Hukuman
Denda Diat
M Amin Suma ; Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
SUMBER : SUARA
KARYA, 8 Juni 2012
Ketika penulis masih di pondok pesantren dulu, ada aturan tidak
tertulis berdasarkan kesepakatan bersama bahwa seorang santri hanya dibolehkan
keluar malam sampai pukul 21.00. Santri yang melanggar aturan itu akan dikenai
denda membayar secangkir beras. Hukuman itu ternyata cukup efektif tatkala
benar-benar dijalankan oleh petugas pondok.
Denda atau diat adalah hukuman berupa keharusan membayar uang
karena melanggar aturan, undang-undang, dan sebagainya. Dalam sejarahnya, denda
sejatinya tidak selalu berbentuk uang, tetapi bisa juga dalam bentuk barang
ekonomi.
Denda, sebagai salah satu bentuk hukuman, dipastikan telah lama
usianya. Ada beberapa hukuman denda yang dikenal di masyarakat luas. Sebutlah,
misalnya, di Pulau Jawa dikenal adanya denda kubra, yaitu hukuman denda adat
yang dijatuhkan kepada seluruh warga masyarakat apabila orang yang bersalah
karena membunuh tidak bisa ditangkap. Di Lombok, ada jenis denda paturunan,
yaitu hukuman denda dalam bentuk ganti rugi yang dibebankan ke desa apabila
seseorang yang dituduh mencuri, tidak tertangkap. Tentu masih banyak lagi
macam-macam denda lainnya.
Hukum pidana Islam mengenal hukuman denda yang disebut diat. Diat
(dalam tulisan Arab, diyat) adalah
denda dalam bentuk uang, hewan dan/atau barang yang harus dibayarkan oleh
seseorang yang melukai atau membunuh orang lain. Uang, hewan/barang diat dalam
konteks hukum pidana Islam (jiayah)
pada dasarnya dialokasikan untuk pihak korban dan/atau keluarganya.
Jenis mana pun yang dikenakan oleh hukuman denda/diat dengan
segala persamaan dan perbedaannya, ada hal substantif yang harus ditangkap,
yaitu tujuan dari hukuman denda itu sendiri. Tujuannya untuk memberikan efek
jera kepada pelaku pelanggaran yang dikenai hukuman denda. Hukuman denda ini,
terutama denda yang tergolong sangat mahal, tampaknya memang efektif.
Perhatikan beberapa contoh di sejumlah negara maju. Di Singapura,
misalnya, siapa saja yang tidak mengenakan seat belt saat menaiki apalagi
mengemudi mobil, akan dikenai denda sekian dolar Singapura. Di Hong Kong,
setiap pejalan kaki yang menerabas lampu merah akan di-cash sebesar 1.500 dolar
HK; dan akan dikenakan denda sebesar 5.000 - 6.000 dolar HK bagi siapa saja
yang kedapatan merokok di tempat-tempat yang sudah ada tanda larangan merokok.
Terutama di kendaraan atau angkutan umum.
Bentuk hukuman yang sama (denda) terhadap para pelanggar peraturan
perundang-undangan, sesungguhnya di Indonesia juga sudah ada dan dinyatakan
berlaku. Paling sedikit di daerah-daerah tertentu. Sebutlah terutama Provinsi
DKI Jakarta. Hukuman denda dalam bentuk membayar sejumlah uang tertentu kini
mulai merambah ke wilayah perhotelan, paling tidak di hotel-hotel tertentu.
Plaza Hotel di Yogyakarta, misalnya, merupakan salah satunya.
Begitu tamu hotel melakukan check-in,
yang memesan kamar no smoking area (kamar bebas rokok), yang bersangkutan
diharuskan menandatangani formulir khusus. Isinya, pernyataan bahwa yang
bersangkutan bersedia dikenai denda sebesar Rp 500.000 manakala merokok di
dalam kamarnya.
Denda itu tentu terbilang sangat besar untuk kesalahan seseorang
dengan hanya sebatang rokok yang bernilai Rp 1.000-Rp 2.000-an saja; tetapi,
terhitung jauh lebih kecil ketika dibandingkan dengan pelanggaran yang sama
(merokok di tempat terlarang) di beberapa atau sejumlah negara maju. Tapi, efek
jeranya, insya Allah, diharapkan memadai apabila itu dilaksanakan dengan
konsisten dan konsekuen oleh semua pihak dan diberlakukan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Amin,
semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar