Rabu, 13 Juni 2012

Kecanduan Uang Panas


Kecanduan Uang Panas
Iman Sugema ; Ekonom
SUMBER :  REPUBLIKA, 11 Juni 2012


Dalam tiga pekan terakhir ini, ada dua fenomena yang cukup mengejutkan bagi para ekonom dan analis. Pertama adalah depresiasi rupiah terhadap dolar yang cukup liar. Itu seolah-olah Bank Indonesia (BI) telah kehilangan kendali terhadap kurs rupiah. Kedua, memburuknya neraca transaksi berjalan. Melemahnya ekspor dan semakin derasnya laju impor telah menyebabkan neraca transaksi berjalan pada April lalu menjadi negatif.

Dua hal itu menjadi sangat penting sebagai sebuah sinyal apakah nanti ketika krisis Eropa mencapai puncaknya pada 2013, Indonesia akan mampu bertahan. Secara fundamental, sampai akhir 2012 semestinya Indonesia tidak tergoyahkan oleh karut-marut di Eropa. Tahun depan, mungkin ceritanya akan sedikit berlainan. Mengapa begitu?

Neraca transaksi berjalan memiliki dua komponen utama, yakni neraca perdagangan dan net factor payment. Untuk sementara, kita kesampingkan dulu masalah net factor payment. Neraca perdagangan adalah selisih nilai ekspor dan impor serta merupakan bagian utama dari neraca transaksi berjalan. Defisit neraca transaksi berjalan biasanya merupakan cerminan dari defisit neraca perdagangan.

Melemahnya ekspor merupakan akibat langsung dari melemahnya permintaan global seiring dengan semakin buruknya situasi perekonomian di Eropa dan Amerika Utara. Sebagai akibatnya harga-harga berbagai komoditas cenderung turun, termasuk harga minyak mentah. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengandalkan eskpor dari produk primer tentunya adalah logis kalau mengalami pelemahan nilai ekspor.

Berita buruknya adalah kalau situasi di Eropa terus memburuk dan mencapai bottom pada 2013, kita tak bisa berharap ekspor akan membaik. Konsekuensinya, target ekspor pada masa mendatang tak boleh kita tetapkan terlalu optimistis. Kalaupun bisa menembus angka 200 miliar dolar AS pada akhir tahun nanti, itu sudah merupakan sebuah pencapaian yang cukup baik. Tahun depan mungkin akan lebih buruk lagi.

Dari sisi impor, kita memang masih akan mengalami penguatan karena didorong oleh kinerja pertumbuhan ekonomi di dalam negeri yang mungkin masih akan berkisar pada angka enam persen. Di seantero jagat, negara `besar' yang mengalami pertumbuhan enam persen ke atas bisa dihitung dengan jari. Di Asia, siapa lagi kalau bukan Cina, India, dan Indonesia. Karena itu, membengkaknya impor yang berkepanjangan tidaklah harus diinterpretasikan sebagai sebuah berita buruk. Itu lebih mencerminkan masih baiknya siatuasi ekonomi dalam negeri.

Sementara impor masih akan melaju, di lain pihak kita tak bisa menggenjot ekspor karena semakin buruknya situasi perekonomian dunia. Adalah logis bila kemudian kita akan mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang mungkin akan berlangsung selama 10 tahun ke depan. Selama kita bisa mempertahankan situasi perekonomian dalam negeri, defisit neraca transaksi berjalan tidak selalu sebuah mimpi buruk.

Tapi bagi beberapa kalangan, terutama Bank Indonesia, ini bisa jadi merupakan sebuah mimpi buruk. Memburuknya ekspor akan membawa akibat semakin langkanya ketersediaan pasokan valas di pasar. Di lain pihak, membengkaknya impor membutuhkan pendanaan valas yang semakin besar. Dalam beberapa tahun ke depan, permintaan valas akan semakin kuat sehingga Bank Indonesia harus bersedia untuk menutupi kekurangan pasokan agar kurs dapat dipertahankan stabilitasnya.

Goyahnya posisi rupiah terhadap dolar merupakan sinyal bahwa dalam beberapa kesempatan Bank Indonesia tidak sepenuhnya menguasai medan pertempuran meski memiliki cadangan devisa yang relatif besar dibandingkan 10 tahun lalu. Masalahnya bukan berada pada seberapa besar kita memiliki cadangan devisa, melainkan sejauh mana cadangan devisa itu digunakan untuk stabilisasi kurs.

Persoalannya juga terletak pada persepsi yang dibangun selama ini bahwa peningkatan cadangan devisa merupakan sebuah prestasi. Dengan demikian, logika sebaliknya juga kemudian terbangun. Kalau cadangan devisa menurun, situasi perekonomian sedang tidak baik. Padahal dalam beberapa tahun ke depan, kalau ingin mempertahankan kinerja perekonomian yang cukup baik, kita harus merelakan cadangan devisa menurun.

Karena itu, tak mengherankan bila Bank Indonesia kemudian menawarkan term deposit (deposito berjangka) dalam bentuk valas untuk menarik masuknya uang panas (hot money). Dengan ini diharapkan akan banyak investor asing mengalirkan uangnya ke rekening tersebut. Itu berarti bahwa kita akan membiayai defisit perdagangan dengan uang panas dari luar hanya untuk menjaga agar cadangan devisa tidak terkuras.

Sebagaimana saya jelaskan di atas, defisit tersebut mungkin akan terus berlangsung dalam beberapa tahun ke depan. Itu juga berarti bahwa Bank Indonesia akan semakin kecanduan uang panas. Kebijakan moneter pada akhirnya akan tersandera oleh aliran uang ini. Dan, itu berarti kita sudah tidak lagi memiliki bank sentral yang efektif.

Pertanyaannya, apa yang akan dilakukan bila uang panas itu tiba-tiba semua hengkang? Kalau saja tahun depan situasi di Eropa semakin buruk, bukan tidak mungkin semua hot money akan kabur dari emerging market, termasuk Indonesia. Kebijakan yang mengundang uang panas masuk lebih besar saat ini pastinya akan mengakibatkan lebih derasnya uang panas yang keluar tahun depan.

Karena itu, sebaiknya kita lebih hati-hati dalam merancang kebijakan karena buah dari kebijakan tersebut tidak selalu baik pada masa yang akan datang.
Semoga saja Bank Indonesia masih sempat memikirkan cara-cara yang lain sebelum badai keuangan itu betul-betul datang. Selamat mencoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar