Senin, 18 Juni 2012

Kejujuran Ilmiah dan Komitmen Sosial


Kejujuran Ilmiah dan Komitmen Sosial
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
Sumber :  SINDO, 18 Juni 2012


Kalau tata kehidupan sosial meminta tiap individu untuk memberikan kontribusi seadanya, semampunya, demi kebaikan bersama, maka tak ada orang yang bisa menolaknya. Seadanya, semampunya, kita “memberi” apa yang kita punya.
Seadanya, semampunya, kita harus rela “berkorban” mengurangi kepentingan yang “pribadi” sifatnya untuk apa yang “sosial”, yang di dalamnya toh kepentingan pribadi tadi pada hakikatnya tidak hilang. Bila hidup “pribadi” dan “sosial” yang utuh dan menyatu macam itu harus juga dilihat dari kepentingan “agama”, maka agama tinggal bertanya, apakah yang “seadanya” dan “semampunya” tadi diberikan dengan ikhlas? Agama menolak wujud pengabdian apa pun yang tak disertai keikhlasan.

Dan, akhirnya, bagi yang menjadikan agama patokan keluhuran final, tertinggi, dan orientasi nilai yang tak usah diperdebatkan, maka dalam hampir semua hal—juga dalam hidup yang tak menyangkut agama secara langsung—, tiap langkah kehidupan masih tetap menggunakan ukuran keikhlasan tadi. Hidup hanyalah langkah demi langkah untuk “memberi”.

Seadanya, semampunya, kita telah memberikan komitmen kita. Hidup sudah kita tandai dengan pemihakan dan kepedulian kita demi kebaikan bersama.Kita tak ingin melihat hidup terlalu banyak kesenjangan yang membikin pedih. Tapi di sini orang masih bertanya, adakah kita melakukan semua itu dengan ikhlas?

Kita tahu, ikhlas itu tindakan atau perbuatan, apa pun wujudnya, yang tak ditujukan pada apa pun selain “mligi”, utuh, bulat, demi yang “dituju” itu sendiri. Syukur bila di baliknya ada pula wujud kepasrahan bahwa itulah “ibadah” kita. Dan bahwa kita, tiap saat, melangkah hanya di jalan-Nya. Lalu pelan-pelan, dengan rasa syukur, kita menemukan ungkapan diri yang lebih tegas: tiap hari, tiap langkah, kita berjihad di jalan-Nya tadi.

Dan makin kental makin solid, makin tegas: ternyata yang kita tekuni, yang kita kerjakan— dalam doa, dalam karya, dalam demo, dalam protes, dalam rapat, dalam merumuskan kebijakan, juga dalam bertegur sapa dengan pihak lain—semuanya ternyata wujud jihad yang sebenarnya. Kita membela orang lain, kita tak setuju dengan orang lain, kita berdebat dan gigih menemukan titik pijak yang benar, adil, dan bijaksana dalam hidup, apa namanya bila bukan jihad?

Mencari Kebenaran

Jika hidup sudah jelas bukan semata untuk diri sendiri, bahwa selain yang diabdikan demi apa yang “sosial” tadi masih ada pula yang “agamis” sifatnya, yang berhubungan dengan kemuliaan dan keagungan, maka di sini wajib kita meletakkan semua landasan hidup pada apa yang namanya kebenaran. Kita perlu kebenaran ilmiah, yang diaku bersama di dunia ilmiah. Kita perlu kebenaran politik yang secara politik tak lagi diragukan.

Kita bahkan juga perlu kebenaran lebih tinggi, yang ukuran-ukurannya mutlak, yang final dan tak terbantah. Salah satu salah saya membela petani tembakau Jawa Tengah, lebih khusus Temanggung. Saya tahu nasib petani tembakau sangat terancam. Dan industri-industri rumah tangga di bidang keretek gugur bagai batang-batang ilalang ditebas parang yang tajam. Jumlahnya ratusan. Lebih dari dua ratus. Bangkainya tak jelas. Makamnya tak ada yang tahu di mana. Tapi penyebabnya jelas. Sangat jelas.

Kepentingan asing tampak. Dana asing tampak. Jumlahnya besar, dibagi-bagi kepada banyak kalangan, yang sudah sering kita bicarakan. Penyebab lainnya jelas: kebijakan pemerintah. Terutama Kementerian Kesehatan yang kerjanya, setidaknya sebagian, sangat dipengaruhi kepentingan asing. Kecuali dana, pengaruh dalam cara-cara pembuatan peraturan perundang-undangan terasa dan tampak jelas.

Ibaratnya, FCTC dikopi begitu saja sebagian dan dijadikan pasal-pasal aturan perundangan kita, seperti orang menelan tanpa mengunyah. Pemerintah kita tak boleh berbuat begitu. Negara merdeka, pemerintah kok tidak merdeka. Ini memalukan kita. Bikin saja aturan sendiri. Dengan sikap mandiri untuk mencerminkan bahwa kita bangsa merdeka. Rakyat, siapa saja, akan patuh kalau pemerintahnya tampak anggun dan mandiri dalam bersikap. Niat mengatur haruslah demi mengatur itu sendiri. Jangan ada muatan lain.

Dan aturan ditegakkan hanya demi kesejahteraan rakyat yang dilindunginya. Pendeknya, jangan demi penindasan, jangan demi kepentingan asing, jangan pula memperlihatkan diri bahwa pemerintah tertindas kepentingan asing. Argumen kepentingan asing dan duit asing ini oleh seorang wartawan terkemuka, yang menulis di media terkemuka, dianggap absurd. Saya kurang tahu apa maksudnya.

Apa dia menganggap kedua argumen itu tak berdasar pada fakta dan bohong? Saya memiliki data dan disupportdata oleh teman-teman yang paham gerak-gerik kekuatan di balik hebohnya keretek, yang tak lain hanya sebuah perang bisnis. Tapi kalau ternyata saya salah, mohon dijelaskan dengan detail, argumen kepentingan asing itu salah di bagian mana, tidak tepat karena counter argumen apa, dan absurd karena apa?

Kita tidak boleh mengatakan absurd dan sudah. Penjelasan harus diberikan. Begitu juga tentang pengaruh jahat uang asing. Uang asing itu dalam dunia pembangunan lumrah. Satu pemerintah berutang atau diberi dana hibah.LSM diberi dana negara donor, sangat lumrah. Mahasiswa menerima beasiswa, juga lumrah, sejak kita belum lahir. Banyak duit asing yang beroperasi di suatu negara, secara transparan, sesuai dengan alokasi dana asli di negara asal.

Semua jelas ada tujuannya dan rakyat di negara sana tahu ada sejumlah dana, buat sejumlah kepentingan— yang serbatransparan—diberikan ke negara asing. Kelumrahan seperti itu kita terima sebagai kebenaran politik, kebenaran aturan moneter atau finansial dunia. Tapi uang lain, yang gelap-gelapan, kita tahu tak usah dilahap secara gelap-gelapan pula. Apa lagi disertai pembelaan diri bahwa negara saja hidup dari dana asing.

Ini culas, memalukan, dan menista diri sendiri. Pendeknya, uang asing yang diniatkan buat menghancurkan tembakau dan industri keretek, tidak. Ini duit penjajahan. Duit yang memanggul sikap triranis kaum kolonial yang harus ditolak. Tapi kalau hal ini salah, jelaskan di mana salahnya. Kita harus jujur, secara sosial, secara politik maupun secara ilmiah. Tolong beri tahu, di mana saya salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar