PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN :
Keberlanjutan
di Tengah Berubahnya Mood
Laporan Diskusi Panel
Terbatas KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 12
Juni 2012
Warga dunia memiliki utopia: hidup di sebuah
planet yang mampu mendukung kehidupan yang serba berkecukupan sandang, pangan,
serta membahagiakan. Sebuah dunia yang tak disesaki oleh bencana, sekaligus
bisa menghasilkan kekayaan materi bagi warga bumi. Untuk mencapainya, berbagai
konferensi untuk berbagai segi kehidupan digelar, mulai dari konferensi
perubahan iklim, pertemuan untuk berbagai konvensi terkait lingkungan, hingga
ke Konferensi Bumi, seperti yang bakal digelar di Rio de Janeiro, Brasil.
Selama lebih dari setengah abad, dunia
bergerak di bawah komando pembangunan ekonomi yang menyakralkan kata
”pertumbuhan”. Ekonomi pasar dianut. Persoalan keuangan diatur dan dijadikan
komoditas sekaligus. Aspek ekonomi menjadi hal yang mendominasi dan menyetir berbagai
komunikasi global.
Sepekan lagi, Konferensi Pembangunan
Berkelanjutan PBB di Rio de Janeiro atau Rio+20 akan berlangsung. Dunia telah
mengalami banyak perubahan sejak berakhirnya Perang Dingin. Setelah Perang
Dingin, perang telah beralih ke perang melawan teroris. Paman Sam memegang
kendali komando utama bagi urusan perang ini.
Di berbagai meja perundingan global, dunia
tetap terbagi menjadi dua blok. Blok negara-negara maju atau negara kaya atau
negara industri di utara dan negara-negara berkembang sampai miskin di selatan.
Berbagai perundingan dalam konferensi
internasional diwarnai gradasi kepentingan yang berporos pada dua blok
tersebut. Sementara secara global, tak bisa dimungkiri, Amerika Serikat
merupakan tulang punggung.
Semangat dunia untuk menuju ke dunia yang
berkelanjutan sebenarnyalah masih ada. Persoalannya, mood atau kondisi gairah
sekarang sudah amat berubah jika dibandingkan dengan sebelum terjadi pengeboman
gedung World Trade Center, New York.
Amerika Serikat lebih tertarik pada apa yang dia sebut sebagai perang melawan
teroris. Gairah menurun. Mood anjlok.
Gangguan berikutnya adalah krisis ekonomi
yang berkesinambungan menyerang negara-negara anggota Uni Eropa. Uni Eropa
goyah. Sulit mengharapkan negara-negara maju di Eropa akan memberi perhatian
pada persoalan lingkungan.
Ketika lingkungan tak menjadi prioritas lagi,
bukan hanya Rio+20 yang terancam gagal. Akhir tahun ini, di Doha, Qatar, akan
dilangsungkan Konferensi Perubahan Iklim PBB bertepatan dengan selesainya tahap
pertama Protokol Kyoto. Pertanyaan
besar adalah akankah muncul rezim pengganti Protokol
Kyoto sebagai komitmen baru untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Jika
Doha gagal, Rio+20 akan ”berlubang” dalam aspek lingkungannya.
Bergantung Dalam Negeri
Ketika dunia menunggu kepemimpinan Amerika
Serikat sebagai negara yang selama ini diposisikan sebagai ”pemimpin dunia”
sebenarnya menjadi kurang tepat karena di dalam tubuh negeri Paman Sam terdapat
dua arus besar, yaitu kelompok konservatif dan kelompok progresif. Partai
Republik versus Partai Demokrat.
Di saat Amerika Serikat diserang krisis
ekonomi dan menjelang pemilihan umum seperti sekarang, sulit bagi dunia untuk
berharap pada kiprah Amerika Serikat pada Konferensi Rio+20. Presiden Obama
dari Partai Demokrat dibayang-bayangi kemungkinan kalah dalam pemilu mendatang.
Selain itu, keputusan politik pun tidak di
tangan presiden karena kongres lebih berwenang sebagai pengemban amanat rakyat.
Dengan sistem semacam itu, dukungan Amerika Serikat pada perundingan global
sulit diharapkan karena rakyatnya bersikap inward-looking,
lebih mementingkan kesejahteraan dirinya. Di luar itu, sebagian negara-negara
Uni Eropa kini terkena krisis ekonomi.
Dukungan dari Eropa secara politis masih
dimungkinkan. Jerman dan Perancis dikuasai oleh partai-partai berhaluan
liberal. Namun, kondisi perekonomian di Uni Eropa jelas berpengaruh pada
keseriusan mereka melanjutkan komitmen pada pembangunan berkelanjutan. Secara
keseluruhan, situasi politik-ekonomi belum bisa menjamin akan lahirnya komitmen
kuat untuk pembangunan berkelanjutan.
Dan yang pasti, konferensi pembangunan
berkelanjutan Rio+20 tidak berlangsung di ruang kosong.
Ancaman Baru
Pada bentangan peta yang lain, yaitu di
negara-negara berkembang, muncul ancaman baru. Sejalan dengan penurunan mesin
ekonomi di Barat, dua raksasa Asia mulai unjuk gigi, yaitu China dan India, di
samping kekuatan negeri Asia Tengah, seperti Rusia yang kaya akan sumber daya
alam.
Ketika perundingan global tak jelas mengarah
ke mana, Indonesia sebagai negara kaya akan sumber daya alam sudah kembali
menjadi incaran negara-negara kapitalis baru.
Poros ekonomi Shanghai-China-Rusia kini
bersatu untuk menyerbu sumber daya alam yang terpapar Indonesia. Jika kewaspadaan
berkurang, kerusakan lingkungan masif pun tak akan terhindarkan lagi.
Maka, ketika dunia luar tak bisa diharapkan,
yang dibutuhkan Indonesia adalah konsolidasi ke dalam dengan mengubah
paradigma: memandang keberlanjutan untuk keberlanjutan negeri demi hak generasi
penerus. Rencana masa depan adalah hasil kerja sama dari mereka yang sudah
mati, kita yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan.
Dan demi menjamin adanya masa depan inilah,
menurut Direktur Yayasan Pembangunan
Berkelanjutan Darwina Widjajanti, penting dibangun keberlanjutan di
berbagai aspek kehidupan, mulai dari energi, air, hingga pangan.
Selain itu, juga harus didorong terciptanya
keberlanjutan usaha, yaitu usaha yang mengindahkan keberlanjutan sosial dan
lingkungan, serta keberlanjutan tata ruang yang berpihak pada daya dukung alam.
Namun, semuanya itu belum cukup untuk
mewujudkan suatu praktik pembangunan berkelanjutan apabila di sana tidak hadir good governance (tata kelola yang baik).
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar