Inovasi
Generasi Ke-4 (Kagetan)
Suhono Harso Supangkat ; Guru Besar ITB,
Ketua Lembaga
Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan ITB
SUMBER : KOMPAS, 6
Juni 2012
Beberapa bulan ini kita dikagetkan oleh
beberapa semangat ”Indonesia Bisa”. Setelah selesai SEA Games Palembang, muncul
mobil Esemka, lalu mobil listrik dan keinginan mencari solusi tentang persoalan
sinyal kereta api buatan Indonesia.
Sengaja saya pakai istilah ”Indonesia Bisa”
karena kata bisa menunjukkan sesuatu yang memang bisa membuat, meniru, dan
lainnya. Namun, lebih lanjut belum bisa dibuktikan apakah produk tersebut bisa
diproduksi massal, layak dipakai, bisa bersaing dengan produk yang ada, dan
bisa selamat jika dipakai. Itulah saya katakan juga sebagai inovasi kagetan
karena semangat mencari metode dan teknik baru sudah dimulai. Juga karena
proses kemunculannya yang tiba-tiba bagai petir menyambar di awan.
Inovasi
Inovasi pada hakikatnya adalah suatu cara
atau metode baru atau gabungan lama dan baru untuk menyelesaikan atau memberi
alternatif baru dalam pembangunan ekonomi atau dan sosial. Makna dari inovasi
adalah bagaimana mengelola sumber daya alam ataupun sumber daya manusia yang
ada menjadi lebih bermanfaat.
Pengelolaan sumber daya inilah sebetulnya modal
utama dari inovasi dan ini pulalah yang menjadi persaingan di antara negara di
dunia. Ada negara dengan sumber daya alam terbatas, tetapi bisa mengelola
sumber daya manusia dengan baik, seperti Jepang, Korea, dan beberapa negara
Eropa. Juga banyak negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi belum/tidak
bisa mengelolanya dengan baik sehingga sumber daya alamnya dijual begitu saja
ke luar negeri.
Dengan sumber daya yang terbatas dan
jumlah kebutuhan yang semakin tinggi, tak bisa dihindari adanya persaingan di
antara negara-negara dengan kemampuan sumber daya tinggi untuk merebut pasar di
negara dengan pasar yang potensial.
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar
kelima di dunia, dengan kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang masih
tinggi, tentu ingin mempercepat pertumbuhan ekonominya. Apakah bisa metode
kagetan, yang contohnya dalam tiga bulan bisa bikin mobil, bisa bersaing?
Bersaing dengan negara yang sudah maju, yang notabene punya peneliti puluhan
ribu orang dan sarana-prasarana cukup baik?
Momentum semangat ”Indonesia Bisa” dan
inovasi kagetan harus dikembangkan menjadi semangat yang lebih memungkinkan
sehingga produk-produk itu tidak layu sebelum berkembang. Tidak hanya bisa
membuat prototipe, tetapi juga bagaimana sampai produk itu mendekati
spesifikasi dan harga yang ada di pasaran.
Momentum Evaluasi Diri
Inovasi tidak hanya konsentrasi pada
pengembangan produk, tetapi juga pada cara memasarkan, cara keberpihakan
terhadap produk nasional. Mungkinkah setiap pembelian menggunakan uang negara
harus mencantumkan kandungan lokal secara lebih nyata?
Inovasi kagetan mungkin bisa dikaitkan dengan
revolusi inovasi, sebagai inovasi generasi ke-4. Inovasi generasi pertama
dimulai dengan invensi, penemuan riset dasar, dilanjutkan aplikasi, produksi,
dan komersialisasi. Inovasi generasi ke-2 adalah kebalikan, dimulai dari
kebutuhan pasar hingga penelitian dasar. Adapun inovasi generasi ke-3 antara
kebutuhan pasar dan penyediaan riset dasar saling berkomunikasi agar terjadi
rantai persediaan dan permintaan yang saling mengisi.
Inovasi mendekati paralel antara kebutuhan
pasar, rantai persediaan, produksi, dan penelitian adalah inovasi generasi
ke-4. Siapa yang punya inisiatif duluan: apakah menciptakan pasar, menerima
kebutuhan, ataukah kerja sama dengan industri lain jadi model pengembangan
inovasi.
Kembali ke kasus ”Indonesia Bisa”, seperti
mobil Esemka dan mobil listrik, walau kagetan, mungkin semangatnya sudah
mengikuti bagian dari perjalanan inovasi generasi ke-4. Namun, sudah siapkah
ekosistem di Indonesia untuk meneruskan semangat itu? Itulah pertanyaan kita
sehingga ada beberapa bagian masyarakat yang pesimistis dan menganggap ini
sebagai pencitraan belaka. Namun, sebagian masyarakat juga mendukung agar
semangat ini terus dikobarkan: agar ”bisa” terjadi.
Tentu momentum ini bisa dipakai juga sebagai
evaluasi nasional tentang kesiapan sarana dan prasarana dalam mengembangkan
inovasi di Indonesia. Pertanyaannya, cukupkah investasi pemerintah untuk
mendukung inovasi nasional? Saat ini anggaran riset pemerintah masih di bawah
0,3 persen dari PDB Indonesia. Sementara negara-negara maju menganggarkan riset
lebih dari 1 persen.
Pertanyaan lain, berapakah investasi
perusahaan nasional Indonesia, BUMN, ataupun perusahaan multinasional di
Indonesia? Berapa banyak yang lebih besar dari 1 persen dari pendapatan mereka.
Lalu, adakah sarana-prasarana yang mendukung
kemajuan inovasi di Indonesia? Cukupkah peneliti dan sarananya di Indonesia
untuk melakukan inovasi dengan daya saing tinggi? Dan, adakah regulasi kebijakan
yang mendukung inovasi di Indonesia? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar