Rabu, 13 Juni 2012

Ekonomi yang Tumbuh Bersama Korupsi


Ekonomi yang Tumbuh Bersama Korupsi
Ahmad Khoirul Umam ; Dosen Universitas Paramadina, Jakarta;
Alumnus Flinders University of South Australia
SUMBER :  JAWA POS, 13 Juni 2012


FENOMENA korupsi di Indonesia saat ini mengundang pertanyaan unik. Mengapa di tengah korupsi yang menggurita dan mengancam masa depan bangsa sektor ekonomi negara justru tetap tumbuh dan berkembang? Ketika marak politisi lokal dan nasional menjadi pencuri uang negara, mengapa perkembangan demokrasi masih menunjukkan tanda-tanda positif?

Gejala ekonomi dan politik unik tersebut tak terjadi di negara-negara Afrika, sebagian Asia, serta Amerika Latin. Tradisi korup mereka berimplikasi langsung terhadap melemahnya pertumbuhan ekonomi dan lesunya gerakan demokratisasi.

Dua pertanyaan tersebut bisa diuraikan dengan beberapa varian pendekatan antikorupsi berikut ini.

Ketika korupsi dianggap sebagai epidemi, gerbong kelompok Weberian mengusung teori modernisasi yang menawarkan konsep rasionalisasi otoritas politik, penguatan prosedur hukum, dan birokratisasi. Tiga strategi itu dipercaya sangat ampuh untuk menyapu praktik-praktik korupsi yang bercorak patrimonial.

Korupsi sebagai Perekat

Tetapi, perspektif Weberian itu kemudian ditentang kelompok revisionis yang meyakini adanya kontribusi penting alias ''berkah'' dari praktik korupsi terhadap pembangunan politik dan ekonomi. Selama 1960-an hingga 1980-an, beberapa akademisi dan ekonom internasional memercayai bahwa praktik korupsi bisa menjadi ''pelumas'' yang melancarkan kerja mesin pembangunan.

Bahkan, pemikir sekaliber Robert K. Merton, yang masyhur dengan Teori Sosial dan Struktur Sosial-nya, secara eksplisit juga mengakui pentingnya manfaat korupsi untuk menjalankan sistem birokrasi serta politik di sejumlah negara, terlebih dalam sistem politik yang rapuh. Dalam ranah politik yang sarat friksi, konflik, dan faksionalisme, korupsi diyakini bisa menjadi ''perekat'' yang bisa memperkuat ikatan politik, mempertahankan stabilitas politik, serta meningkatkan loyalitas pendukung.

Cara pandang Merton tersebut juga didukung banyak ilmuwan politik. Dalam penelitian di Afrika oleh Leys, korupsi dianggap praktik alami yang dapat meningkatkan ikatan sosial-politik sebagai modal sosial (social capital) yang notabene sangat diperlukan banyak negara berkembang. ''The greater the corruption, the greater the harmony between corruptor and corruptee'' atau semakin besar tingkat praktik korupsi, semakin besar pula keselarasan antara koruptor dan pihak yang dikorupsi.

Samuel P. Huntington juga sempat mengakui adanya sisi positif korupsi. Bagi dia, korupsi dapat menjadi semacam bahan bakar yang mampu mengefektifkan kerja mesin birokrasi. Korupsi juga dinilai bisa memberikan manfaat secara khusus, langsung, serta konkret kepada kelompok-kelompok tertentu yang teralienasi, terdiskriminasi, serta termarginalkan dari arus utama masyarakat politik yang berkembang.

Huntington menggarisbawahi, praktik korupsi yang masih dalam kadar yang ''terukur'' akan mendukung proses modernisasi dan pembangunan ekonomi suatu negara. Namun, jika korupsi tak terbendung, itu berpotensi menenggelamkan capaian-capaian ekonomi dan politik yang telah mapan sebelumnya. Tentu agak rumit menangkap logika tersebut, mengingat tidak jelasnya parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kadar proporsionalitas tindakan korupsi.

Kondisi Indonesia

Yang terjadi di Indonesia saat ini, tampaknya, hampir serupa dengan dalil-dalil ilmiah yang diuraikan para ilmuwan sosial era pertengahan abad 20-an tersebut. Kendati korupsi telah mewabah di berbagai sektor kehidupan bernegara, ekonomi tetap tumbuh.

Tetapi, hal itu terjadi karena tradisi korup yang berjalan selama ini lebih didominasi dan dinikmati kelompok kelas menengah serta elite yang menggerakkan sektor ekonomi dan politik. Ketidakpastian hukum dalam dunia usaha telah membuka patronase dan ''perselingkuhan'' politisi, aparat, dan pebisnis dalam tradisi suap, lobi, serta negosiasi yang koruptif, sebagaimana yang telah banyak terkuak.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi nasional hanya dinikmati masyarakat ekonomi kelas menengah serta elite yang notabene jumlahnya terbatas, tanpa menyentuh nasib rakyat kecil di akar rumput (grassroots).

Angka pertumbuhan ekonomi menjadi timpang, njomplang, dan tidak relevan ketika dibanding realitas sosial. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak memberikan faedah serta kemaslahatan yang riil bagi wong cilik yang selama ini telanjur akrab dengan kemiskinan dan kesengsaraan hidup.

Jika mengikuti logika pasar, pertumbuhan ekonomi yang tidak menyentuh rakyat kecil tentu akan tetap diapresiasi. Ada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi di level menengah dan atas dipercaya akan mampu mendongkrak pertumbuhan di tingkat bawah.

Namun, yang terjadi di Indonesia tidak demikian. Garis kesenjangan itu tidak menemukan titik temu. Kesenjangan tetap berjalan secara linier, bahkan semakin lebar jurang pembeda antara si kaya dan si miskin.

Karena itu, cara pandang kaum revisionis tersebut menjadi layak digugat. Dalam konteks Indonesia, pemikiran tersebut cenderung tidak relevan. Sebab, pada dasarnya, korupsi lebih bersifat merusak ketimbang menguntungkan. Korupsi telah terbukti merampas hak-hak kesetaraan dan keadilan rakyat di hadapan lembaga-lembaga negara.

Secara politik, korupsi juga cenderung melahirkan demokrasi semu (pseudo-democracy), menghambat perkembangan partai-partai politik, serta melecehkan substansi demokrasi. Partisipasi politik publik melemah karena praktik transaksi korupsi hanya dapat dinikmati sekelompok elite oligarkis.

Kepentingan wong cilik (ordinary people) semakin tersingkir dari lingkaran kekuasaan dan perumus kebijakan. Efeknya, kepercayaan publik terkikis, apatis, serta melemahkan legitimasi pemerintah dan instrumen demokrasi seperti yang sudah banyak disuarakan para kritikus.

Dapat disimpulkan, reformasi politik yang terjadi di Indonesia saat ini sejatinya belum melahirkan konsolidasi demokrasi (democratic consolidation). Yang terjadi hanyalah konsolidasi oligarki (oligarchic consolidation). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar