Sabtu, 16 Juni 2012

Indonesia, Negara Adikaya Korupsi


Indonesia, Negara Adikaya Korupsi
Mu’amar Wicaksono ; Alumnus Program Sarjana Fakultas Hukum,
Universitas Padjadjaran
Sumber :  SINAR HARAPAN, 16 Juni 2012
 

Terkuaknya kembali kasus korupsi yang diduga dilakukan Tommy Hendratno, seorang pegawai pajak di KPP Pratama Sidoarjo Selatan, semakin menambah panjang daftar hitam Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
 
Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Korupsi bagaikan penyakit menular yang sangat ganas, yang sudah menjalar dan menular ke mana-mana, tidak hanya pada lapisan eksekutif, tetapi juga pada lapisan legislatif dan yudikatif, tidak hanya terjadi pada lapisan atas, tetapi juga pada lapisan bawah.

Kita menyadari bahwa penyakit korupsi di negara ini sudah menancap jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir-hampir tidak diketahui lagi di mana ujung dan di mana pangkalnya, dan di mana harus dimulai pencegahan dan terapinya, dan di mana pula harus berakhir. Telah banyak upaya ataupun diskusi yang diwacanakan untuk memberantas korupsi di negara ini, tapi pada kenyataannya belum membuahkan hasil yang signifikan.
  
Kekuasaan dan Moralitas

Menutur Edward Gibbon (1737-1794), sejarawan Inggris dalam bukunya, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, terdapat dua hal utama yang menyebabkan kemerosotan Imperium Romawi. Pertama, korupsi dan kebiasaan hedonis. Kedua, eksklusivitas dan fanatisme Kristen.
 
Oleh sebab itu, perlu diingat bahwa meski Romawi bukan negara modern layaknya negeri ini, dalam menganalisis pola pikir berpolitik dan perilaku politikus dan pejabat, tentu tidak jauh beda dengan zaman sekarang di negeri ini.

Kekuasaan selalu berwajah dua: sekaligus memesona dan menakutkan. Dengan kekuasaan kita mendapatkan kedudukan yang terhormat, namun dengan kekuasaan pula kita dapat menjadi seorang penjahat paling kejam. Ada sebuah adagium yang perlu diingat, yaitu power tend to corrupt, di mana kekuasaan yang dimiliki akan mengakibatkan kesewenang-wenangan.
 
Terlebih apabila kekuasaan itu telah berlangsung lama dan sangat nyaman, sehingga telah mengaburkan mana yang benar dan yang salah demi melanggengkan kekuasaan, dan kekuasaan yang sangat besar tersebut sering ditandai dengan gaya hidup yang mewah untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang berkuasa.

Tanggung jawab moral merupakan suatu bagian hakiki dari setiap praktik kekuasaan ketika kebaikan dan kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya.
 
Tetapi, tampaknya keyakinan ini berubah menjadi semacam pesimisme ketika para pemegang kekuasaan mempraktikkan kekuasaan tanpa tanggung jawab, seperti ketidakpekaan pada kepentingan publik, pemerkayaan diri, atau upaya pelanggengan kekuasaan, dan semacamnya.
 
Dalam kondisi demikian, pandangan klasik bahwa konsumerisme telah mengambil alih wilayah kekuasaan dari moral dan mengaburkan kemampuan membedakan moralitas humanisme dan moralitas binatang yang mengutamakan kenikmatan dapat diterima. Akibatnya, para penguasa menghapus tanggung jawab moral dari kamus kekuasaan mereka dengan berpura-pura untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Korupsi merupakan penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral, baik itu moralitas objektif sekaligus subjektif. Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut.
 
Korupsi bisa diberantas jika secara objektif dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subjektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi nurani yang dimiliki setiap manusia).

Di satu sisi, penegakan moralitas objektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakan moralitas subjektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai makhluk yang berakal budi, dan penajaman hati nurani.

Penegakan Hukum Lemah

Lemahnya penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi salah satunya karena masih banyak penegak hukum yang mudah ditunggangi. Penegakan hukum terhadap perilaku koruptif di Indonesia belum mampu membasmi habis para koruptor yang menggerogoti harta negara.
 
Bahkan, beberapa kasus belakangan ada beberapa penegak hukum yang ikut terlibat. Suatu hal yang sangat ironis, apabila penegak hukum ikut melakukan tindakan tersebut, lantas siapa yang mesti kita percayai dan yang bertugas untuk memberantasnya.

Hal lain yang menarik ialah sering kita dengar pemberitaan di media massa bahwa para pencuri kelas teri dengan mudahnya tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Namun, bagaimana dengan para pencuri kelas kakap ini, yang jelas-jelas merugikan bangsa dan negara?
 
Salah satu kendala besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah terlalu banyak orang yang akan terancam pidana jika undang-undang pemberantasan korupsi dijalankan secara sungguh-sungguh dan akan terjadi tuding-menuding siapa yang menyidik siapa.

Alih-alih menjadi negara adidaya di dunia seperti halnya Amerika Serikat sebagai negara yang mempunyai kekuasaan di percaturan politik internasional, baik dalam memengaruhi peristiwa-peristiwa global maupun lebih jauh mengambil keputusan dalam proyek-proyek internasional. Indonesia mempunyai kemampuan dan kekuasaannya sendiri sebagai negara adikaya korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar