Jumat, 01 Juni 2012

Inovasi dan Kuli Teknologi


Inovasi dan Kuli Teknologi
Rahardi Ramelan ; Pengamat Masalah Teknologi dan Masyarakat
SUMBER :  KOMPAS, 1 Juni 2012


Awal Mei 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengumumkan akan mendirikan inkubator teknologi di Cibinong Science Center. Berita ini di satu sisi menggembirakan, tetapi di sisi lain mengejutkan dan menyedihkan.

Berbagai jenis inkubator, baik inkubator teknologi maupun bisnis, sudah ada sejak 1990. Namun, sejauh ini tak ada kemajuan yang berarti. Langkah LIPI ini membangunkan kita dari mimpi yang menginginkan lahirnya industri dan bisnis dari hasil inovasi teknologi anak bangsa. Bukan hanya mobil buatan Indonesia, melainkan juga mobil nasional; mobil hasil pengembangan anak bangsa. Bukan hanya punya kapal yang dibuat di Indonesia atau dikerjakan tenaga kerja kita di Korea, melainkan juga kapal hasil desain dan produksi bangsa Indonesia.

Juga bukan hanya memproduksi telepon genggam atau televisi merek Samsung, Hitachi, atau Grundig, melainkan juga desain dan merek Indonesia. Demikian pula barang kebutuhan rumah tangga, seperti kulkas, kompor, panci, dan sendok-garpu.

Inkubator Teknologi

Saat ini inkubator bisnis dan teknologi di Indonesia tersebar hampir di seluruh Nusantara. Menurut catatan Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia (AIBI), saat ini kita memiliki sekitar 50 inkubator bisnis dan teknologi. Inkubator ini berada di perguruan tinggi negeri dan swasta, lembaga litbang pemerintah, BUMN, serta lembaga swadaya masyarakat. 

Keadaan inkubator sangat memprihatinkan. Berbagai kendala dihadapi oleh pengelola inkubator dan penghuni atau tenant. Proses inkubasi inovasi memiliki risiko tinggi, yang merupakan ciri khas inkubator. Oleh karena itu, diperlukan pendanaan berupa seed capital dari pemerintah.

Kita saksikan bagaimana China telah berkembang dengan teknologi dan bisnis baru, antara lain sebagai hasil dari program inkubator sejak 1988. Pada 2008, China memiliki lebih dari 500 inkubator dengan jumlah tenant lebih dari 40.000 perusahaan. Demikian upaya sungguh-sungguh dari pemerintah, seperti juga India dan Malaysia. Negara-negara tersebut berhasil melahirkan pengusaha dan perusahaan baru dalam bidang teknologi.

Walaupun sukses rasio dalam proses inkubasi sangat rendah, proses ini tetap harus dilaksanakan karena akan mengurangi kegagalan bisnis pada kemudian hari yang lebih mahal. Karena itu, pemerintah harus mengambil perannya sebagai risk taker.

Memasuki tahapan berikutnya, perusahaan pemula perlu pendanaan dengan tetap menghormati peran para inovator tersebut. Dalam hal demikian peran modal ventura sangat diperlukan. Sudah lama perusahaan modal ventura berada di Indonesia, tetapi tetap beroperasi mirip pemodal atau bank biasa. Inilah salah satu penghambat lahirnya perusahaan baru berbasis iptek.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009, pemerintah berambisi besar menciptakan wirausaha baru. Waktu itu Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menargetkan 6 juta wirausaha baru. Kementerian Perindustrian menargetkan 2 juta perusahaan baru berbasis teknologi. Kementerian Pemuda dan Olahraga menargetkan 2 juta wirausaha pemuda. Dalam kurun itu diharapkan didirikan 300 inkubator baru.

Sayangnya semua itu sekadar wacana atau mimpi. Tidak ada petinggi negara ini yang merasa bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Semua pejabat seolah-olah bertindak sebagai visioner, tidak ada yang menjadi operator atau pelaksana. Akibatnya, proses inovasi, inkubasi, serta lahirnya perusahaan baru berjalan sendiri dan sangat lambat.

Inovasi

Sejak 2008, Kementerian Riset dan Teknologi bersama dengan Business Innovation Center mengeluarkan daftar hasil inovasi dengan berbagai tingkat kesiapan dan kemungkinan menjadi bisnis. Daftar inovasi pada 2008 sebanyak 100 buah. Baik proposal maupun yang tersaring terus bertambah. Pada 2011, 103 inovasi tersaring dari 2.028 usulan. Namun, lagi-lagi implementasi hasil-hasil inovasi ini tersandung tidak adanya sistem pendanaan yang tepat. Tidak ada modal ventura yang berfungsi sesuai dengan namanya. Para inovator hanya berharap dari pemodal perorangan sebagai angle investor.

Kita memiliki Komite Inovasi Nasional yang hasilnya pun belum pernah disosialisasikan. Kenyataannya, inovasi teknologi mandek hanya menjadi laporan dan daftar. Awal 2010, Kemenkop dan UKM, Kementerian Pendidikan Nasional, serta Kementerian Riset dan Teknologi menandatangani kesepakatan bersama tentang Gerakan Nasional Pengembangan Inkubator Bisnis dan Teknologi. Kita tunggu saja siapa yang bertindak sebagai operator. Sayangnya, Kementerian BUMN—yang punya sumber dana melalui program corporate social responsibility serta program kemitraan dan bina lingkungannya—tidak diturutsertakan.

Dengan terabaikannya inovasi anak bangsa menjadi satu usaha yang inovatif oleh pemerintah dan orientasi sebagian besar pengusaha kita masih sebagai pemburu rente, kecenderungannya kita jadi pengimpor teknologi. Contohnya, ketika muncul pemikiran mobil nasional, pemerintah telah membela diri dengan mengatakan bahwa mobil yang sekarang beredar di pasar adalah buatan Indonesia.

Rupanya, sebagian pimpinan bangsa ini sudah puas jadi kuli teknologi ketimbang mengembangkan teknologi berbasis inovasi anak bangsa. Barang yang beredar di pasar dengan kandungan teknologi tinggi hampir semua merupakan barang impor. Kita hanya sebagai kuli teknologi, yang memberikan peluang bagi pekerja kita untuk meningkatkan keterampilan. Sayangnya (atau malah ironisnya), karena hasil inovasi teknologi tidak mendapat tempat yang layak di negara ini, banyak inovator kita berkiprah serta mendapatkan tempat dan diterima di negara lain. Sadarkah para pemimpin bangsa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar