Rabu, 20 Juni 2012

Isra Mi’raj dan Korupsi


Isra Mi’raj dan Korupsi
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber :  REPUBLIKA, 19 Juni 2012


Isra Mi’raj merupakan momentum strategis umat Islam untuk merefleksikan kembali sema ngat keberagamaannya. Umat Islam jangan lagi terjebak dalam ibadah ritual saja sehingga melalaikan ibadah sosial. Shalat lima waktu sebagai hasil Isra Mi’raj bukanlah perintah menjalankan shalat secara ritual, melainkan juga perintah menegakkan panji-panji agama dalam konteks sosial.

Allah mengecam mereka yang suka shalat tetapi mencegah lahirnya kebajikan untuk menyapa saudara yang miskin, yatim, dan terpinggirkan. Karena itu, tak salah kalau kemudian shalat menjadi tiang agama. Kalau tiangnya rapuh, peradaban yang terbangun, baik dalam individu maupun masyarakat, bisa mudah roboh.

Fakta paling jelas atas kerapuhan tiang beragama adalah maraknya praktik korupsi di negeri Indonesia. Bangsa ini dikenal sebagai bangsa religius. Sila pertama dalam Pancasila juga telah menegaskan identitas kita sebagai negara yang menjunjung tinggi religiositas.

Undang-undang Pendidikan Nasional juga menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang bertakwa, berkarakter, dan menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Tetapi, mengapa praktik korupsi justru dilakukan mereka yang berpendidikan tinggi? Realitas inilah yang menjadi tantangan umat beragama di Indonesia. Momentum Isra Mi’raj menjadi refleksi untuk menata kembali elan vital agama di tengah kecamuk korupsi yang terus menggurita ini.

Pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan tampaknya tidak membumi, masih sebatas wacana. Terbukti, berbagai kasus korupsi masih mendera bangsa ini. Aparat penegak hukum sen diri juga terkesan tidak mempunyai political will dalam menjaring para koruptor.

Para jaksa pun seperti “ustaz di kampung maling”. Seolah hilang satu tumbuh seribu. Itulah peribahasa yang tepat menggambarkan fenomena praktik korupsi yang telah menjamur di Indonesia. Kondisi ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada pemimpin pemerintahan yang tidak memberikan teladan dalam pemberantasan tindak korupsi. Rasanya malu kita menjadi warga negara Indonesia jika bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa religius (beragama) justru jadi ladang subur praktik-praktik korupsi, kolusi, dan kecurangan. Di manakah kredibilitas kita sebagai bangsa yang religius yang justru menoleransi praktik-praktik korupsi?

Jihad Melawan Korupsi

Momentum shalat perlu dijadikan sebagai refleksi “jihad melawan korupsi“. Ibadah shalat dapat dijadikan spirit jihad pemberantasan korupsi. Ibadah shalat melecutkan umat Islam membuka lembaran penegakan keadilan.

Perintah shalat adalah asas peradaban Nabi yang menegakkan keadilan sesuai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Spirit lahirnya keadilan berbasis ketuhanan dan kemanusiaan menjadi tonggak keteladanan yang harus diserap dalam kesadaran umat dan bangsa.

Shalat menghadirkan teologi amar ma'ruf nahi munkar yang amat efektif sebagai legitimasi jihad menegakkan keadilan. Perang suci melawan korupsi adalah satu-satunya perang paling legitimate untuk dikumandangkan umat dan bangsa ini, selain perang melawan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, seperti kemiskinan, kejahatan, ketidakadilan, kebodohan, dan perusakan lingkungan.

Abdul Munir Mulkan (2010) menyinyalir bahwa pemahaman keagamaan yang tumbuh di masyarakat kita akhirakhir ini cenderung bersifat matematis.
Praktik kesalehan bukan lagi dijadikan sebagai pengabdian yang tulus kepada Tuhan (ibtigha'a mardhat Allah).

Kini, kesalehan tidak ubahnya bagian dari perdagangan kapitalistis dengan cara berbuat sedikit dosa (modal), tetapi menghasilkan pahala (keuntungan) yang melimpah dengan bersedekah dan sejenisnya. Sedemikian kuatnya kecenderungan ini merasuk dalam perilaku masyarakat sehingga inti ajaran agama yang sesungguhnya pun nyaris tak bisa dikenali lagi.

Munir Mulkhan melanjutkan bahwa ibadah shalat inilah yang dicatat sebagai amalan preventif bagi umat Islam dari perbuatan keji dan munkar. Seyogianya manusia mendahulukan aspek horizontal (hablum minannas) lalu aspek vertikal (hablum minallah). Dalam fenomena keseharian, banyak dijumpai orang yang lebih menekankan Mi’raj (hubungan vertikal dengan Tuhan) dengan melakukan banyak ibadah sampai pada batas ekstrem, sementara tuntutan Isra (hubungan horizontal dengan sesama manusia) belum terpenuhi.

Akibatnya, kekerasan yang dilaku kan oknum pemeluk umat beragama ti dak jarang justru dijadikan pretensi sebagai sebuah kesalehan dan tingginya kualitas iman. Adapun keramahan dan ke-rahmah-an (kasih sayang) sesama makhluk tuhan, nyaris terabaikan. Agama pada prinsipnya menuntut keseimbangan antara kesalehan sosial dengan kesalehan individual guna merealisasikan sukses dunia dan akhirat.

Bahkan, hasil penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rakhmat (1991) menyimpulkan bahwa kesalehan sosial harus lebih diprioritaskan dengan beberapa alasan. Pertama, dalam Alquran dan sunah proporsi terbesar ditujukan pada urusan sosial. Kedua, dalam kenyataannya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan.

Ketiga, ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Dan keempat, bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

Saatnya semangat Isra Mi’raj menggelinding layaknya bola salju membawa energi maha dahsyat guna menyapu habis ketidakadilan, korupsi, kekerasan, kemusyrikan, otoritarian, kemunafikan sehingga bangsa Indonesia cepat bangkit menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar