Sabtu, 16 Juni 2012

Isra Mi’raj dan Transformasi Moral

Isra Mi’raj dan Transformasi Moral
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta
Sumber :  REPUBLIKA, 16 Juni 2012


Ada sejumlah pertanyaan menarik berkaitan dengan peristiwa besar Isra Mi' raj Rasulullah SAW.

Pertama, mengapa Allah SWT mengisra-mi'rajkan Nabi Muhammad SAW dengan transit di Masjidil Aqsha? Kedua, mengapa pula pensyariatan (penetapan kewajiban) shalat tidak hanya disampaikan melalui wahyu (Alquran), melainkan juga melalui mi'raj Rasulullah hingga Sidratil Muntaha?

Ketiga, apa dampak positif dari peristiwa isra' mi'raj beliau? Keempat, bagaimana shalat sebagai tiang agama dapat menjadi landasan transformasi moral sosial menuju masyarakat yang bermartabat dan berakhlak mulia?

Sebelum terjadi Isra Mi'raj (bulan Rajab tahun ke-10 kenabian), ada beberapa peristiwa penting dalam perjalanan dakwah Islam. Pada tahun ke-7 kenabian, paman Nabi, Hamzah, masuk Islam. Dan tahun ke-10, Umar Ibn al-Khaththab juga masuk Islam setelah saudara perempuannya, Fatimah al-Khaththab, dan suaminya, terlebih dahulu masuk Islam. Pada tahun yang sama (ke-10), paman beliau, Abu Thalib, dan tiga hari kemudian istri beliau, Khadijah, meninggal dunia sehingga tahun itu sering disebut sebagai tahun duka cita.

Secara psikologis, peristiwa Isra Mi'raj terjadi pada saat nabi sedang berduka, tetapi secara sosial-politik, kekuatan Islam semakin meningkat setelah kedua orang tersebut masuk Islam. Selain itu, eksistensi Islam juga sudah mendapat pengakuan dari Raja Najasyi, seorang raja Habsyah, setelah sekitar 82 orang hijrah ke sana.

Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW sejatinya merupakan peristiwa luar biasa yang memicu kontroversi, tidak hanya di kalangan kaum kafir Quraisy, tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri. Bagi kaum kafir Quraisy, peristiwa ini jelas dinilai tidak masuk akal. Muhammad dicap melakukan “kebohongan publik“, tidak waras, gila, dan mengidap berbagai penyakit jiwa. Bagi sebagian Muslim, muncul perbedaan pendapat: apakah Nabi Muhammad menjalani Isra dan Mi'raj dengan jasad dan rohnya sekaligus ataukah hanya rohnya saja?

Sakralitas Isra Mi'raj terletak pada proses penyucian diri Muhammad SAW sebelum menempuh perjalanan agung yang penuh dengan aneka kemukjizatan.
Perjalanan suci di malam hari (Isra) itu merupakan awal kemenangan dakwah Islam. Betapa tidak, ketika Nabi SAW diminta Abu Jahal dan kelompoknya untuk membuktikan kebenaran peristiwa Isra, yang hanya dijalaninya kurang dari semalam itu, beliau dapat menjawab semua pertanyaan dengan sangat memuaskan mulai dari apa dilihatnya selama perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis hingga profil Masjidil Aqsa. Itulah bukti kemukjizatan yang ditunjukkan oleh Allah melalui peristiwa bersejarah ini.

Kemahabesaran Allah

Isra Mi'raj bukan sekadar peristiwa penghiburan bagi Nabi SAW setelah berduka cita karena istri tercinta, Khadijah dan paman beliau, Abu Thalib, yang selalu membela perjuangan dakwahnya itu, wafat. Peristiwa ini sungguh sarat nilai dan pesan moral. Melalui Isra Mi'raj, Allah menghendaki umat Islam melihat, mencermati, dan memahami ayat-ayat Allah dan kebesaran-Nya.

Isra adalah perjalanan “malam hari“ yang berdimensi horizontal: lintas suku, bahasa, budaya, dan agama. Sedangkan Mi'raj adalah perjalanan vertikal dan spiritual menuju kedekatan hamba dengan Sang Khaliq.

Isra melambangkan pluralitas kemanusiaan dan sekaligus titik temu dan reunifikasi agama-agama para Nabi yang berbasis tauhid (Yahudi dan Nasrani). Sedangkan, Mi'raj melambangkan perjuangan hamba untuk memperoleh kesucian hati, kejernihan pikiran, ke cerdasan sosial, dan kematangan spiritual. Bagi umat Islam, khususnya sahabat, Isra Mi'raj merupakan ujian iman dan garis pemisah antara pengikut setia kebenaran Ilahi dan penolaknya.

Transformasi Moral

Satu-satunya ibadah dalam Islam yang prosesi pewajibannya dengan cara “mengundang langsung“ Nabi-Nya ke Sidratil Muntaha adalah shalat. Dari cara Allah mengundang Nabi SAW untuk mendekat dan berdialog langsung dengan-Nya, shalat merupakan ibadah mahdhah yang tujuan utamanya adalah pendekatan diri secara dialogis dengan Allah yang Mahabesar. Shalat melatih pelakunya agar selalu merasa kecil, rendah hati, dan tidak ada apa-apanya di hadapan Allah yang Maha Segala-galanya.

Shalat sebagai barometer seluruh amal ibadah Muslim. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Amal manusia yang pertama kali dinilai oleh Allah adalah shalatnya; jika shalatnya baik (sempurna) maka amal-amal yang lain juga akan baik, sebaliknya jika shalatnya rusak maka amal-amal yang lain juga rusak.“ (HR Thabrani). Shalat merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar meraih kemuliaan, kedamaian, dan kebahagiaan kerena dengan shalat, akal, hati, dan jiwa menyatu menghadap-Nya.

Shalat merupakan bukti kebergantungan hamba kepada Tuhannya. Dalam shalatlah seorang hamba menyampaikan harapan dan doanya kepada Allah. Jadi, shalat menjadi sarana memohon pertolongan hidup kepada Allah.

Umat Islam, tentu, perlu belajar shalat transformatif agar shalat kita menjadi lebih bermakna, tidak sekadar menggugurkan kewajiban. Artinya, jika ada orang yang mengaku sudah shalat tetapi masih hobi korupsi, terus-menerus berbohong, dan melakukan perilaku amoral lainnya, berarti shalatnya belum khusyuk, belum transformatif, baru sekadar shalat legal-formal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar