Minggu, 24 Juni 2012

Jakarta untuk Manusia


Jakarta untuk Manusia
Yonky Karman ;   Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Sumber :  KOMPAS, 23 Juni 2012


Alkisah, Ratu Negeri Syeba yang telah mendengar tentang kehebatan hikmat Raja Sulaiman ingin mengujinya langsung dengan berkunjung ke kerajaannya. Memang ternyata bagi Sulaiman tak ada pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Namun, yang lebih membuat ratu itu kagum adalah hikmat Sulaiman yang terlihat dalam cara kerja para pegawainya, baik di lingkungan istana maupun pelayanan publik.

Jika kita mengunjungi kota-kota dunia, tertib lalu lintasnya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Kota, apalagi ibu kota, menjadi miniatur negara hukum. Kita pun menghubungkan tertib berkota dengan hikmat kepemimpinan. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di Jakarta adalah miniatur Indonesia.

Berkota itu Berhukum

Berbeda dari karakter desa yang homogen, kota adalah tempat berbaur ragam kultur dan kepentingan. Kota bukan hanya sebuah wilayah administratif, melainkan juga hasil imajinasi multikultural. Berkota adalah meninggalkan karakter primordial dan hidup dalam komunitas multikultural.

Jika di desa berlaku musyawarah dan hukum adat, tata kota ditopang hukum positif yang tegak. Berkota adalah proses memperlihatkan wajah negara hukum. Tidak hanya ada institusi penegak hukum dan penegakan hukum, tetapi hukum juga dihormati dan tak mudah dilanggar. Suasana batin berkota seperti itu amat terasa di negara yang penegakan hukumnya konsisten. Tak cukup hukum yang maksudnya baik, tetapi juga kemampuan pemerintah menegakkan hukum dengan konsisten.

Jangan hanya membuat hukum, lalu pelanggarannya dianggap lumrah. Atau, ada satu dua kena sanksi karena pelanggaran. Negara hukum jauh dari itu. Hukum membatin dalam perasaan dan perilaku warga. Pisau moral warga terasah. Melanggar hukum adalah merugikan hak orang lain untuk memperoleh kenyamanan dan kebaikan karena hukum ditaati.

Jakarta belum memberi pendidikan politik berkota yang baik. Tak jelas dalam berhukum. Tak berdaya untuk bertindak tegas. Taat hukum adalah ungkapan menghormati hak sesama, menaati perintah Tuhan untuk mengasihi sesama dalam kerangka disiplin. Namun, kesemrawutan di Jakarta menjadi pemandangan sehari-hari yang menjengkelkan dan merugikan pengguna jalan yang taat aturan.

Jakarta belum membuat warga nyaman. Di jalan raya, seharusnya hukum jadi panglima, terlebih karena rawan kecelakaan. Namun, makin banyak pengemudi motor dan jalan dilalui dengan melawan arus. Pengemudi mobil mulai nekat meski baru untuk jarak pendek. Pertambahan jumlah kendaraan adalah sesuatu di luar jangkauan pemerintah, tetapi yang dalam jangkauan pun tak serius dikerjakan. Penyebab kemacetan sering sepele. Seenaknya menyeberang, parkir, atau menaikturunkan penumpang. Tokyo juga macet dan arus kendaraan lambat pada jam-jam tertentu. Namun, kemacetan Jakarta tak terprediksi, kendaraan bisa tak bergerak.

Kesemrawutan tata ruang kasatmata. Peruntukan lahan dilanggar. Berkurang dan rusaknya daerah serapan membuat banjir dengan leluasa merusak ekologi kota. Hak pejalan kaki diabaikan karena jalurnya dipakai untuk berjualan atau dilalui sepeda motor. Tempat usaha dibuka di mana saja, bahkan ketika perkembangan usaha itu menciptakan titik kemacetan baru. Semua itu dibiarkan.

Begitu banyak rambu lalu lintas setiap hari terang-terangan dilanggar. Mengapa rambu seperti itu tak diangkat saja? Tidakkah pemerintah sedang melecehkan hukum yang dibuatnya sendiri? Mengapa pembiaran seperti itu lazim terjadi? Karena kepala daerah tak rajin turun ke lapangan dan menjalankan fungsi kontrol. Karena praktik pungutan liar yang kemudian sebagian disetorkan kepada oknum.

Memberi layanan publik yang baik diterjemahkan dengan komputerisasi tanpa mengubah mentalitas birokrasi. Hingga kini, mengurus perpanjangan KTP yang seharusnya gratis saja masih dimintai sejumlah uang. Atau dengan bahasa yang lebih halus, ”seikhlasnya”. Atasan membiarkan praktik yang sudah lama itu sebab dianggap sudah jatah pegawai atau petugas rendahan agar korupsi lebih besar oleh atasan tak dipersoalkan bawahannya.

Tanpa Pesona Tua

Di usia ke-485, Jakarta sebuah kota tua tetapi tanpa pesona tua. Jika kita berada di kota-kota tua Eropa, terasalah betapa pemerintah di sana mampu memanjakan kekunoan sebagai jejak peradaban yang tak ternilai. Berjalan di atas jalan kecil berbatu warisan masa silam membuat pejalan kaki terhubung dengan masa lalu dan jadi bagian dari sejarah. Kekunoan dan kemodernan berdampingan dengan percaya diri, dengan pesona masing-masing. Kekunoan Jakarta tergilas pembangunan infrastruktur modern. 

Pembangunan kotanya tanpa konsep dan tak taat asas tata ruang. Tiada ruang cukup untuk warisan kultur dari masa lalu. Yang berkuasa kultur modern materialistis. Pembangunan kota yang sarat kapital. Karena itu, pembangunan manusia pun diukur dengan besaran alokasi dana, bukan dilihat dari warga yang kian berbudaya.

Meski uang penggerak utama dinamika Jakarta, restorasi film terbaik karya Ismail Marzuki dibiayai dua lembaga asing yang bermarkas di Singapura dan Amerika Serikat. Padahal, nama Bapak Perfilman Indonesia itu diabadikan sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang merupakan warisan dokumentasi pribadi sastrawan kita pun terancam tutup karena minim dukungan finansial pemerintah.

Wajah Jakarta paling banyak berubah di antara kota-kota besar Indonesia. Ia ingin menjadi kota segala-galanya. Pusat pemerintahan, perdagangan, keuangan, hiburan, pendidikan, dan pusat kebudayaan. Pesonanya menarik orang datang. Namun, Jakarta berkembang tanpa konsep yang jelas dan juga tercerabut dari akar sejarah. Wajahnya kotor karena sampah dan polusi. Ketimpangan sosial terlalu lebar. Amat minim ruang terbuka hijau.

Ini gambaran kota yang sakit dengan warganya yang mudah bertengkar untuk hal sepele, stres, dan bunuh diri. Semakin tinggi tingkat kriminalitas dan kejahatan narkoba. Premanisme, berlatar primordial ataupun tidak, berkembang dan dirangkul penegak hukum meski mengacaukan sistem hukum. Di Jakarta, intimidasi kelompok dan korps melenggang tak tersentuh hukum. Jakarta adalah kota untuk manusia, bukan manusia untuk kota. Pembalikan Jakarta menjadi kota yang sehat masih dimungkinkan di bawah kepemimpinan gubernur yang negarawan dan tak berorientasi kekuasaan. Sosok itu tidak bermain mata dengan politik primordialisme dan tak berutang politik pada kekuatan kapitalistis.

Pemilihan gubernur yang akan datang memang dilakukan secara demokratis. Gubernur terpilih pun akan melakukan loncatan klaim ontologis, merasa diri paling baik dan berkualitas. Namun, demokrasi mayoritas sejak awal tak pernah menjanjikan bahwa suara mayoritas berarti benar, baik, dan berkualitas (Erich Fromm, The Sane Society, 295). 

Suara mayoritas hanya alternatif suara minoritas. Mayoritas harus menentukan. Masih lebih baik bebas memilih meski salah pilih. Itulah realitas dan dilema demokrasi. Sudah banyak contoh pasangan kepala daerah hasil pilihan mayoritas yang kinerjanya kemudian mengecewakan. Dan, rakyatlah yang harus membayar mahal untuk lima tahun kepemimpinannya. Semoga rasionalitas pemilih di Jakarta mampu melihat dan menimbang kualitas calon untuk Jakarta yang lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar