Sabtu, 02 Juni 2012

Enam Berebut Batavia Satu


Enam Berebut Batavia Satu
Budiyati Abiyoga ; Produser Film
SUMBER :  KORAN TEMPO, 2 Juni 2012


Pemilu kepala daerah DKI Jakarta, 11 Juli mendatang, membuka peluang pertama kalinya bagi dua pasangan calon independen, di samping empat calon yang diusung partai atau gabungan partai. Sebetulnya jumlah enam pasangan calon lumayan untuk alternatif bagi warga Jakarta menentukan pilihan. Tetapi, gara-gara berbagai masalah tidak kunjung terselesaikan setelah bertebaran janji-janji sebelum pilkada yang lalu, tampaknya kali ini banyak warga kehilangan kepercayaan pada siapa pun yang akan memimpin Ibu Kota.

Nomor urut pasangan calon mulai dari nomor 1 adalah Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Hendardji Soepandji-Riza Patria, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur Wahid-Didik Junaedi Rachbini, Faisal Batubara-Biem Triani Benyamin (independen), dan Alex Noerdin-Nono Sampono.

Mengikuti perkembangan perhatian publik melalui beberapa survei yang dilansir media massa, sampai saat ini incumbent Fauzi Bowo tetap menduduki angka pilihan tertinggi. Padahal, beberapa waktu yang lalu, ada kecenderungan untuk memilih calon independen daripada calon dari partai, di samping juga ada kecenderungan menurunnya kepercayaan publik pada partai penguasa yang justru mencalonkan Foke bersama sejumlah partai lain.

Tetapi, sekalipun pilkada sudah di depan mata, Foke sebaiknya tidak terlalu percaya diri, karena dukungan yang diperoleh bisa berangsur menurun dengan mulai dikenalnya para calon lainnya oleh warga Jakarta. Akhir-akhir ini, pada waktu Foke sibuk mengkampanyekan pencapaian kerjanya selama menjabat gubernur dan lanjutan program kalau terpilih lagi, para pesaingnya sibuk melakukan temu muka yang sifatnya personal penuh keakraban di kawasan-kawasan dengan konsentrasi penduduk tinggi, seperti di kompleks rumah susun, pusat belanja, bantaran kali, atau yang mempunyai ikatan sosial seperti dengan warga Betawi, pemuka agama, komunitas sosial. Para pesaing dengan mudah bisa mencari celah semrawutnya kondisi Jakarta saat ini dengan janji-janji perbaikan. Jadi, bisa saja menjelang hari H dukungan untuk incumbent anjlok tajam.

Para pesaing juga harus hati-hati dalam menebar janji. Penggunaan kata “baru“ atau “pembaruan“ sudah kurang menarik untuk tema kampanye atau promosi gagasan apa pun, karena kata itu terlalu sering dipakai. Namun kenyataannya kemudian jauh panggang dari api. Terlebih menghadapi permasalahan Ibu Kota yang sejak sebelum Foke memimpin pun sudah menunjukkan kecenderungan akan memburuk: banjir, kemacetan, polusi lingkungan (air, tanah, udara), keamanan, kesenjangan sosial, kesehatan, pengangguran terselubung. Masalah yang sudah menahun dihadapi warga tidak mungkin terhapus dari ingatan hanya dengan janji “pembaruan“ untuk dikerjakan selama satu periode kepemimpinan gubernur mendatang.

Upaya paling rasional yang perlu dilaksanakan para pesaing semestinya adalah menguasai sepenuhnya program-program yang sudah dilakukan gubernur terdahulu, mulai dari era Ali Sadikin dengan proyek Husni Thamrin-nya sampai terakhir ini era Foke yang sebagiannya melanjutkan rintisan Sutiyoso dengan program Transjakarta, jalan layang non-tol, mass rapid transit, serta kerja sama dengan pemerintah (pusat) dalam mengatasi banjir dengan membangun Kanal Banjir Timur dan Barat.

Para pesaing juga perlu mencermati integrasi program dengan kota-kota sekitarnya, terutama karena keterkaitan daerah aliran sungai, intensitas tinggi mobilisasi penduduk dan barang antarwilayah, serta keterbatasan ruang untuk pembuangan sampah padat. Di samping sejumlah undang-undang, antara lain tentang sumber daya air, penataan kota, persampahan, serta tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, juga telah ada peraturan presiden yang terkait dengan penataan Jakarta dan kawasan sekitar, yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Para pesaing perlu melanjutkan usaha Gubernur Foke dengan kejelasan review, koreksi penyesuaian dan perbaikan, untuk menampung perkembangan yang akan selalu berubah sangat cepat, yang harus mampu diproyeksikan oleh para ahli pendukungnya mulai saat ini untuk program 5 tahun ke depan. Berbicara pada publik tentang rencana yang langsung terkait dengan apaapa yang telah dan sedang dilakukan Foke akan memudahkan komunikasi publik karena, selama kepemimpinan Foke, publik sudah bersentuhan nyata dengan realisasi program-programnya, yang berhasil maupun yang belum atau yang dinilai gagal sekalipun.

Sangat penting memperjelas visi, gambaran Kota Jakarta bagaimana yang perlu diwujudkan pemerintah daerah bersama seluruh warga. Kehidupan kota dan desa bercampur di sini, sehingga sangat tepat istilah yang dulu dipopulerkan Bang Ali, Jakarta sebagai Kampung Besar (The Big Village). Budaya tradisional sampai post-mo bertemu di sini. Bagaimana supaya semua saling mengisi sehingga tidak berbenturan dalam perwujudan hubungan sosial, tata ruang, sarana dan prasarana?

Bagaimana pengaturan untuk supermarket, mart, mal, agar tidak mematikan pasar tradisional? Bagaimana aspek keadilan diterapkan melalui pengaturan terhadap bangunan-bangunan tinggi yang menyedot air tanah besar-besaran agar membagi suplai ke penduduk sekitar karena air pompanya menjadi kering? Bagaimana kejelasan kebijakan atas kawasan-kawasan slum yang padat penduduk dan rawan kebakaran, yang setiap dua-tiga bulan dilalap api sehingga mengundang rumor adanya kesengajaan dari pihak pemda untuk menggusur? Apakah untuk kawasan-kawasan itu akan dilakukan penataan kawasan tipikal proyek Husni Thamrin, atau memang akan dilakukan relokasi? Bagaimana mengakomodasi aspirasi seni-budaya agar tecermin nyata dalam alokasi APBN maupun sarana dan prasarana kota?

Janji bebas banjir dan macet juga harus didukung perencanaan cermat. Sekalipun waktu penyelesaian proyek-proyek era Foke bisa masuk dalam periode kepemimpinan siapa pun nanti, perlu diingat ada masa overlapping dengan program/proyek lanjutan maupun proyek-proyek lainnya yang perlu terintegrasi, agar tidak memunculkan kemacetan baru dan kawasan banjir baru.

Dari semua calon yang mungkin saja kita anggap kurang kredibel atau kurang kompeten (dari aspek kualifikasi pribadi atau partai atau simpatisan yang mengusung), semestinya ada satu pasangan yang bisa kita nilai paling lumayan. Kalau kita memilih golput, pasangan itu akan kehilangan andil suara kita, sehingga bisa jadi akan kalah oleh para pesaingnya. Jadi, mari ramai-ramai memilih untuk berebut Batavia 1...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar