Selasa, 12 Juni 2012

Globalisasi dan Intervensi Kekuatan Militer di Kawasan

Globalisasi dan Intervensi
Kekuatan Militer di Kawasan
Connie Rahakundini B ; Staf Pengajar FISIP Universitas Indonesia,
Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Studies
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 11 Juni 2012

Globalisasi sesungguhnya tidak pernah dapat dipisahkan dari hubungan paralel antara perdagangan yang menyangkut sumber daya dengan kekuatan militer sebuah negara ataupun korporasi dagang (multinational corporations).

Globalisasi diawali pada abad perdagangan sekitar 1500-an yang ditandai dengan perjalanan laut Columbus pada 1492 untuk menemukan jalur perdagangan yang singkat dengan India. Upaya dalam membuka jalur-jalur perdagangan baru yang menghubungkan antara Dunia Lama dan Dunia Baru ini berlangsung sampai tahun 1800-an.

Spencer (1820-1903), dalam tulisan Ebenstein di Old and New Liberalism, malah mengategorikan negara di era awal globalisasi ini sebagai negara militer yang dicirikan dengan fakta penaklukan, di mana negara dan kekuatan perangnya merupakan pendorong utama yang membawa perubahan.

Fakta negara-negara di era awal globalisasi yang ditandai sebagai negara militer bercirikan penaklukan sesungguhnya tidaklah terlalu berubah di abad XXI ini. Pernyataan tegas Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk menggeser kembali konsentrasi AS ke kawasan perairan Samudra Pasifik dan Samudra India, di mana patut diingat - Indonesia tepat terbentang di antara keduanya - ditandai dengan kunjungan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta ke Vietnam, India, dan Singapura beberapa waktu lalu.

Ini dapat dipandang sebagai strategi AS untuk memperdalam cengkeraman penaklukan politik dengan menggunakan kekuatan militer, utamanya untuk menghadapi gelombang “Globalisasi Baru’’ yang terkonsentrasi di kawasan ini dan telah menjadikan China sebagai “the raising star” yang saat ini sedang bergeliat menunjukkan keeratannya kembali dengan Rusia.

Dengan semakin merapatnya negara-negara ASEAN dalam pilar politik dan keamanan ASEAN Community 2015, sebenarnya patut dipertanyakan mengapa AS memilih model pendekatan bilateralisme dalam aspek politik dan keamanan di kawasan ini dibandingkan pendekatan multilateralisme yang didorongnya di wilayah-wilayah lain?

Sesuai dengan teori “powerplay”, bilateralisme terkait erat dengan strategi negara kuat untuk mengendalikan negara-negara lebih kecil. Di lain sisi, multilateralisme dipandang sebagai metode paling efektif terkait erat dengan penggunaan kekuasaan saat negara-negara lebih kecil hendak mengendalikan negara lebih besar.

Otto von Bismarck percaya bahwa persekutuan yang paling berhasil adalah persekutuan di mana satu negara menjadi seekor kuda dan negara yang lain menjadi pengendaranya. Jadi, bukan dua atau lebih pengendara tanpa ada seekor kuda untuk dikendarai. Maka “persekutuan” menjadi sebuah instrumen kontrol bila kekuatan negara-negara yang dikendarainya beragam.

Pendekatan Panetta pada India, Vietnam dan Singapura menggambarkan strategi agar AS tetap aman mengendarai kuda kekuasaan yang beragam dan “gemuk” sumber daya di kawasan ini. Ini mendukung pernyataan Mearsheimer bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menjamin negara lain tidak akan menggunakan kekuatan militernya dalam bentuk apa pun untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya.

Implikasi

Kebijakan AS untuk mengedepankan pengerahan pasukan dengan rencana alokasi kekuatan militernya sebesar 60 persen pada 2020 patut dicermati akan membawa implikasi yang tidak kecil, karena minimum AS akan menggeser enam kapal induknya ke wilayah perairan kawasan ini.

Kapal induk harus dilihat dari isi dan besaran kekuatan personel, baik yang berada di dalam dan juga di atasnya, karena masing-masing kapal induk selalu harus didampingi armada kekuatan udara yang besar. Jika kita menghitung besaran kekuatan 60 persen personel militer AS yang akan digeser penuh ke kawasan ini di tahun 2020, maka sepanjang delapan tahun mendatang patut dicermati akan terjadi sejumlah pergeseran.

Pertama, pergeseran pangkalan militer sebanyak 3.600 dari 6.000 yang tersebar di dunia saat ini. Kedua, pergeseran 840.000 personel militer dari total personel 1,4 juta yang dimiliki AS hari ini. Ketiga, pergerakan sebanyak 1.095 tentara dari 1.825 tentara AS di Eropa dan NATO.

Keempat, perpindahan 68.809 prajurit dari 114.682 prajurit AS di Afrika. Kelima, pergerakan 2.564 personel dari 4.274 personel AS di Timur Tengah dan Asia. Kesemuanya ini untuk menambah kekuatan 89.846 personel militer AS yang hari ini sudah berada di Pasifik.

Konsentrasi AS untuk kembali ke kawasan ini selalu ditekankan pada apa yang disebut sebagai "political containment’” terhadap China, berkembangnya kekuatan militer China khususnya PLAN dan tuntutan akan “kebebasan navigasi” di Laut China Selatan, sehingga pergeseran kekuatan AS dilihat dari sisi barat Indonesia akan terjadi di Singapura dan Vietnam.

Namun, konsentrasi penggelaran militer AS yang sesungguhnya justru terjadi pada wilayah Indonesia bagian timur yang sudah “terkepung” oleh kekuatan pangkalan AS yang terkonsentrasi di Darwin, Filipina, dan Guam.

Pangkalan AS di Darwin sedemikian dekatnya dengan pulau-pulau terdepan kita di bagian timur Indonesia dan ZEE yang berbatasan langsung dengan Australia yang belum diratifikasi hingga saat ini. Begitu dekatnya, sehingga dapat dicapai dalam waktu delapan jam dengan perahu tanpa motor dari jajaran pulau-pulau kita yang kaya sumber daya energi seperti Selaru dan Masela di Maluku Tenggara Barat serta Maluku Barat Daya.

Di sanalah juga terletak Selat Wetar dan Leti yang sangat strategis di mana selat-selat ini kelak akan segera mengalahkan ke-“sexy”-an Selat Malaka. Oleh karena itu, terdapat kecenderungan masalah internal Indonesia di bagian timur seperti Papua dan Maluku akan semakin bergolak, dan akan terus didorong untuk diinternasionalisasikan seperti masalah Laut China Selatan.

Karenanya, Indonesia perlu memperhitungkan penempatan pangkalan tentara AS yang juga seharusnya mampu segera mengubah secara dramatis bagaimana sesungguhnya negara ini memandang ancaman, memprediksikannya dan bagaimana kemudian mempersiapkan kekuatan militer dengan kapabilitasnya dalam mengimbangi kekuatan-kekuatan militer dan sekutu bilateral AS yang sebenarnya secara tidak langsung telah ‘’mengepung’’ Indonesia.

Barangkali untuk itu kita patut berkaca kembali pada kepemimpinan Presiden Soekarno di era Perang Trikora saat menghadapi berbagai pemberontakan yang terjadi serta untuk mengembalikan Irian Jaya ke dalam wilayah Indonesia, anggaran pertahanan kita pernah mencapai 29 persen dari GDP.

Dampak yang dirasakan langsung dalam pembangunan kekuatan dan kapabilitas militer tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling advanced dalam kekuatan militer di kawasan, dan mendorong terciptanya hubungan Washington terhadap Jakarta yang penuh sikap hormat dan respect.

Ketika Indonesia larut dalam stigma yang dibawa oleh globalisasi dan bertekad membangun outward looking military sesuai agenda reformasi militer yang dicanangkan, berkeinginan untuk turut mencapai mimpi akan terwujudnya regional equilibrium bagi seluruh umat manusia, dengan sendirinya Indonesia harus memiliki kekuatan pertahanan laut dan udara yang terintegrasi dengan pertahanan darat dan sistem intelijen yang mumpuni.

Hal ini harus disertai dengan paradigma pembangunan kekuatan negara yang benar-benar mampu melindungi, mempertahankan dan menggunakan dengan tepat posisi ultra strategis Indonesia, dengan kesatuan pandangan berlandaskan strategi tangguh untuk tetap menegakkan kedaulatan, kehormatan dan kepentingan nasional negara ini untuk ratusan tahun mendatang.

Dengan demikian, Indonesia tetap akan tegak kokoh bersatu dalam tantangan dan apa pun bentuk globalisasi serta intervensi militer dan nirmiliter yang akan dihadapinya. Persis sebagaimana Thucydydes berkata: “The strong do what they have the power to do, and the weak accept what they have to accept.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar