Rabu, 06 Juni 2012

Jawapreneurship


Jawapreneurship
Adi Ekopriyono ; Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 6 Juni 2012


SIAPA bilang orang Jawa tidak punya jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship? Lihat semangat mbok-mbok bakul di pedesaan Jawa, tiap hari bangun pagi, memasak, kemudian menjajakan dagangannya di pasar. Lihat pula, pedagang sayur-sayuran, yang sejak pagi buta membeli sayur-mayur di pasar induk lalu menjual kembali di pasar-pasar yang lebih kecil di desa-desa.

Sejak dulu kewirausahaan berkembang pesat di berbagai wilayah Jawa. Se-but misalnya, masyarakat Laweyan Solo dan Pekalongan dengan bisnis batik, Kudus dengan bordir dan rokok keretek, Jepara dengan ukir-ukiran kayu dan tenun troso, serta Tegal dan Klaten dengan cor logam.

Tidak benar pandangan orang bahwa entrepreneurship adalah masalah kesukuan. Misalnya, anggapan orang Minang, Bugis, Sunda memiliki jiwa entrepreneurship lebih tinggi dari suku lain, atau etnis Tionghoa memiliki jiwa kewirausahaan lebih unggul. Itu hanya mitos, dan itu harus dikikis.

Entrepreneurship bukan soal kesukuan atau keturunan. Itu adalah semangat yang dapat dibangun melalui lingkungan kondusif atau pelatihan yang memadai. Mengapa orang Jawa sering dipersepsikan tidak memiliki jiwa kewirausahaan? Dalam perspektif teori habitus Pierre Bourdieu, persepsi itu muncul karena habitus dan ranah yang melingkupi masyarakat Jawa sering disalahtafsirkan sebagai faktor yang tidak mendukung berkembangnya jiwa wira-usaha.
Dominasi pengaruh keraton dengan kultur priayi, menyebabkan budaya yang berkembang di masyarakat Jawa sering diidentikkan dengan budaya priayi yang tidak mendukung kultur kewirausahaan. Pengaruh itu juga menyebabkan munculnya pandangan bahwa wirausaha adalah kelompok masyarakat kelas dua.

Dekonstruksi Makna

Selain itu, kaidah budaya Jawa, yang oleh Clifford Geertz disebut rukun dan hormat, sering dimanifestasikan sebagai ajaran yang mengeliminasi, atau bahkan bertentangan dengan semangat kewirausahaan. Nilai-nilai harmonisasi sering dianggap menghambat entrepreneurship. Seolah-olah kewirausahaan tidak cocok dengan kaidah-kaidah Jawa.

Salaf tafsir itu kemudian menyebabkan kebanyakan orang tua Jawa mendidik anak-anak mereka dalam nuansa deentrepreneurship. Sak madya, sak cukupe, narima ing pandum, alon-alon waton kelakon, ewuh pakewuh, mangan ora mangan asal kumpul, tuna sathak bathi sanak, dan masih banyak lagi sering dimaknai negatif. Itulah sebabnya untuk mengubah persepsi dan membangun jiwa kewirausahaan Jawa, habitus dan ranah itu harus diubah. Dalam konteks pemikiran Jacques Derrida, yang harus dilakukan adalah dekonstruksi. Makna ajaran tersebut harus didekonstruksi; menghapus makna lama, membangun makna baru.

Teks-teks Jawa itu perlu dikontekstualkan dengan perkembangan zaman mengingat teks itu bukan harga mati yang absolut. Sak madya, sak cukupe, dan narima ing pandum harus dimaknai sebagai ajaran yang mengingatkan bahwa manusia harus progresif tapi tak boleh rakus atau serakah, bukan sebagai ajakan malas berusaha. Alon-alon waton kelakon harus dipahami sebagai nilai-nilai ketekunan, akurasi, efektivitas, dan kewaspadaan dalam berusaha, bukan sebagai ajakan lamban dan mengabaikan kualitas pekerjaan.

Mangan ora mangan asal kumpul tidak berarti yang penting berkumpul meskipun tidak makan. Ungkapan itu harus diartikan sebagai ajakan berjuang keras dan cerdas agar dapat mencapai kemandirian finansial sehingga selalu bisa berkomunikasi (kumpul) dengan sanak saudara pada era digital sekarang ini.
Tuna sathak bathi sanak harus dimaknai sebagai nilai-nilai jejaring (networking), bahwa akses lebih penting daripada aset, bukan diartikan sebagai tidak masalah rugi harta atau uang dalam menjalin persahabatan atau bisnis. Jejaring itulah yang sangat penting dalam membangun jiwa kewirausahaan.

Mengubah persepsi dan pemahaman untuk membangun Jawapreneurship memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak dapat dilakukan. Perlu reformasi budaya yang didukung pecinta serta pemerhati budaya dan kearifan lokal Jawa serta pemerintah, sehingga budaya Jawa tidak mandek dan masyarakatnya hanya menjadi penonton. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar