Kamis, 21 Juni 2012

Ketika Caleg Dimodali


Ketika Caleg Dimodali
Muhamad Mustaqim ; Dosen STAIN Kudus,
Aktif pada Kajian Sosial The Conge Institute Kudus
Sumber :  SUARA MERDEKA, 20 Juni 2012


GAGASAN Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menarik perhatian dunia politik. Partai baru kontestan Pemilu 2014 itu siap memodali tiap calon anggota legislatif  (caleg)-nya Rp 5 miliar-Rp 10 miliar. Hal ini berbeda dari realitas politik kepartaian selama ini mengingat umumnya caleglah yang  memodali pembiayaan partai. Artinya, untuk bisa menjadi seorang caleg, kader harus membayar mahar ke partai.

Muncul anggapan Nasdem kurang pede terhadap eksistensinya sebagai partai baru sehingga harus didongkrak oleh mobilitas caleg dalam pemenangan dirinya, yang otomatis memberikan suara terhadap partai. Fenomena ini sekaligus mengindikasikan Nasdem tidak mempunyai figur andalan yang mampu menarik suara masyarakat.
Terlepas dari semua itu, Nasdem punya syahwat politik besar dalam pemenangan Pemilu 2014, minimal untuk mencapai parliamentary threshold yang persentasenya kini lebih besar ketimbang Pemilu 2009. Kecenderungan parpol memodali caleg boleh menjadi sesuatu yang sah dalam berpolitik asal ada transparansi akuntabilitas anggaran kendati ada beberapa kemungkinan yang terjadi.

Pertama; ada semacam utang politik caleg kepada parpol, yang berdampak pada tersanderanya caleg itu. Nantinya caleg harus menuruti semua orientasi parpol, meskipun tidak sesuai dengan nurani dan prinsip idealnya. Jika hal ini terjadi, alih-alih caleg akan memperjuangkan rakyat dan konstituennya namun lebih mengabdi pada parpol yang telah memodalinya.

Kedua; indikasi utang politik berimplikasi harus membayar, dan bukan tidak mungkin ia akan memanfaatkan jabatan supaya bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya uang demi melunasi ”utangnya” kepada partai. Bukankah akhir-akhir ini banyak anggota DPR korupsi berjamaah demi kepentingan atau mengatasnamakan partai?

Sistem Seleksi

Ketiga; secara positif memunculkan caleg berkualitas. Artinya parpol tidak akan salah pilih memodali caleg yang punyai kemampuan dan jiwa kenegarawan tinggi, dan mampu berkontestasi dengan caleg yang lebih didominasi pemodal atau orang kaya.

Ini boleh jadi membawa angin segar terhadap kualitas wakil rakyat kita meskipun argumentasi pertama dan kedua yang penulis sebut tetap berlaku. Sejauh ini, sistem politik kita masih memberikan kuasa cukup besar kepada partai. Parpol masih memiliki dominasi kuat atas sistem perekrutan caleg dalam pemilu. Tak heran parpol sering melirik tokoh populer, seperti artis dan selebritis untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Pada Pemilu 2009 misalnya, banyak anggota DPR berasal dari kalangan artis. Hal ini tampaknya jauh dari kompetensi sebagai politikus dan wakil rakyat. Selain itu, banyak juga dari pengusaha, dengan kepemilikan dana besar yang bisa mendukung pemenangan dalam pemilu.

Akibatnya sistem seleksi caleg berkesan lebih menonjolkan popularitas dan kekayaan, sedangkan aspek sumber daya dan kompetensi hanya sebagai pelengkap. Gagasan parpol memodali caleg tampaknya itu bisa menjadi format baru sistem perekrutan caleg dan kader partai yang lebih baik kualitasnya, dengan catatan parpol itu membuktikan diri populis, lebih menghamba pada kepentingan rakyat.

Yang perlu dicatat, parpol bukan lembaga bisnis yang bertujuan mencari untung melainkan kristalisasi kepentingan bersama rakyat dalam berpolitik. Partai hanya menjadi kendaraan politik dalam mewujudkan kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Ke depan, kita butuh sistem politik yang memberikan atmosfer bagi pemberdayaan masyarakat dalam berpolitik melalui partai. Bila sudah berdaya dan bervisi misi dengan lebih jelas maka tidak menjadi masalah ketika parpol memodali calegnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar