krisis ekonomi dan finansial yang dialami umat manusia. Pembelajaran atas kegagalan itulah yang kini menimbulkan `pertobatan internasional' untuk melakukan U-turn terhadap prinsip pembangunan ekonomi mereka. Di kalangan para pelaku bisnis sekalipun, perubahan pandangan itu bahkan telah terjadi karena menyadari keberlangsungan usaha mereka juga akan bergantung pada kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

David Brower, pelaku bisnis terkemuka di Amerika, bahkan pernah mengatakan, “There is no business to be done on a dead planet.“ Belakangan, hasil survei Price Water Cooper pada 2008 juga menunjukkan permintaan terhadap green business akan meningkat sebesar 75% di tahun-tahun mendatang. Peningkatan ini juga diikuti respons pemerintah dan konsumen masing-masing sebesar 57% dan 52%.

Implikasi bagi Indonesia

KTT Rio+20 dan peran ekonomi hijau bagi Indonesia saat ini sungguh sangat strategis. Mengapa? Pembangunan dengan business as usual tanpa memperhatikan `ongkos' lingkungan yang harus dibayar terbukti cukup mahal. Studi Bank Dunia (Leitmann et al, 2009) memperkirakan ongkos lingkungan untuk Indonesia itu berkisar mulai US$0,5 miliar sampai US$7,7 miliar per tahun, berupa kerugiankerugian ekonomi seperti erosi lahan, polusi udara, pencemaran air, dan perubahan iklim. Ongkos tersebut belum termasuk biaya-biaya sosial akibat kerentanan masyarakat terhadap konfl ik yang cenderung meningkat belakangan ini.

Ekonomi hijau juga penting untuk mewujudkan kebijakan 7/26 (7% pertumbuhan ekonomi dan 26% pengurangan emisi gas rumah kaca). Kebijakan tersebut mengindikasikan pentingnya pertimbangan lingkungan. Pengurangan emisi 26% dalam konteks ekonomi hijau bukan dianggap sebagai hambatan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.

Namun sebaliknya, itu bisa menjadi kesempatan baru untuk menciptakan pertumbuhan baru, misalnya dari pengembangan energi terbarukan (ingat Shi Zhengron, orang terkaya di China yang saat ini hidup dari bisnis panel sel surya) dan pemanfaatan instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana di amanatkan dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Demikian juga aset keanekaragaman hayati yang sangat besar dan pemanfaatan jasa lingkungan bisa menjadi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi hijau baru bagi Indonesia.

Momentum pengembangan ekonomi hijau saat ini sebenarnya cukup mendukung karena selain ada pengarusutamaan ekonomi hijau di tingkat global, kesadaran akan lingkungan dan kerangka kebijakan nasional juga tersedia. Meski demikian, diperlukan ‘political will’ yang kuat dari pengambil kebijakan, dukungan dari pelaku usaha, masyarakat, dan tentu saja dukungan politik di parlemen agar ekonomi hijau tidak menjadi slogan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar