Kamis, 14 Juni 2012

Kabinet Acakadut


Kabinet Acakadut
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Sumber :  KORAN TEMPO, 14 Juni 2012


Perdebatan panjang tentang konstitusionalitas jabatan wakil menteri pasca-perombakan kabinet 18 Oktober 2011 yang lalu akhirnya diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, mahkamah menilai bahwa jabatan wakil menteri dipandang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (6 Juni). Mahkamah berpandangan bahwa menghadirkan jabatan wakil menteri merupakan kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945).

Putusan ini hendaknya tidak dipandang sebagai kemenangan kelompok tertentu atau kekalahan bagi kelompok lain. Apalagi sampai pada personifikasi di antara pihak-pihak tertentu atas pengujian undang-undang ini. Karena, pada prinsipnya, esensi pengujian konstitusional dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang lebih besar ketimbang pemenuhan hasrat politik sesaat.

Kepastian Hukum

Pada satu sisi, putusan ini harus diapresiasi karena memberi jaminan konstitusional 
adanya wakil menteri. Tetapi, pada sisi yang lain, hal ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan hukum mahkamah dinyatakan bahwa penjelasan pasal 10 Undang-Undang Kementerian Negara tidak mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Penjelasan tersebut memuat batasan mengenai status wakil menteri sebagai pejabat karier dan bukan anggota kabinet.

Dari sisi formal, penjelasan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa penjelasan tidak boleh memuat rumusan yang berisi norma. Secara substansial, posisi wakil menteri setidaknya memiliki lima problem hukum, yaitu, pertama, posisinya secara struktural dan fungsional tidak jelas. Padahal dalam undang-undang ada norma yang mengatur soal susunan organisasi (struktur) kementerian negara.

Kedua, tidak ada norma yang mengatur dan mewajibkan Presiden membuat analisis beban kerja kementerian yang akan digunakan sebagai alasan untuk mengangkat wakil menteri. Akibatnya, tidak ada indikator yang riil untuk bisa digunakan sebagai basis argumentasi. Ini juga menyebabkan jumlah wakil menteri tidak bisa dibatasi secara pasti (fixed) sebagaimana halnya pembatasan terhadap jumlah kementerian yang diatur dalam undang-undang.

Ketiga, adanya politisasi atas perubahan aturan pelaksana setingkat peraturan presiden (perpres) yang dianggap masyarakat sebagai justifikasi wakil menteri tertentu. Keempat, proses seleksi wakil menteri yang tidak jelas. Dan kelima, ketidakjelasan masa jabatan seorang wakil menteri.

Problem hukum ini kemudian dipandang oleh mahkamah sebagai bentuk ketidakpastian hukum. Maka, diputuslah bahwa penjelasan pasal 10 tersebut bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945 Pasal 28D ayat 1). Menurut penulis, putusan mahkamah ini ternyata juga berimplikasi pada ketidakpastian hukum jabatan wakil menteri. Hilangnya acuan dalam penjelasan tersebut menambah ketidakjelasan posisi wakil menteri dalam kabinet.

Dengan kondisi yang demikian, Presiden justru berpeluang mengangkat wakil menteri atas kehendak politiknya semata, baik dari sisi jumlah maupun kapasitas dan kapabilitasnya. Secara sederhana, wakil menteri bisa diisi oleh siapa pun asalkan ditunjuk oleh Presiden. Maka, bisa dibayangkan, jika ini tidak dibatasi, struktur kabinet akan semakin “tambun” dan tak terkendali. Inflasi wakil menteri menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

Revisi Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu saja berimplikasi terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan, terutama yang terkait dengan jabatan wakil menteri. Dalam putusannya jelas hanya dimuat dua substansi, yaitu jabatan wakil menteri konstitusional dan penjelasan pasal 10 UU Kementerian Negara dianggap bertentangan dengan konstitusi. Presiden menafsirkan putusan ini dengan segala pertimbangan hukumnya akan terselesaikan dengan surat keputusan (SK) pengangkatan baru bagi wakil menteri. Namun, jika ditelisik secara lebih dalam, ternyata ini sama sekali tidak menyelesaikan problem legalitas atas jabatan wakil menteri.

Pertanyaan sederhananya adalah, apakah SK yang diterbitkan Presiden tersebut akan memberi kepastian hukum bagi problem legalitas yang tercantum dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi? Ternyata tidak sama sekali, karena problem yang sesungguhnya adalah terdapat kekosongan hukum (vacuum of law) di tingkat undang-undang yang menyebabkan ketidakpastian terhadap jabatan wakil menteri. Maka penyelesaiannya adalah dengan cara melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kementerian Negara, karena problemnya ada di tingkat undang-undang.

Kekosongan rumusan norma yang menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap kehadiran jabatan wakil menteri menjadi sebab utama problem legalitas yang dimaksudkan mahkamah dalam pertimbangannya. Mahkamah tentu saja tidak bisa memeriksa dan memutuskan sesuatu yang tidak ada rumusan normanya. Walaupun ketiadaan rumusan tersebut yang menyebabkan sesuatu hal itu dianggap bertentangan dengan konstitusi.

Maka, pilihan untuk menyelesaikan problem legalitas ini adalah dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kementerian Negara. SK sama sekali tidak menjadi “obat mujarab” yang bisa menjelaskan dan memberi kepastian hukum terhadap jabatan wakil menteri. Jika revisi undang-undang tidak dilakukan, pada titik inilah dimulainya era di mana pemerintah menyelenggarakan pemerintahan dengan desain yang “acakadut”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar