Sabtu, 09 Juni 2012

Ikhtiar Solusi Korupsi Pajak


Ikhtiar Solusi Korupsi Pajak
Chandra Budi ; Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
SUMBER :  JAWA POS, 8 Juni 2012


BERITA tentang terkuaknya kasus korupsi silih berganti menghiasi pemberitaan. Bahkan, bagaikan sebuah sinetron, kasus korupsi akan terus bersambung. Setelah diributkan kasus korupsi wisma atlet, terakhir publik dikejutkan lagi oleh terkuaknya dugaan korupsi mantan pegawai Ditjen Pajak Dhana Widiyatmika. Kini media menyorot penangkapan KPK terhadap pegawai pajak yang bertugas di Sidoarjo karena diduga menerima suap. Lantas, siapa atau apa yang salah di negeri ini?

Ilmu psikologi mampu menjelaskan bahwa kejadian korupsi merupakan suatu keniscayaan. Secara teori disebutkan, dalam suatu komunitas atau kelompok individu, ada sebagian kecil individu yang memang memiliki kecenderungan untuk melakukan perbuatan tercela, korupsi. Demikian juga sebaliknya, ada sebagian kecil individu yang cenderung taat pada peraturan yang berlaku, memiliki integritas tinggi.

Nah, masalahnya, sebagian besar di antara suatu kelompok individu tersebut belum teguh pendirian. Mereka masih mudah dipengaruhi dan masuk ke dalam salah satu kelompok kecil itu. Ketika kelompok tersebut menjadi bagian dari kelompok tercela, sistem akan menjadi korup. Demikian juga sebaliknya, ketika kelompok itu menjadi bagian dari kelompok integritas tinggi, sistem akan menjadi baik.

Ketika kejadian korupsi tidak dapat dihindari, sistem pengawasan internal untuk mencegah terjadinya korupsi harus diperkuat. Berkaca dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum pegawainya, setiap institusi -yang oknum pegawainya terlibat- wajib meneliti ulang dan membenahi seluruh sistem pengawasan internalnya. Penyempurnaan sistem pengawasan internal harus dilakukan secara terus-menerus. Itu dimaksudkan agar kejadian yang sama tidak terulang. Langkah pertama untuk membenahi sistem pengawasan internal adalah memetakan titik-titik rawan, pintu korupsi mungkin terjadi.

Whistle-Blowing System

Kalau dicermati, hampir semua kasus korupsi yang pernah terjadi berkaitan dengan anggaran negara. Semua mengarah pada dua titik rawan: saat uang masuk ke kas negara (sektor penerimaan) dan saat uang keluar dari kas negara (sektor belanja).

Pada sektor penerimaan negara, ada dua institusi yang diberi tanggung jawab paling besar, yaitu Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Di sektor pengeluaran negara, kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab.

Menyadari hal tersebut, untuk memperkuat sistem pengawasan internalnya, Kementerian Keuangan, termasuk Direktorat Jenderal Pajak, telah menciptakan dan menerapkan sistem pencegahan serta pengawasan internal yang dinamakan Sistem Peniup Peluit (Whistle-Blowing System).

Setidaknya, ada dua alasan Direktorat Jenderal Pajak menilai sistem peniup peluit akan efektif mendeteksi dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan wewenang di lingkungannya. Pertama, rasio jumlah pegawai yang bertugas di unit kepatuhan internal dibanding seluruh pegawai masih rendah. Dengan jumlah unit vertikal yang banyak, memiliki 31 kantor wilayah dan lebih dari 300 kantor pelayanan pajak serta memiliki lebih dari 33.000 pegawai, sistem pengawasan internal yang hanya mengandalkan satu unit tertentu tidak akan efektif dan efisien.

Alasan kedua, adanya keinginan untuk mengajak seluruh pegawai berpartisipasi aktif memerangi segala bentuk penyalahgunaan wewenang, termasuk korupsi, dan menjadikannya musuh bersama (common enemy). Sangat dikhawatirkan, dalam satu organisasi, penyalahgunaan wewenang yang terjadi hanya menjadi tanggung jawab pribadi oknum pelakunya dan bukan tanggung jawab bersama. Yang lebih parah, ada pegawai yang mengetahui namun tidak mau melaporkannya. Karena itu, akan muncul budaya permisif, bukan korektif, dalam organisasi tersebut. Dengan kondisi seperti itu, diyakini penyalahgunaan wewenang akan tetap hidup dan terus tumbuh.

Titik Rawan

Direktorat Jenderal Pajak memiliki sedikitnya 12 proses bisnis utama yang hampir semua memiliki tingkat kerawanan penyalahgunaan wewenang yang relatif tinggi. Selama masih terjadi komunikasi antara pegawai dan wajib pajak, di situlah awal kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Sebagai contoh, proses bisnis pengawasan dan konsultasi di kantor pelayanan pajak memungkinkan pegawai pajak bertatap muka langsung dengan wajib pajak. Karena membicarakan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi, siapa yang dapat menjamin mereka tidak tergoda bersekongkol melakukan korupsi?

Pencegahan hanya efektif melalui pendeteksian sejak dini, bila pegawai lain yang mengetahui secara aktif melaporkan terjadinya indikasi mencurigakan tersebut. Sistem peniup peluit yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pajak mengatur kewajiban melaporkan segala bentuk penyalahgunaan wewenang yang didengar, diketahui, maupun dialami seluruh pegawai pajak atau masyarakat. Dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas pelapor, sistem itu diharapkan mampu menarik perhatian pegawai pajak atau masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif.

Di sisi lain, sistem tersebut juga mengatur mekanisme hukuman yang sangat berat bagi mereka yang terbukti menyalahgunakan wewenang. Sistem itu mengadopsi aturan pemeriksaan pajak terhadap mereka yang diduga melanggar. Hal tersebut akan membuat mereka menjadi miskin karena harus membayar sanksi perpajakan yang sangat besar, walaupun penghasilannya berasal dari hasil korupsi. Belum lagi hukuman disiplin pegawai maupun pidana yang siap menanti.

Patut disadari juga, sistem pengawasan internal yang paling canggih pun tidak akan mampu menghilangkan korupsi sama sekali. Sistem pengawasan internal hanya bertujuan untuk mengurangi kejadian korupsi seminimal mungkin. Namun, setidaknya, memperkuat sistem pengawasan internal merupakan solusi terhadap kasus korupsi pajak saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar