Kecanduan
Uang Panas
Iman Sugema ; Ekonom
SUMBER : REPUBLIKA,
11 Juni 2012
Dalam
tiga pekan terakhir ini, ada dua fenomena yang cukup mengejutkan bagi para
ekonom dan analis. Pertama adalah depresiasi rupiah terhadap dolar yang cukup
liar. Itu seolah-olah Bank Indonesia (BI) telah kehilangan kendali terhadap
kurs rupiah. Kedua, memburuknya neraca transaksi berjalan. Melemahnya ekspor
dan semakin derasnya laju impor telah menyebabkan neraca transaksi berjalan
pada April lalu menjadi negatif.
Dua
hal itu menjadi sangat penting sebagai sebuah sinyal apakah nanti ketika krisis
Eropa mencapai puncaknya pada 2013, Indonesia akan mampu bertahan. Secara
fundamental, sampai akhir 2012 semestinya Indonesia tidak tergoyahkan oleh
karut-marut di Eropa. Tahun depan, mungkin ceritanya akan sedikit berlainan.
Mengapa begitu?
Neraca
transaksi berjalan memiliki dua komponen utama, yakni neraca perdagangan dan net factor payment. Untuk sementara,
kita kesampingkan dulu masalah net factor
payment. Neraca perdagangan adalah selisih nilai ekspor dan impor serta
merupakan bagian utama dari neraca transaksi berjalan. Defisit neraca transaksi
berjalan biasanya merupakan cerminan dari defisit neraca perdagangan.
Melemahnya
ekspor merupakan akibat langsung dari melemahnya permintaan global seiring
dengan semakin buruknya situasi perekonomian di Eropa dan Amerika Utara.
Sebagai akibatnya harga-harga berbagai komoditas cenderung turun, termasuk
harga minyak mentah. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengandalkan
eskpor dari produk primer tentunya adalah logis kalau mengalami pelemahan nilai
ekspor.
Berita
buruknya adalah kalau situasi di Eropa terus memburuk dan mencapai bottom pada 2013, kita tak bisa berharap
ekspor akan membaik. Konsekuensinya, target ekspor pada masa mendatang tak
boleh kita tetapkan terlalu optimistis. Kalaupun bisa menembus angka 200 miliar
dolar AS pada akhir tahun nanti, itu sudah merupakan sebuah pencapaian yang
cukup baik. Tahun depan mungkin akan lebih buruk lagi.
Dari
sisi impor, kita memang masih akan mengalami penguatan karena didorong oleh
kinerja pertumbuhan ekonomi di dalam negeri yang mungkin masih akan berkisar
pada angka enam persen. Di seantero jagat, negara `besar' yang mengalami
pertumbuhan enam persen ke atas bisa dihitung dengan jari. Di Asia, siapa lagi
kalau bukan Cina, India, dan Indonesia. Karena itu, membengkaknya impor yang
berkepanjangan tidaklah harus diinterpretasikan sebagai sebuah berita buruk.
Itu lebih mencerminkan masih baiknya siatuasi ekonomi dalam negeri.
Sementara
impor masih akan melaju, di lain pihak kita tak bisa menggenjot ekspor karena
semakin buruknya situasi perekonomian dunia. Adalah logis bila kemudian kita
akan mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang mungkin akan berlangsung
selama 10 tahun ke depan. Selama kita bisa mempertahankan situasi perekonomian
dalam negeri, defisit neraca transaksi berjalan tidak selalu sebuah mimpi
buruk.
Tapi
bagi beberapa kalangan, terutama Bank Indonesia, ini bisa jadi merupakan sebuah
mimpi buruk. Memburuknya ekspor akan membawa akibat semakin langkanya
ketersediaan pasokan valas di pasar. Di lain pihak, membengkaknya impor
membutuhkan pendanaan valas yang semakin besar. Dalam beberapa tahun ke depan,
permintaan valas akan semakin kuat sehingga Bank Indonesia harus bersedia untuk
menutupi kekurangan pasokan agar kurs dapat dipertahankan stabilitasnya.
Goyahnya
posisi rupiah terhadap dolar merupakan sinyal bahwa dalam beberapa kesempatan
Bank Indonesia tidak sepenuhnya menguasai medan pertempuran meski memiliki
cadangan devisa yang relatif besar dibandingkan 10 tahun lalu. Masalahnya bukan
berada pada seberapa besar kita memiliki cadangan devisa, melainkan sejauh mana
cadangan devisa itu digunakan untuk stabilisasi kurs.
Persoalannya
juga terletak pada persepsi yang dibangun selama ini bahwa peningkatan cadangan
devisa merupakan sebuah prestasi. Dengan demikian, logika sebaliknya juga
kemudian terbangun. Kalau cadangan devisa menurun, situasi perekonomian sedang
tidak baik. Padahal dalam beberapa tahun ke depan, kalau ingin mempertahankan
kinerja perekonomian yang cukup baik, kita harus merelakan cadangan devisa
menurun.
Karena
itu, tak mengherankan bila Bank Indonesia kemudian menawarkan term deposit (deposito berjangka) dalam
bentuk valas untuk menarik masuknya uang panas (hot money). Dengan ini diharapkan akan banyak investor asing
mengalirkan uangnya ke rekening tersebut. Itu berarti bahwa kita akan membiayai
defisit perdagangan dengan uang panas dari luar hanya untuk menjaga agar
cadangan devisa tidak terkuras.
Sebagaimana
saya jelaskan di atas, defisit tersebut mungkin akan terus berlangsung dalam
beberapa tahun ke depan. Itu juga berarti bahwa Bank Indonesia akan semakin
kecanduan uang panas. Kebijakan moneter pada akhirnya akan tersandera oleh
aliran uang ini. Dan, itu berarti kita sudah tidak lagi memiliki bank sentral
yang efektif.
Pertanyaannya,
apa yang akan dilakukan bila uang panas itu tiba-tiba semua hengkang? Kalau
saja tahun depan situasi di Eropa semakin buruk, bukan tidak mungkin semua hot money akan kabur dari emerging market, termasuk Indonesia. Kebijakan
yang mengundang uang panas masuk lebih besar saat ini pastinya akan
mengakibatkan lebih derasnya uang panas yang keluar tahun depan.
Karena
itu, sebaiknya kita lebih hati-hati dalam merancang kebijakan karena buah dari
kebijakan tersebut tidak selalu baik pada masa yang akan datang.
Semoga saja Bank Indonesia masih sempat memikirkan cara-cara yang lain sebelum badai keuangan itu betul-betul datang. Selamat mencoba. ●
Semoga saja Bank Indonesia masih sempat memikirkan cara-cara yang lain sebelum badai keuangan itu betul-betul datang. Selamat mencoba. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar