Senin, 11 Juni 2012

Elizabeth II


Elizabeth II
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
SUMBER :  SINDO, 10 Juni 2012


Seingat saya, Ratu Elizabeth II dinobatkan waktu saya masih umur 8 tahun, masih imut banget dan tinggal di kota kecil (sekarang kota madya) Tegal, Jawa Tengah. Waktu itu belum ada TV.Jadi saya melihat foto-fotonya di koran. 

Ibu saya menjelaskan bahwa putri yang menunggang kuda itu adalah ratu Inggris yang baru dinobatkan setelah ayahandanya Raja George VI wafat. Siapa sangka, 20 tahun kemudian, sebagai dosen muda, saya belajar di Inggris. Tepatnya di Edinburgh, ibu kota Skotlandia yang indah, tetapi superdingin. Waktu itu Ratu Elizabeth II masih bertakhta, bahkan Pangeran Philip, suami ratu, adalah duke di Edinburgh. Ketika itu popularitas ratu Inggris masih sama dengan saat beliau dinobatkan.

Saya sering ngobrol dengan induk semang saya (ibu kos) Mrs Kinnel yang sudah setua Eyang Putri saya saat itu, tentang keluarga raja. Kalau zaman sekarang mirip dengan gosip infotainment, termasuk yang jelek-jeleknya, Mrs Kinnel tidak bisa membayangkan sebuah United Kingdom (Inggris) tanpa seorang raja atau ratu. Tapi yang paling mengagumkan adalah perayaan Diamond Jubilee tahun 2012 ini, yaitu upacara 60 tahun Ratu Elizabeth II bertakhta.

Luar biasa sekali. Ratusan ribu orang, tua muda, mengelu-elukan Ratu yang melintas dengan kereta berkuda. Semua melambai-lambaikan bendera Union Jack dan atau mengecat dirinya merah-putih-biru. Padahal sehari-hari mereka hanya mengusung warna merah (Manchester United) atau biru (Manchester City) atau putih (Fulham) saja. Prince Philip tidak bisa mendampingi karena tiba-tiba sakit. Paduan suara anak-anak melantunkan nyanyian-nyayian doa dengan suara mereka yang lembut dan jernih.

Padahal riwayat perjalanan hidup Elizabeth II jauh dari mulus. Sebagai ratu pertama selepas Perang Dunia II, Elizabeth harus mengalami negaranya terlibat perang-perang yang tiada henti di Irlandia Utara, Kepulauan Falkland, Irak, dan Afghanistan. Secara politis dia ditekan terus oleh kaum Republikan yang tidak menghendaki sistem monarki di Inggris. Di dunia ekonomi, Inggris ikut jatuh bangun bersama krisis-krisis moneter, poundsterling naik turun nilainya, dan negara-negara Uni Eropa mendesak Inggris supaya bergabung, yang tidak diikuti Inggris.

Bahkan artis-artis komedian pun mengejek Ratu dalam lawakan-lawakannya. Dan tentu saja keluarganya yang tidak henti dirundung kabar burung. Pada 1973, waktu saya kuliah di Inggris (karena nggak lulus tes TOEFL untuk ke Amerika), anak perempuan Elizabeth, Putri Anne, menikah dengan Kapten Mark Philips, tetapi mereka bercerai pada 1992 (setelah menikah 19 tahun) sehingga banyak yang menangis, tetapi lebih parah lagi ketika Lady Di bercerai dari Pangeran Charles pada tahun yang sama dan kemudian tewas dalam kecelakaan di Paris pada 1997.

Walaupun demikian, semua itu tidak mengurangi kecintaan rakyat Inggris terhadap ratunya. Tidak juga hujan, mendung, dan udara dingin yang menggigit sampai ke tulang. Ratu Elizabeth tetap berdiri tegak, tersenyum, melambaikan tangan kepada rakyatnya. Beliau masih cantik dan sehat pada usia 86 tahun, empat tahun lebih muda dari ibu saya yang juga masih sehat dan cantik. Luar biasa.

Fenomena Elizabeth II hanya dikalahkan oleh Ratu Victoria yang memerintah Kekaisaran Inggris selama 73 tahun, yaitu sejak beliau dinobatkan pada 1838 pada usia 19 tahun (seusia para kontestan Indonesian Idol zaman sekarang) sampai beliau wafat pada 1901 (pas tahun kelahiran Bung Karno) pada usia 81 tahun. Perbedaannya adalah Ratu Victoria hidup di zaman semua serba- konservatif, perubahan sangat lambat karena rakyat Inggris masih agraris, dan berbagai teknologi (mesin uap, listrik, dll) baru saja atau malah belum ditemukan.

Pantaslah kalau Ratu Victoria bisa bertahan sekian lama. Sementara itu Ratu Elizabeth hidup di abad XX dan XXI yang penuh temuan (dari kapal terbang sampai komputer dan Twitter). Era pertanian yang konservatif berganti dengan era industri yang serbainovatif dan cepat berubah, bahkan berganti lagi ke era informasi yang super-duper dinamis. Elizabeth tetap berdiri tegak, sementara raja-raja dan kepala-kepala negara yang lain satu per satu tumbang, tidak tahan diterpa arus zaman yang lebih dahsyat ketimbang arus tsunami (termasuk Bung Karno, Suharto, Husni Mubarak, Khadafi, dll).

Mengapa? Di sinilah letaknya kepiawaian seorang pemimpin. Ibaratnya pesilat atau pegulat, dia harus berstamina tinggi sehingga tidak mudah lelah dan bisa meladeni lawan selama apa pun. Lebih dari itu, Elizabeth II (semasa balita dipanggil Lilybeth) sadar bahwa yang harus dikawalnya adalah konstitusi. Para perdana menterinya boleh berpolitik, bersaing dengan negara lain, bahkan berperang, tetapi Ratu menjaga agar tidak ada yang keluar dari konstitusi (termasuk dalam mengumumkan perang).

Untuk itu dia betul-betul menjaga agar tradisi upacara-upacara kerajaan dijalankan sebagaimana diatur dalam peraturan kerajaan. Dia tidak gegabah mengurangi jumlah kuda penarik kereta, misalnya, apalagi mengganti kereta berkuda (orang Betawi bilang: delman) dengan limusin (Betawi: bajaj). Ujung-ujungnya, orang Inggris memang butuh kemapanan. Elton John, The Beatles, dan punk rock memang merupakan bagian dari jiwa urakan generasi muda di mana pun, tetapi sebagai bangsa Inggris, dari dalam kalbunya yang sudah turun-temurun sekian generasi, generasi muda itu kembali ke kemapanan Kerajaan Inggris.

Pernikahan Pangeran William dengan Catherine adalah salah satu harapan rakyat Inggris untuk kembalinya kejayaan Kerajaan Inggris.
Dari kisah tentang Ratu Elizabeth II di atas, saya berkesimpulan bahwa setiap manusia, kelompok, atau bangsa butuh penjuru atau pedoman yang tidak berubah-ubah untuk mendapatkan rasa kemapanan. Penjurunya orang Inggris adalah raja atau ratu. Wright or wrong my country! Titik.

Maka Inggris bisa bertahan di tengah-tengah perubahan. Begitu pula negara-negara Eropa lainnya. Ada beberapa raja yang masih bertahan seperti di Belanda, Belgia, dan Swedia, sedangkan sisanya sudah berbentuk republik, tetapi mereka bertahan pada adat-istiadat masing-masing (bahasa, musik, sampai politik). Ketika mereka bergabung pun hanya sebatas Uni Eropa. Sebaliknya orang Amerika memang terbiasa dengan demokrasi murni. Peraturan tentang SIM (surat izin mengemudi) pun berbeda-beda antarnegara bagian, tetapi bangsanya tetap kompak.

Namun jangan lupa, bangsa Amerika sudah merdeka selama 236 tahun (sejak 4 Juli 1776). Bahkan kalau dihitung sejak Christhoper Columbus menginjakkan kakinya di Benua Amerika (1492) sudah 520 tahun bangsa Amerika menjalani sejarahnya sebagai bangsa yang demokratis (sebagai antitesis dari sistem monarki absolut yang pada zaman itu dominan di Eropa). Bagaimana dengan Indonesia? Saya pribadi berpendapat bahwa orang Indonesia sebenarnya lebih mirip orang Eropa atau orang Jepang yang berpenjuru kepada raja atau pemimpin atau pada sistem budaya yang turun-temurun. Itulah sebabnya primordialisme masih kental.

Rakyat ikut pemimpin, sedangkan pemimpin bersemedi meminta berkah Nyai Roro Kidul atau sowan ke Kiai Langitan. Dengan begitulah orang Indonesia mendapatkan rasa kemapanannya. Tapi sejak reformasi kita tiba-tiba mau demokrasi ala Amerika atau berteokrasi ala Arab. Akibatnya amburadul, sampai sekarang, malah naluri hewaniah bermunculan sehingga terjadilah korupsi, tawuran, baku fitnah, dan sebagainya. Pokoknya hukum rimba.

Maka sekarang sudah saatnya kita stop reformasi dan menggantikannya dengan restorasi, yaitu penataan ulang, memperbaiki yang salah-salah, yang bocor-bocor, sehingga bangsa ini mendapatkan kembali rasa kemapanannya dan rasa kenyamanannya.

Untuk itu ada dua hal saja yang perlu kita lakukan: pilih pemimpin kita (sebaik mungkin, tetapi tidak mungkin betul-betul baik) dan sesudah itu kalau ada kekurangan pada pemimpin kita, kita bantu untuk menyempurnakannya, bukan cuma mengejeknya dan mau buru-buru ganti pemimpin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar