Kamis, 21 Juni 2012

Hilangnya Jati Diri Bangsa


Hilangnya Jati Diri Bangsa
Nur Rokhim ;  Peneliti di Garawiksa Institut
Sumber :  SUARA KARYA, 20 Juni 2012


Maraknya kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia, akhir-akhir ini cukup meresahkan dan mengkhawatirkan banyak kalangan. Aksi-aksi kekerasan atas nama agama di sejumlah daerah tersebut, tak pelak, cukup mendapat perhatian dari dunia Internasional.

Baru-baru ini, dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, yang diikuti oleh 74 negara termasuk Indonesia, sebanyak 25 negara mencecar Indonesia dengan berbagai pertanyaan seputar permasalahan kebebasan beragama yang ada di Indonesia. Hal tersebut tentu merupakan tamparan keras bagi Pemerintah Indonesia. Esensi dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang diusung bangsa ini pun dipertanyakan. Sudah lunturkan kesaktian Pancasila menghadapi keanekaragaman di negeri ini?

Kekerasan yang kerap terjadi di Indonesia akhir-akhir ini jelas bertentangan dengan Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara yang dicetuskan oleh Ir Soekarno, 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Pancasila terdiri dua kata yang berasal dari bahasa Sanskerta, Panca dan Sila. 'Panca' berarti lima dan 'Sila' memiliki makna prinsip atau asas. Jadi, Pancasila secara keseluruhan dapat diartikan sebagai lima prinsip dasar hidup berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.

Kelima prinsip tersebut ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima sila tersebut masing-masing mengajarkan tentang pentingnya menghormati sebuah perbedaan dan keanekaragaman, demi persatuan dan bangsa Indonesia.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan untuk saling menghormati antar pemeluk agama dan memberikan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, mengajarkan untuk menumbuhkan sikap saling tenggang rasa dan mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia.

Sila ketiga, persatuan Indonesia, mengajarkan untuk mengesampingkan kepentingan kelompok, golongan, ras, suku, agama demi menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengajarkan untuk tidak memaksakan kehendak orang lain dan mengutamakan musyawarah demi kepentingan bersama.

Terakhir, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengajarkan untuk menghormati hak-hak orang lain dan mengembangkan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan bergotong-royong.

Seringnya terjadi kekerasan atas nama agama merupakan suatu pertanda bahwa jati diri bangsa yang termaktub dalam Pancasila kian terkikis. Pancasila yang dulu dicetuskan oleh Bung Karno demi menyatukan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bersatu kian diabaikan. Nilai-nilai luhur Pancasila sudah mulai ditinggalkan oleh bangsa Indonesia. Padahal, jelas bahwa Pancasila-lah yang dulu berhasil menyatukan seluruh komponen bangsa, baik suku, golongan, ras, dan agama menjadi sebuah bangsa yang bersatu dalam naungan NKRI.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu jua, kini hanya menjadi sebuah jargon yang terpampang manis di kaki Burung Garuda Pancasila. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semboyan tersebut seolah tak berpengaruh apa-apa. Banyaknya golongan yang memaksakan kehendak ataupun pendapatnya terhadap golongan lain menjadi bukti konkret yang tak terbantahkan. Dan, patut digarisbawahi, pemaksaan tersebut ujung-ujungnya akan berakhir pada kekerasan yang merugikan semua pihak.

Banyak faktor yang menyebabkan nilai-nilai adiluhung Pancasila sebagai jati diri bangsa mulai ditinggalkan.

Pertama, masih kurangnya pengajaran-pengajaran tentang nilai-nilai Pancasila di sekolah-sekolah. Apalagi, sejak dihapusnya mata pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) dan diubah menjadi PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) saja.

Kedua, semakin agresifnya kelompok-kelompok ideologi garis keras mempengaruhi pikiran-pikiran bangsa Indonesia, terutama para pemudanya. Masih segar dalam ingatan, tentang pemberitaan di media massa terkait maraknya pencucian otak yang dilakukan oleh kelompok NII yang menginginkan NKRI menjadi Negara Islam. Ketiga, masuknya kebudayaan asing yang jauh dari nilai-nilai Pancasila dengan cepat, akibat globalisasi. Anehnya, para pemuda sebagai generasi bangsa ini lebih tertarik kepada kebudayaan asing dari pada kebudayaannya sendiri.

Untuk mencegah terjadinya kembali kekerasan di Indonesia - apalagi yang berkedok atas nama agama - perlu adanya pengajaran kembali nilai-nilai luhur Pancasila kepada para pemuda, sebagai penerus bangsa. Ini penting agar nantinya para pemuda paham dan mengerti bahwa NKRI bukan hanya milik perorangan, atau satu golongan saja. NKRI terdiri dari berbagai macam suku bangsa, ras, budaya, golongan dan agama.

Seperti apa yang dikatakan Gus Dur, tanpa keanekaragaman, NKRI tidak mungkin ada. NKRI adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Pengajaran tentang nilai-nilai Pancasila harus dilaksanakan dengan segera. Jika tidak ingin negeri ini dicap sebagai negara yang tidak mempunyai rasa toleran yang tinggi. Terutama toleransi dalam hal agama. Padahal, negara ini mempunyai dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sangat menghargai adanya keanekaragaman dan perbedaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar