Kamis, 28 Juni 2012

Ironi Kebijakan Gas


Ironi Kebijakan Gas
Tulus Abadi ; Anggota Pengurus Harian YLKI,
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ)
Sumber :  SINDO, 28 Juni 2012


Politik pengelolaan energi nasional hingga detik ini masih diliputi oleh beberapa ironi yang amat serius. Di satu sisi, pemerintah tampak kian megap-megap terserimpung anggaran untuk menggelontorkan subsidi bahan bakar minyak (BBM), akibat melambungnya konsumsi BBM bersubsidi.

Tetapi di sisi lain, pemerintah belum mampu menelurkan kebijakan radikal di bidang energi. Pemerintah masih bergeming dengan kebijakan konvensional, bahkan tradisional di bidang energi. Terbukti pemerintah hanya berani mengeluarkan sebuah Instruksi Presiden tentang Penghematan Pemakaian BBM, Listrik, dan Air di institusi-institusi pemerintah. Tentu, kebijakan hemat BBM adalah bagus; tapi tidak signifikan mengatasi persoalan. Itu pun jika kepatuhan institusi pemerintah cukup tinggi dengan beleid itu. Inpres serupa pernah dikeluarkan pada 2005, 2008 dan 2011, tetapi apa hasilnya?

Ironi yang paling ironis adalah ketika pemerintah belum menjadikan gas sebagai bahan bakar utama menggantikan BBM. Padahal, menurut banyak pakar, cadangan gas di perut bumi Indonesia cukup melimpah, bahkan cukup untuk 90 tahun ke depan. Bandingkan dengan cadangan terbukti (proven) minyak bumi yang hanya 3,9 miliar barel, yang hanya cukup untuk 11 tahun! Ada beberapa ironi kebijakan di bidang gas, antara lain: Pertama, pemerintah lebih mengutamakan pasokan gas untuk kepentingan ekspor, bukan untuk kepentingan dalam negeri. Contoh, semua armada taksi di Malaysia dan Singapura menggunakan bahan bakar gas (BBG), dan gasnya dari Indonesia.

Semua transportasi umum di Guangzhou, China, bahan bakarnya menggunakan BBG, dan lagi-lagi gas yang digunakan adakah gas dari Indonesia (Kontrak Tangguh I). Sementara semua kendaraan bermotor di seantero negeri menggunakan BBM, yang harganya disubsidi dan diimpor pula. Ironi berikutnya ketika pemerintah melalui PT Perusahaan Gas Negara (PGN), menjual dengan sangat mahal kepada konsumennya (sektor industri). Terhitung sejak 15 Mei 2012, PT PGN telah menaikkan harga gas untuk pelanggan industri di Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan dari USD6,9 menjadi USD10,2 per MMBTU.

Persentase kenaikan itu dinilai terlalu tinggi, dan wajar kalau sektor industri keberatan (menolak) dengan persentase kenaikan itu. Usut punya usut, mengapa persentase kenaikan yang dilakukan PT PGN terlalu tinggi karena dua hal, yaitu: Pertama, harga beli PT PGN dari produsen gas juga mengalami kenaikan dari sekitar USD2 menjadi USD5,5–5-6 per MMBTU. Namun, ternyata ada faktor makro (sistemik) yang menyerimpung tingginya harga gas yang dijual oleh PT PGN, yakni dipicu oleh peran ganda PT PGN itu sendiri. PT PGN di satu sisi sebagai transporter (pengangkut), tetapi di sisi lain juga sebagai trader (pedagang).

Peran ganda ini jelas membuat bisnis gas tidak efisien, dan menimbulkan ongkos kemahalan bagi konsumennya. Padahal, peran ganda yang semacam ini berlawanan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, yang menyebutkan bahwa badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus dilarang melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimiliki atau dikuasainya.

Lalu, dalam hal badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimilikinya, maka wajib membentuk badan usaha terpisah dan mempunyai izin usaha niaga gas bumi melalui pipa. Oleh karena itu, sebagai regulator, pemerintah mestinya segera mengakhiri berbagai ironi kebijakan di bidang gas, demi menekan tingginya pemakaian BBM bersubsidi, plus, menekan penghamburan anggaran APBN.

Terkait dengan kasus peran ganda PT PGN, seharusnya pemerintah bisa mengambil langkah mereposisi peran ganda dimaksud. PT PGN harus memilih salah satu peran, apakah sebagai transporter atau trader. Pemerintah, via Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini, tidak hanya cukup memberikan pernyataan bahwa perusahaan gas pelat merah (PT PGN) tidak boleh mengambil untung terlalu tinggi pada konsumennya. Namun, pemerintah harus mencari dan mengobati ”penyakit sistemik” yang menjadi penyebabnya.

Selanjutnya, secara lebih makro, pemerintah harus berani mengakhiri berbagai kontrak jangka panjang penjualan gas keluar negeri, dan mengalihkannya untuk kepentingan dalam negeri. Memang ini diperlukan nyali politik yang kuat, dan negosiator ulung untuk melakukan reviu kontrak dimaksud. Jika pasokan gas untuk dalam negeri melimpah, dengan sendirinya akan menekan harga jual gas untuk konsumen, baik konsumen industri maupun gas untuk konsumen rumah tangga (end user).

Yang paling urgen adalah bagaimana pemerintah mengutamakan pasokan gas (BBG) untuk sektor transportasi, khususnya transportasi umum.Terlalu tinggi dampak eksternalitasnya bagi pemerintah dan masyarakat secara umum, jika pemerintah terus berkutat dengan kebijakan BBM, dan membiarkan terjadinya berbagai ironi dalam kebijakan gas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar