Rabu, 13 Juni 2012

Eropa dan Perekonomian Kita

Eropa dan Perekonomian Kita
A Prasetyantoko ; Ketua LPPM, Unika Atma Jaya Jakarta
SUMBER :  SINDO, 12 Juni 2012


Perekonomian Eropa bukannya membaik, justru memburuk. Belum lagi usai perdebatan soal Yunani apakah akan keluar dari zona Eropa atau tidak, kini muncul kegaduhan baru di Spanyol.

Pemerintah terpaksa harus mengakuisisi Bankia, salah satu bank terbesar di Spanyol. Dengan begitu, beban pemerintah Spanyol semakin berat. Di satu sisi, beban fiskal bertambah sekitar 19 juta euro untuk menyuntik likuiditas pada Bankia. Di sisi lain, persepsi risiko meningkat, sehingga bunga obligasi pemerintah bertenor 10 tahun melejit mendekati angka 7%. Dan karena itu, tak ada pilihan lain bagi Spanyol untuk kembali meminta bantuan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Dana Moneter International (IMF).

Sementara itu, pada level zona Eropa, perdebatan tentang pendekatan penyelesaian krisis belum juga usai. Jerman sebagai perekonomian paling kuat di seluruh zona Eropa,hanya mau memberikan talangan dengan syarat ada pengetatan anggaran. Sedangkan penerbitan obligasi euro (eurobonds), hanya dimungkinkan bila ada integrasi fiskal yang lebih kuat. Itulah yang membuat partai politik Yunani cenderung menolak, karena berarti kedaulatan negara yang berutang menjadi berkurang.

Pendek kata, penyelesaian krisis Eropa masih jauh dari titik terang. Masih begitu banyak kemungkinan bisa terjadi. Di sisi lain, mengingat surutnya proyeksi pertumbuhan global, harga minyak di pasar dunia cenderung menurun. Lalu, bagaimana nasib perekonomian kita? Masihkah kita optimistis pada target pertumbuhan ekonomi 6,5%? Lalu,kebijakan apa yang perlu dilakukan?

Krisis Global

Terkait dengan perkembangan perekonomian Eropa, salah satu pertanyaan yang perlu dijawab, apakah krisis Eropa akan bertransformasi menjadi krisis global, atau hanya akan menjadi krisis kawasan. Nouriel Roubini pernah meramal, pasar global akan mengalami guncangan hebat pada 2013.Tentu ramalan ini mengambil asumsi, krisis Eropa tidak segera pulih, dan justru sebaliknya menyulut kekacauan pada level global.

Seberapa mungkin krisis Eropa berubah menjadi krisis global? Sejatinya, hal yang paling membahayakan adalah absennya konsensus politik di antara negaranegara Eropa. Zona Eropa sedang berada di persimpangan jalan cukup rumit. Penyelesaian krisis membutuhkan koordinasi dan integrasi yang semakin ketat pada sisi fiskal. Namun jika hal itu dilakukan, masingmasing negara tidak bebas menentukan arah kebijakan fiskal mereka.

Nah, di situlah letak perdebatannya. Satu kubu yang dipimpin Prancis tidak setuju dengan prinsip pengetatan anggaran dan penghematan yang berlebihan. Sementara kubu Jerman hanya mau menerima integrasi fiskal, hanya jika disiplin fiskal ditingkatkan. Menurut perkiraan JP Morgan Chase & Co, integrasi fiskal akan terjadi, namun membutuhkan waktu yang cukup lama. Padahal, korban krisis terus berjatuhan, sehingga membutuhkan tindakan cepat.

Di situlah dilemanya. Salah satu yang mendesak adalah bailout bagi Spanyol. Setelah menggelar telekonferensi selama 2,5 jam lebih, akhirnya 17 menteri keuangan setuju memberi talangan kepada Spanyol sebesar 100 miliar euro. Jika Spanyol sampai kolaps, dampak berantainya akan begitu panjang.Yunani adalah negara kecil, tetapi Spanyol sama sekali tidak bisa diabaikan.

Spanyol adalah perekonomian terbesar ke-4 di zona euro, atau terbesar ke-14 di dunia. Bisa dibayangkan bila Spanyol mengalami gagal bayar, pasar dunia akan bergolak. Spanyol mengalami tekanan dari dua sisi sekaligus.Tekanan pada fiskal pemerintah serta kesehatan sektor perbankan, yang ujungnya juga menyeret peran serta pemerintah dalam tindakan penyelamatan.

Kegalauan para investor menyusul gejolak di Eropa telah menyeret keresahan pada kawasan lain. Pemulihan perekonomian Inggris terganjal dengan gejolak Eropa. Begitu pula dengan prospek pemulihan Amerika Serikat (AS) yang masih terus memerlukan suntikan likuiditas dari Bank Sentral (The Fed).

Ancaman

Berlarut-larutnya gejolak di kawasan Eropa telah membawa dampak positif menurunnya harga minyak di pasar dunia.Memburuknya prospek pertumbuhan global, berarti turunnya permintaan minyak. Dan karena dalam pertemuan terakhir anggota OPEC sepakat menambah pasokan, harga cenderung turun.

Minggu lalu, minyak brent diperdagangkan turun menjadi USD99.47 per barel. Namun perlu juga disadari, harga minyak tidak pernah sepenuhnya terbentuk hanya dari mekanisme penawaran dan permintaan. Ada faktor sentimen yang sangat kuat, terutama terkait konflik-konflik politik di kawasan Timur Tengah yang masih sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu. Dengan begitu, harga minyak tak pernah bisa diprediksi dengan baik.

Sementara itu, kecenderungan umumnya terus naik dari waktu ke waktu. Jadi,berita buruk itu hanya bersifat semu. Perekonomian domestik yang masih terus bergulat dengan persoalan subsidi bahan bakar minyak (BBM), tak akan bisa melepaskan diri dari ketidakpastian harga minyak tersebut. Jika sewaktu- waktu harganya kembali melonjak, fiskal kita akan sangat tertekan, sehingga satusatunya cara untuk melepaskan diri dari ketidakpastian terhadap harga minyak adalah mengurangi penggunaan BBM.

Caranya meningkatkan kapasitas sumber daya energi non-BBM. Kebijakan itu harus dimulai dari sekarang. Penghematan hanya akan terkesan artifisial. Sementara itu, dampak jangka pendek yang sangat mungkin mendera perekonomian kita adalah larinya pemodal asing pasar keuangan kita. Mengingat investor asing masih dominan pada pasar modal kita (sekitar 60%) dan pasar obligasi (sekitar 35%), maka larinya modal asing akan mendera indeks harga saham gabungan serta suku bunga obligasi.

IHSG yang sempat bertengger pada level 4.100 kembali longsor ke level 3.600. Minggu lalu indeks ditutup pada level 3.825. Pada level menengah, ada dua gejala yang perlu diantisipasi. Pertama, ekspor yang melemah akibat dampak berantai yang diakibatkan oleh melemahnya ekspor China, India, dan Singapura yang merupakan tujuan utama ekspor Indonesia.

Kedua, menurunnya investasi asing langsung. Bagaimanapun, jika kondisi perekonomian global memburuk, pemodal asing akan menahan investasinya. Dan jika kondisi tersebut terjadi, target pertumbuhan sebesar 6,5% tidak bisa dipertahankan. Pertumbuhan diperkirakan akan menyusut menjadi sekitar 6,1–6,3%. Untuk itu, pemerintah harus bekerja keras untuk mengefektifkan pencairan anggaran pemerintah.

APBN berpotensi menjadi pengungkit perekonomian yang didominasi oleh permintaan domestik tersebut. Tanpa kerja keras, sangat mungkin perekonomian kita akan terperosok lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar