Senin, 18 Juni 2012

Kebijakan bagi Papua


Kebijakan bagi Papua
Velix V Wanggai ; Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah
dan Otonomi Daerah
Sumber :  SINDO, 18 Juni 2012


“Papua tanah damai” atau “Papua land of peace” merupakan komitmen yang ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2004 lalu hingga saat ini. Pendekatan yang damai, dialog, dan bermartabat menjadi pijakan Presiden SBY di dalam mengelola Papua.

Berulang kali Presiden SBY selalu memberikan arahan kepada kementerian/ lembaga, termasuk TNI/Polri, untuk mengelola Papua dengan hati, tidak berpikir business as usual, perlu terobosan, dan bahkan thinking outside the box. Ketika SBY mendapat amanah untuk menjadi presiden kedua kali, maka sejak 20 Oktober 2009 pemerintah KIB II telah mendeklarasikan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan atas konflik yang masih terjadi di tanah Papua.

Setelah Aceh damai, Papua menjadi pekerjaan rumah dari KIB II ini. Lima posisi dasar (standing position) pemerintah bagi Papua adalah, pertama, menguatkan kedaulatan NKRI dengan tetap menghormati keragaman dan kekhususan rakyat dan wilayah Papua. Kedua, menata dan mengoptimalisasi pelaksanaan UU No 21/2001 perihal otonomi khusus bagi Papua.

Ketiga, melakukan affirmative policies sebagai sebuah diskriminasi positif dan rekognisi atas hak-hak dasar rakyat Papua seperti akses ke perguruan tinggi bermutu, karier di birokrasi dan TNI/Polri maupun pengusaha asli Papua. Keempat, mendesain strategi, kebijakan, dan program, termasuk pembiayaan, guna percepatan pembangunan wilayah dan pemberdayaan rakyat Papua. Kelima, mengedepankan penghormatan atas HAM dan mengurangi tindak kekerasan, baik yang dilakukan kelompok-kelompok separatis Papua maupun oknum aparat negara di luar batas kepatutan.

Dengan lima posisi dasar di atas, desain kebijakan yang komprehensif bagi tanah Papua telah dirumuskan sejak periode II kepemimpinan SBY. Pertama, pemerintah membenahi desain perencanaan untuk Papua.Pada langkah awal ini, agenda Papua diletakkan secara khusus di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010–2014. Pemerintah membalikkan pendekatan dari sektoral menuju dimensi kewilayahan yang lebih kental.

Konteks wilayah yang luas dan zona ekologi yang beragam menjadi pijakan utama bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan kluster-kluster kewilayahan yang sesuai dengan budaya rakyat Papua. Untuk itu, Papua juga ditempatkan sebagai koridor Papua-Kepulauan Maluku di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Saat ini pula pemerintah bersama pemda sedang menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Papua (RTRWP) yang menghormati hak-hak adat rakyat secara berkelanjutan. Hadirnya Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) ditujukan pula untuk menyinergikan perencanaan sektoral dan regional bagi Papua. Kedua, pemerintah membenahi desain regulasi untuk Papua.

Dengan desentralisasi yang bersifat asimetris, Presiden SBY selalu menekankan agar desain kebijakan dan program-program sektoral harus disesuaikan dengan konteks ke-Papua-an dalam payung Otonomi Khusus. Di sinilah Presiden mendorong semua regulasi sektoral agar sejalan dan selaras dengan semangat dasar dan prinsipprinsip utama dari otonomi khusus seperti regulasi perkebunan, perikanan, pertambangan, kehutanan maupun regulasi politik pemilihan kepala daerah.

Penataan regulasi itu tentu saja menyangkut aspek kewenangan dan urusan antarlevel pemerintahan maupun lembaga- lembaga negara lainnya, baik MK, MA, DPR maupun lembaga lain. Memang, masih ada kendala yang dihadapi untuk menyelaraskan desain sektoral dan desain otonomi khusus.Hal ini adalah pekerjaan rumah kita.

Ketiga, sejalan dengan tekad untuk mengedepankan aspek kesejahteraan,pemerintah serius untuk membenahi desain pembiayaan untuk Papua. Dalam konteks itu, sejak 2005 hingga 2012 ini pemerintah melanjutkan desentralisasi fiskal bagi Papua dengan meningkatkan alokasi dana baik dana kementerian/lembaga maupun dana perimbangan serta dana otonomi khusus bagi Papua.

Tahun 2012 ini saja pemerintah telah mengalokasikan dana sekitar Rp30 triliun untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Bahkan, untuk mendorong percepatan pembangunan tanah Papua, dana sisa anggaran lebih (SAL) dalam APBN-P 2012 sebesar lebih dari Rp 3 triliun dialokasikan kepada Papua untuk peningkatan konektivitas ke seluruh pelosok kampung Papua.

Sejalan dengan keberpihakanalokasidanauntukPapuaitu, pemerintah kini berupaya keras untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasakan tidak adil bagi tanah Papua maupun Pemerintah Indonesia. Harapannya, hasil dari renegosiasi ini menghadirkan manfaat social-ekonomi bagi rakyat kebanyakan di tanah Papua. Keempat, pemerintah berupaya untuk menata desain kelembagaan pemerintahan daerah Papua.

Dengan kekhususan yang dimiliki dalam payung otonomi khusus,pemerintah selalu berikhtiar untuk menguatkan kapasitas lembaga eksekutif, DPRP, dan MRP (Majelis Rakyat Papua). Setelah status MRP terkatungkatung sejak 2001–2004, Presiden SBY berupaya keras untuk menerbitkan PP No 54/2004 tentang MRP. Presiden SBY menghargai MRP sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua karena lembaga ini mewadahi utusan perempuan, adat, dan tokoh agama.

Demikian pula dalam konteks kelembagaan ini, telah diterbitkan Desain Dasar Penataan Daerah (Desartada) 2010–2025 yang memberi ruang bagi hadirnya provinsiprovinsi baru di tanah Papua sebagaimana diamanatkan dalam UU Otonomi Khusus. Bagi Presiden SBY, pemekaran kelembagaan pemerintahan harus diletakkan pada penajaman pelayanan publik, percepatan pembangunan, dan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan politik lokal.

Karena itu, tidaklah benar jika ada pandangan bahwa pemerintah tidak memiliki desain pembangunan Papua maupun pemerintah melakukan pembiaran terhadap rakyat Papua. Empat agenda di atas merupakan bagian yang saling terkait dalam desain komprehensif bagi Papua. Semua ini bisa jalan dalam situasi damai. Pemerintah sangat menjunjung setiap anak bangsa di tanah Papua untuk bebas berekspresi sebagaimana amanat dan tuntutan konstitusi 1945.

Setiap langkah pemerintah diikhtiarkan untuk mewujudkan Papua tanah damai. “Perdamaian melalui pembangunan”(peace through development) menjadi pedoman utama bagi pemerintah. Papua tanah damai bukanlah tugas pemerintah saja untuk mewujudkannya, tetapi hal ini merupakan tugas kolektif kita semua. Di sinilah komunikasi konstruktif bagi Papua diletakkan, yakni komunikasi menuju Papua tanah damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar