Minggu, 03 Juni 2012

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia   
SUMBER :  SINDO, 3 Juni 2012


Saya yakin setiap orang Indonesia, bahkan anak-anak, tahu bahwa judul tulisan di atas adalah sila kelima Pancasila. Versi pertama dari Pancasila diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 pada rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). 

Namun ketika saya di SMA, ada kawan sekelas saya (perempuan, nggak cantik, jadi saya nggak ingat namanya) yang bertanya kepada guru agama, “Di mana letak keadilan Bung Karno yang berpoligami? Mana mungkin dia bisa adil kepada istri-istrinya. Hanya Nabi saja yang bisa adil.” Kebetulan memang pada waktu itu sedang heboh berita tentang Bung Karno yang menikah lagi dengan Hartini, sementara beliau masih terikat perkawinan dengan Ibu Fatmawati.

Kalau waktu itu sudah ada infotainment, waduuh seru banget. Atas pertanyaan itu, guru agama kami mengutip sebuah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Allah tentang bagaimana caranya berlaku adil kepada istri-istrinya. Jawaban Allah adalah bahwa suami harus adil dalam pembagian waktu dan harta kepada istri-istrinya, kecuali dalam hal cinta. Karena cinta itu adalah perasaan yang tidak bisa diukur dan karena itu tidak bisa ditakar adil-tidaknya.

Saya tidak tahu seberapa sahih hadis itu. Seingat saya sejak SMA itu saya tidak pernah dengar hadis itu lagi. Siapa tahu guru agama saya itu salah, biarlah beliau yang bertanggung jawab di alam barzah sana. Akan tetapi terlepas dari sahih atau tidaknya hadis itu, ada satu kebenaran di dalamnya, yaitu bahwa keadilan adalah masalah perasaan. Bukan masalah hukum, undang-undang, pro yustisia atau demokrasi, politik, atau yang lainnya, apalagi masalah kekuasaan.

Pedagang kaki lima atau penghuni liar bantaran sungai yang digusur satpol PP jelas salah secara hukum karena melanggar perda dan sudah dikirimi pemberitahuan sampai tiga kali.Tapi mereka tetap melawan sampai titik darah penghabisan karena mereka merasa diperlakukan tidak adil. Sudah bertahun-tahun menghuni di situ, setiap bulan membayar iuran kepada petugas, bahkan ada yang sudah punya KTP, kok diusir juga?

Begitu pula para istri purnawirawan penghuni rumah dinas ABRI yang izinnya sudah kedaluwarsa, mereka dan keluarganya melawan bagaikan cicak melawan buaya ketika anggota-anggota POM (polisi militer) datang untuk menggusur mereka. Mereka merasa diperlakukan tidak adil karena suami-suami mereka sudah bertempur mati-matian untuk republik ini dan sudah memperoleh sederet tanda dan bintang jasa, bagaimana mungkin mereka dilempar ke jalan raya begitu saja oleh serdadu-serdadu yang baru lahir kemarin sore?

Kalau yang memang salah dikenai sanksi tidak mau terima karena perasaan tidak adil, apalagi yang benar. Indonesia menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Maka pemerintah membentuk Komnas HAM. Kebebasan beragama dan kebebasan untuk beribadah adalah salah satu hak asasi manusia. Tapi di Bekasi dan di Bogor, umat Kristen tidak boleh beribadah di properti yang secara sah merupakan milik sendiri.

IMB (izin mendirikan bangunan) sebuah gereja di Bogor yang sudah pernah diterbitkan Pemkot Bogor dicabut lagi oleh wali kota, padahal pengurus gereja itu sudah mengantongi keputusan MA (Mahkamah Agung) dan keputusan PK (peninjauan kembali) yang mengukuhkan kepemilikan yang sah dari pengurus atas properti gereja itu. Ketika umat mau beribadah di properti sendiri itu, massa menghadang dengan demo, umat diserang, malah sudah dua orang jadi korban penusukan di Bekasi.

Polisi hanya berusaha mengamankan saja, tetapi tetap tidak menimbulkan rasa aman. Ke mana saja Komnas HAM? Ke mana juga Komnas HAM ketika sebuah pergelaran wayang kulit di sebuah desa di Sukoharjo dibubarkan gerombolan putih-putih tahun lalu? Ke mana Komnas HAM ketika sebuah wihara yang sudah disiapkan untuk acara Waisak di Temanggung diacak-acak dan sebuah patung Buddha di Tanjung Balai dipaksa untuk dipindahkan oleh massa yang menamakan dirinya pembela Islam, sementara lebih banyak umat Islam yang tidak merasa dibela daripada yang dibela?

Ke mana Komnas HAM ketika umat Ahmadiyah dibantai di Cikeusik dan umat Syiah diusir dari desanya di Madura? Di sisi lain, kebalikan dari kasus penggusuran rumah liar atau PKL di atas, kasus-kasus yang sudah jelas-jelas melanggar hukum justru mendapat pembelaan mati-matian dari masyarakat dan media massa pembentuk opini publik. Misalnya kasus pencurian tiga biji cokelat oleh seorang nenek renta di Banyumas, yang diseret ke pengadilan, atau kasus remaja AA yang dituduh mencuri sendal di asrama Brimob di Makassar dan dijebloskan ke rumah tahanan polisi.

Mereka mendapat simpati dari publik, dukungan, bahkan dana, sebegitu rupa, sehingga hakim hanya memberi hukuman yang super-duper ringan atau membebaskannya. Rasa keadilan publik terusik dengan tindakan penegak hukum yang di- RASA-kan (bukan di-RASIO-kan) kurang adil. Kembali lagi, soal keadilan adalah soal perasaan, bukan soal pro yustisia, bukan persoalan sertifikat atau SK. Karena domainnya ada di wilayah emosi, maka rasio (akal sehat) tidak terlalu berpengaruh di sini. Akal sering kali dikendalikan oleh emosi ketika orang sedang dalam keadaan yang emosional.

Semua yang salah jadi benar, semua yang benar bisa jadi salah kalau orang sedang emosi. Celakanya, ada orang-orang yang bisa dan tega memanipulasi akal (dengan memberi info-info palsu, misalnya) untuk memancing emosi. Maka para politikus pun berdebat dengan argumentasi-argumentasi yang kedengarannya logis, tetapi justru memancing emosi, dan para politikus itu pun bedebat seru. Baik di dalam gedung DPR maupun di studio TV.

Publik pun terbawa debat-debat itu sehingga tidak jarang timbul konflik horizontal di lapangan. Semuanya mengatasnamakan rakyat, kebenaran, dan keadilan. Contohnya UU Antipornografi. Di Bali dan Sulawesi Utara, UU itu ditolak oleh pemda maupun masyarakat karena dirasa tidak adil untuk diri mereka. Padahal UU itu dibuat oleh DPR dan pemerintah pusat yang wilayah kewenangannya mencakup seluruh NKRI.

Hari Selasa tanggal 29 Mei 2012 yang lalu, di Universitas Pancasila diselenggarakan seminar tentang Pancasila. Pembicara utamanya (keynote speaker) adalah Taufik Kiemas. Sebelum beliau, Siswono Yudohusodo, memberikan sambutan selaku ketua Yayasan Universitas Pancasila. Hadir juga tokoh-tokoh senior seperti Harry Tjan Sillalahi, Utoyo Usman, Awaluddin Jamin, Djafar Assegaf, tokoh yang lebih muda seperti Ketua DPR Marzuki Alie, Jennie Rahman dan Pontjo Sutowo, serta tokoh yang lebih muda lagi seperti Yudi Latief dan tentu saja para dosen dan mahasiswa.

Konon akan hadir juga Jusuf Kalla, DjokoWidodo, Mahfud MD,dll. Acaranya sesudah makan siang, tetapi saya sudah pulang, sehingga tidak menyaksikannya. Walaupun begitu, sesi-sesi yang saya ikuti di pagi hari sungguh memberi semangat. Diskusi hangat, tetapi penuh canda. Hangatnya mendekati panas seperti diskusi Indonesian Lawyers Club tetapi tanpa marah-marah. Semangatnya mengembalikan Pancasila karena hanya Pancasila yang bisa menjamin persatuan dan kesatuan. Hanya Pancasila yang bisa jadi jembatan pemersatu antaragama, antarkepercayaan, antarkelompok, antaretnik, dan antar-ras serta antarberbagai kepentingan lain.
Boleh jadi Bung Karno kurang adil (baca: kurang Pancasilais) buat istri-istrinya, tetapi beliaulah yang memerintahkan dibangunnya masjid termegah se-Asia, Masjid Istiqlal, yang persis sebelah-menyebelah dengan Gereja Katedral (dua tempat ibadah itu pernah jadi ikon kartu pos bergambar Jakarta), oleh seorang arsitek beragama Kristen, beretnik Batak, bernama F Silaban, yang menurut pengakuannya sendiri (kebetulan saya kenal karena beliau teman ngobrol ayah saya setiap akhir pekan di Bogor) punya kakek yang masih kanibal.
Boleh jadi Pak Harto KKN sehingga harus lengser, tetapi di Taman Mini Indonesia Indah, Ibu Tin Suharto menempatkan rumah-rumah ibadah masjid, gereja, wihara, dan pura berjejeran yang sampai sekarang tidak ada masalah. Hidup Pancasila!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar