Sabtu, 16 Juni 2012

Independen, Bukan Genit atau Liar


Independen, Bukan Genit atau Liar
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Sumber :  SINDO, 16 Juni 2012
 

Pada awal April 2008, tak lama setelah saya bersumpah sebagai hakim konstitusi, para wartawan bertanya,“ Apakah Anda bisa menegakkan independensi sebagai hakim?”
Saya menjawab, ”Saya baru saja mengucapkan sumpah untuk melaksanakan UUD dan peraturan perundang- undangan, artinya saya harus menjadi hakim yang selalu ‘berusaha’ untuk jujur dan independen.” “Apakah Anda berani menjatuhkan vonis mengalahkan Presiden atau DPR dalam menangani perkara di MK,” tanya wartawan lagi. “Saya takkan takut atau rikuh kepada Presiden atau DPR, saya takkan bisa ditekan oleh partai politik; tetapi sekaligus saya tak bisa ditekan oleh LSM atau digiring oleh insinuasi opini publik dan pers. Saya akan tegakkan independensi lembaga peradilan,” jawab saya.

Jawaban itu saya berikan karena keyakinan bahwa independensi hakim adalah sangat prinsip di dalam negara hukum seperti Indonesia. Penegakan dan penjagaan independensi hakim ini sangat penting karena di mana pun di negara yang menganut supremasi hukum, ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan secara sungguh-sungguh, yaitu antara lain adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Dua prinsip negara hukum lainnya yang sangat umum dikenal adalah adanya jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dan adanya legalitas hukum dalam segala bentuknya. Dengan demikian tidak ada negara yang bisa disebut sebagai negara hukum jika di dalamnya tidak ada kemerdekaan atau kebebasan lembaga peradilan. Di dalam Pasal 24 ayat(1) UUD 1945 kemerdekaan lembaga peradilan tersebut justru ditekankan pada kemerdekaan “kekuasaan kehakiman”.

Dalam praktiknya kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka, dan tidak memihak itu terletak pada kebebasan dan independensi para hakim, sebab roh lembaga itu memang hanya bisa muncul pada atau dimunculkan oleh orang-orang yang menjadi hakim. Sudah pasti institusi penegak hukum yang lain seperti kepolisian, kejaksaan, dan advokat/ pengacara harus juga independen dan profesional.

Sejak menyatakan merdeka dan menetapkan konstitusi negara dan bangsa, kita sudah menyatakan dengan tegas, Indonesia adalah negara hukum. Hal itu terlihat dari ketentuan Pasal 24 dan Penjelasan UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tapi karena dalam praktiknya independensi para hakim selalu diganggu oleh politik dan sindikat perkara, maka pada awal Reformasi (1998) kita segera mereformasi kekuasaan kehakiman melalui perubahan UU No 14 Tahun 1970 dengan UU No 35 Tahun 1999.

Salah satu hal yang sangat penting dalam perubahan UU tersebut ialah ditariknya wewenang administratif dan finansial hakim dari pemerintah untuk selanjutnya diserahkan ke Mahkamah Agung dalam apa kita kenal sebagai “penyatuatapan” kekuasaan kehakiman.

Pada tingkat konstitusi, kita memasukkan prinsip negara hukum bukan lagi di dalam penjelasan, melainkan dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) UUD serta mengamendemen Pasal 24 UUD sehingga memuat penegasan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan, membentuk Mahkamah Konstitusi, dan membentuk Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Langkah-langkah reformasi dalam bidang peradilan, khususnya dalam bidang kekuasaan kehakiman, itu tidak lain dimaksudkan agar semua hakim bisa melaksanakan tugasnya secara independen dan tidak takut terhadap tekanan dari kekuasaan lain di luar dirinya. Secara umum memang dipahami bahwa semua hakim itu harus independen dan merdeka dari kekuasaan lembaga eksekutif yang biasanya punya energi kekuasaan yang sangat besar.

Tapi secara substansial sebenarnya kemerdekaan atau independensi yang dimaksud adalah kemerdekaan atau independen dari kekuatan apa pun di luar diri hakim, termasuk independen dari insinuasi opini pers atau tekanan LSM. Hakim yang independen adalah hakim yang berani mengadili dan memutus berdasar hukum dan keadilan.Hakim harus berani mengalahkan atau menyatakan pemerintah atau pejabatnya bersalah sekaligus harus berani menyatakan pemerintah atau pejabatnya benar secara hukum.

Bersamaan dengan itu, hakim juga harus berani tidak populer untuk melawan opini publik dan segala insinuasinya, termasuk harus tegak menghadapi tekanan LSM sekaliber apa pun. Hakim tidak boleh terjebak oleh insinuasi opini publik dan pers maupun tekanan dari LSM yang menggunakan kekuatan massa sekali pun. Kalau hakim hanya selalu terbawa opini publik dan pers serta ikut permainan LSM, maka independensi yang seperti itu adalah independensi yang genit, yang hanya ingin menyenangkan orang dan mencari nyaman serta citra untuk dirinya sendiri.

Hakim tidak dilarang membangun citra diri, tetapi citra yang dibangun haruslah citra bahwa dirinya memang layak menjadi hakim dan bukan citra genit yang hanya ingin menyenangkan orang agar dirinya aman dan mendapat pujian dari pers dan LSM. Selain tidak boleh menjadikan independensi sebagai kegenitan, semua hakim juga tidak boleh menjadikan independensi sebagai kebebasan yang liar.

Dalam banyak kasus, kebebasan yang diberikan kepada hakim belakangan ini ada yang digunakan sebagai kebebasan liar, yakni kebebasan untuk melakukan apa pun, termasuk kebasan berkolusi dan menjualbelikan perkara melalui penyuapan dan bentuk-bentuk korupsi lainnya. Independensi genit dan liar ini telah bisa menjadi bencana dahsyat bagi dunia hukum di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar