Rabu, 27 Juni 2012

Kejahatan Narkotika Berbalut Terorisme


Kejahatan Narkotika Berbalut Terorisme
Awaluddin Abdussalam ;  Epidemiologis dan Sanitarian,
Kabid Bina Program RSUD Kabupaten Brebes
Sumber :  SUARA MERDEKA, 26 Juni 2012


"Saat ini banyak sindikat memperdagangkan narkoba untuk membiayai kejahatan lainnya, termasuk terorisme"

GRASI untuk Schapelle Leigh Corby, warga negara Australia, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja di Bali, menjadi preseden buruk, kontraproduktif dengan hasil spektakuler yang dicapai Badan Narkotika Nasional (BNN). Padahal pada 12 Juni lalu di Bali BNN menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Penegakan Narkotika (International Drugs Enforcement Conference/IDEC).

Konferensi bertema ‘’Enhancing The Spirit of International Partnership to Achieve the Greatest Succes on Fighting Drug Crime’’ itu dihadiri 305 penegak hukum bidang pemberantasan kejahatan narkotika dari 79 negara.  

Kejahatan narkotika merupakan transnational crime dengan keterlibatan jaringan sindikat lintas negara, yang meliputi negara produsen, negara transit, dan negara tujuan pemasaran. Jaringan ini dikendalikan secara rahasia, melibatkan multikewarganegaraan, dan menggunakan berbagai modus operandi. Karena itu, penanganannya memerlukan kerja sama internasional.

BNN melaporkan bahwa ancaman narkoba dunia saat ini menunjukkan peningkatan serius, dengan makin berkembangnya simbiosis mutualisme antara satu kejahatan lintas negara dan kejahatan lintas negara lainnya. Sebut saja misalnya penyelundupan orang dengan narkoba, penyelundupan senjata dengan narkoba, dan terorisme dengan narkoba (narcoterrorism).

Jika dulu jaringan itu memproduksi dan menjual narkoba dalam demi kepentingan ekonomi semata, kini paradigma mulai berubah. Saat ini banyak sindikat memperdagangkan narkoba untuk membiayai kejahatan lainnya, termasuk terorisme.

Sebagai Korban

Indonesia menghadapi permasalahan sangat kompleks. Di samping terus berpacu melawan sindikat narkoba, di sisi lain harus mengurusi korban narkoba. Hasil penelitian BNN dengan UI (2011) menunjukkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba mencapai 2,2% atau sekitar 4,7 juta jiwa dari total penduduk usia 10-59 tahun. Diprediksi 2015 meningkat menjadi 2,8% atau sekitar 5,1 juta jiwa. Padahal pemerintah mencanangkan ‘’Indonesia Bebas Narkoba 2015’’.

Pergeseran paradigma penanganan ketergantungan narkotika dimungkinkan terjadi seiring mulai diperkenalkannya PP Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Kriminalisasi terhadap pemakai atau pengguna narkotika yang selama ini terjadi akan ditoleransi.

Sebenarnya, sebagian besar pemakai atau pecandu merupakan korban sehingga layak bila segera mendapat layanan kesehatan, bukan dengan memenjarakan. Stigmatisasi dan marginalisasi akan menjadikan mereka sulit dijangkau, bahkan merasa terbuang dalam keterasingan dan ketakutan.

Jauh sebelum penerapan aturan ini, ada upaya penanganan pemakai atau pengguna narkotika tidak lagi melalui pendekatan kriminalisasi. Ada Surat Edaran Ketua MA Nomor 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Panti Terapi dan Rehabilitasi yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Tinggi dan ketua Pengadilan Negeri.

Memenjarakan pemakai atau pengguna narkotika bukan langkah tepat karena mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. Belum lagi, kondisi LP saat ini tidak mendukung karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan napi narkotika dan psikotropika.

Karena itu, pemkab/ pemkot seharusnya mengintegrasikan program penanggulangan narkotika di puskesmas atau rumah sakit tertentu, seperti pengurangan dampak buruk, penyuntikan yang aman ataupun memberikan kemungkinan substitusi terhadap jenis narkotika yang telah direkomendasikan ke arah penyembuhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar