Informasi
Seputar Korupsi
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 08 Juni 2012
BEDAH
Editorial Media Indonesia awal minggu ini mengambil topik yang sudah berulang
kali kami sampaikan, yakni tentang kasus Bank Century. Sampai kapan topik ini,
dan topik-topik tentang korupsi lainnya, akan menjadi pilihan kami? Tidak mudah
dijawab; tergantung perkembangan setiap kasus.
Yang
perlu diamati, bagaimana tanggapan masyarakat penerima informasi, yang memiliki
konsep berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, dan pendidikan
mereka. Dalam masyarakat heterogen, penyerapan informasi tidak merata baik
jumlah maupun mutunya. Philip Kotler dalam Social
Marketing menyatakan masyarakat menafsirkan informasi sesuai dengan
nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut.
Ada
juga kelompok yang secara kronis tidak reseptif karena pengetahuan yang minim.
Dia baru reseptif jika informasi dianggap menyentuh kepentingannya. Dia menolak
apa yang tidak ingin dia ketahui. Sebaliknya, dia menyerap yang bisa memenuhi
kebutuhan pikiran dan perasaannya. Tidak mustahil yang diserap hanya yang
bersifat hiburan atau yang merangsang naluri rendah, sekalipun itu hanya bagian
kecil dari paket padat informasi dan edukasi. Dari fakta tersebut dapat diambil
kesimpulan tentang mengapa terjadi kelambanan reaksi dan aksi masyarakat
terhadap gejala korupsi.
Bahwa
media massa diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, umumnya kita sepakati. Dr
Soedjatmoko (alm), dalam keprihatinannya untuk masa depan, pernah menyatakan,
“Terkembangnya masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,
telah mengakibatkan perubahan-perubahan sosial demikian pesat dan mendalam
sehingga melampaui kemampuan kebanyakan lembaga, termasuk berbagai sistem
politik di dunia.“
Perilaku Keledai
Kita
cenderung menghindari sikap menghakimi bila menyangkut perilaku masyarakat. Di
abad ke-10 hingga ke-11, kalangan sufi di Timur Tengah yang mengadakan gerakan
mistik filosofis dan peduli terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat
memiliki kebiasaan membuat kisah-kisah kiasan untuk menyampaikan pesan moral
kepada mereka. Sebagian besar kisah kiasan itu menggunakan sosok binatang
sebagai tokoh utama. Misalnya untuk menggambarkan orang-orang baik, pekerja
keras, tetapi naif, mereka memakai keledai sebagai perumpamaan. Banyak kisah
tentang keledai yang beredar sejak zaman itu.
Berkaitan
dengan tanggapan masyarakat terhadap informasi tentang korupsi, ada kisah
tentang keledai yang rasanya sesuai untuk itu: ada keledai jatuh ke lubang yang
dalam. Tiap hari orang membuang `sampah' (informasi) ke dalam lubang itu,
tetapi sang keledai tidak juga terselamatkan. Baru setelah lubang itu penuh
sampah, keledai itu pun bisa mengentaskan diri. Pesan moralnya, jangan bosan
menyampaikan pesan agar masyarakat terbebas dari ketidaktahuan.
Kisah
lain berkisar tentang keledai yang mendekam di perpustakaan. Berhari-hari dia
tinggal di sana, dikelilingi timbunan buku. Setelah bosan, dia pun pergi tanpa
mendapat kesan apa pun. Bila dikaitkan dengan penyerapan informasi masa kini,
pesan moralnya: sering kali informasi tidak mencapai sasaran karena sasaran
tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber informasi di kelilingnya.
Disiplin Nasional
Merujuk
pada pendapat Soedjatmoko, apakah perubahan sosial yang pesat berkat banjir
informasi telah membuat lembaga-lembaga kita kewalahan menangani perubahan
dengan baik? Kenyataannya demikian. Berbagai pembelajaran dan pencerahan
tentang kemudaratan korupsi, misalnya, yang kami kemas dalam bentuk dialog,
debat, diskusi, interaksi dengan penonton maupun sekadar berita tampaknya tidak
efektif. Kenekatan para tokoh korup dan lembaga-lembaga yang mengusung mereka,
lebihlebih bila lembaga-lembaga itu memiliki kekuatan dan/ atau kekuasaan,
membuat kita percaya bahwa informasi tidak cukup ampuh untuk mengatasi keadaan.
Hukum pun terkesan terombang-ambing.
Bagaimana
pengaruhnya? Gemuruh informasi ditanggapi dengan sepi, sebab umumnya kita
terdiri dari masyarakat yang tinggal diam. Sebagian karena tidak mengerti, maka
tidak peduli. Mereka yang disebut terakhir itu terdiri dari kelas bawah yang
tidak reseptif terhadap informasi, yang jumlahnya mencapai sekitar 50% warga
kita. Dari sedikit yang mengerti dan peduli, ada kegalauan menghadapi
kesiasiaan. Termasuk di antaranya berbagai ormas yang mencakup LSM,
kelompok-kelompok rohaniwan, cendekiawan, dan yang terdidik pada umumnya.
Mereka itu termasuk sebagian dari 50% penduduk yang tergolong kelas
menengah/atas. Mereka di luar kelompok kelas menengah/atas yang memanfaatkan
keadaan dan memilih tinggal diam.
Kenyataan
tersebut tidak sesuai dengan asumsi bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik
menuju masyarakat yang peduli pada keadilan dan kesejahteraan bersama. Juwono
Sudarsono pernah mengatakan demokrasi bisa berjalan bila jumlah kelas menengah
sudah mencapai 30%. Sekarang jumlahnya tentu sudah melebihi. Akan tetapi tetap
saja demokrasi tertatih-tatih karena banyak yang memanfaatkannya untuk
kepentingan sendiri.
Cara
apa lagi yang bisa ditempuh untuk perbaikan keadaan? Selain informasi dalam
berbagai kemasan, termasuk dongeng kiasan, kita mungkin harus kembali kepada
jargon lama tentang disiplin nasional. Suasana sosial-politik dan budaya yang
baik akan menciptakan spirit kedisiplinan yang positif, asalkan
tujuan-tujuannya jelas. Tanpa itu, sulit bagi individu maupun kelompok untuk
membayangkan apa gunanya menjalankan disiplin nasional. Yang tidak kalah
penting ialah memilih para pemimpin yang seharusnya memberikan inspirasi dan
motivasi. Bukan malahan yang melepas tanggung jawab terhadap kerja dan tindakan
keliru oleh segenap individu dan kelompok yang mereka pimpin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar