Rabu, 13 Juni 2012

Keberlanjutan di Tengah Berubahnya Mood


PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN :
Keberlanjutan di Tengah Berubahnya Mood
Laporan Diskusi Panel Terbatas KOMPAS
SUMBER :  KOMPAS, 12 Juni 2012


Warga dunia memiliki utopia: hidup di sebuah planet yang mampu mendukung kehidupan yang serba berkecukupan sandang, pangan, serta membahagiakan. Sebuah dunia yang tak disesaki oleh bencana, sekaligus bisa menghasilkan kekayaan materi bagi warga bumi. Untuk mencapainya, berbagai konferensi untuk berbagai segi kehidupan digelar, mulai dari konferensi perubahan iklim, pertemuan untuk berbagai konvensi terkait lingkungan, hingga ke Konferensi Bumi, seperti yang bakal digelar di Rio de Janeiro, Brasil.

Selama lebih dari setengah abad, dunia bergerak di bawah komando pembangunan ekonomi yang menyakralkan kata ”pertumbuhan”. Ekonomi pasar dianut. Persoalan keuangan diatur dan dijadikan komoditas sekaligus. Aspek ekonomi menjadi hal yang mendominasi dan menyetir berbagai komunikasi global.

Sepekan lagi, Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB di Rio de Janeiro atau Rio+20 akan berlangsung. Dunia telah mengalami banyak perubahan sejak berakhirnya Perang Dingin. Setelah Perang Dingin, perang telah beralih ke perang melawan teroris. Paman Sam memegang kendali komando utama bagi urusan perang ini.

Di berbagai meja perundingan global, dunia tetap terbagi menjadi dua blok. Blok negara-negara maju atau negara kaya atau negara industri di utara dan negara-negara berkembang sampai miskin di selatan.

Berbagai perundingan dalam konferensi internasional diwarnai gradasi kepentingan yang berporos pada dua blok tersebut. Sementara secara global, tak bisa dimungkiri, Amerika Serikat merupakan tulang punggung.

Semangat dunia untuk menuju ke dunia yang berkelanjutan sebenarnyalah masih ada. Persoalannya, mood atau kondisi gairah sekarang sudah amat berubah jika dibandingkan dengan sebelum terjadi pengeboman gedung World Trade Center, New York. Amerika Serikat lebih tertarik pada apa yang dia sebut sebagai perang melawan teroris. Gairah menurun. Mood anjlok.

Gangguan berikutnya adalah krisis ekonomi yang berkesinambungan menyerang negara-negara anggota Uni Eropa. Uni Eropa goyah. Sulit mengharapkan negara-negara maju di Eropa akan memberi perhatian pada persoalan lingkungan.

Ketika lingkungan tak menjadi prioritas lagi, bukan hanya Rio+20 yang terancam gagal. Akhir tahun ini, di Doha, Qatar, akan dilangsungkan Konferensi Perubahan Iklim PBB bertepatan dengan selesainya tahap pertama Protokol Kyoto. Pertanyaan besar adalah akankah muncul rezim pengganti Protokol Kyoto sebagai komitmen baru untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Jika Doha gagal, Rio+20 akan ”berlubang” dalam aspek lingkungannya.

Bergantung Dalam Negeri

Ketika dunia menunggu kepemimpinan Amerika Serikat sebagai negara yang selama ini diposisikan sebagai ”pemimpin dunia” sebenarnya menjadi kurang tepat karena di dalam tubuh negeri Paman Sam terdapat dua arus besar, yaitu kelompok konservatif dan kelompok progresif. Partai Republik versus Partai Demokrat.

Di saat Amerika Serikat diserang krisis ekonomi dan menjelang pemilihan umum seperti sekarang, sulit bagi dunia untuk berharap pada kiprah Amerika Serikat pada Konferensi Rio+20. Presiden Obama dari Partai Demokrat dibayang-bayangi kemungkinan kalah dalam pemilu mendatang.

Selain itu, keputusan politik pun tidak di tangan presiden karena kongres lebih berwenang sebagai pengemban amanat rakyat. Dengan sistem semacam itu, dukungan Amerika Serikat pada perundingan global sulit diharapkan karena rakyatnya bersikap inward-looking, lebih mementingkan kesejahteraan dirinya. Di luar itu, sebagian negara-negara Uni Eropa kini terkena krisis ekonomi.

Dukungan dari Eropa secara politis masih dimungkinkan. Jerman dan Perancis dikuasai oleh partai-partai berhaluan liberal. Namun, kondisi perekonomian di Uni Eropa jelas berpengaruh pada keseriusan mereka melanjutkan komitmen pada pembangunan berkelanjutan. Secara keseluruhan, situasi politik-ekonomi belum bisa menjamin akan lahirnya komitmen kuat untuk pembangunan berkelanjutan.

Dan yang pasti, konferensi pembangunan berkelanjutan Rio+20 tidak berlangsung di ruang kosong.

Ancaman Baru

Pada bentangan peta yang lain, yaitu di negara-negara berkembang, muncul ancaman baru. Sejalan dengan penurunan mesin ekonomi di Barat, dua raksasa Asia mulai unjuk gigi, yaitu China dan India, di samping kekuatan negeri Asia Tengah, seperti Rusia yang kaya akan sumber daya alam.

Ketika perundingan global tak jelas mengarah ke mana, Indonesia sebagai negara kaya akan sumber daya alam sudah kembali menjadi incaran negara-negara kapitalis baru.

Poros ekonomi Shanghai-China-Rusia kini bersatu untuk menyerbu sumber daya alam yang terpapar Indonesia. Jika kewaspadaan berkurang, kerusakan lingkungan masif pun tak akan terhindarkan lagi.

Maka, ketika dunia luar tak bisa diharapkan, yang dibutuhkan Indonesia adalah konsolidasi ke dalam dengan mengubah paradigma: memandang keberlanjutan untuk keberlanjutan negeri demi hak generasi penerus. Rencana masa depan adalah hasil kerja sama dari mereka yang sudah mati, kita yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan.

Dan demi menjamin adanya masa depan inilah, menurut Direktur Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Darwina Widjajanti, penting dibangun keberlanjutan di berbagai aspek kehidupan, mulai dari energi, air, hingga pangan.

Selain itu, juga harus didorong terciptanya keberlanjutan usaha, yaitu usaha yang mengindahkan keberlanjutan sosial dan lingkungan, serta keberlanjutan tata ruang yang berpihak pada daya dukung alam.

Namun, semuanya itu belum cukup untuk mewujudkan suatu praktik pembangunan berkelanjutan apabila di sana tidak hadir good governance (tata kelola yang baik). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar