Selasa, 12 Juni 2012

Konfigurasi Norma HAM dan Pembatasannya

Konfigurasi Norma HAM dan Pembatasannya
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
SUMBER :  SINDO, 11 Juni 2012


Mencermati kontroversi kemunculan Irshad Manji dan Lady Gaga yang pernah ramai menghiasi wacana publik belakangan ini menggiring perbenturan opini yang bermuara pada kebebasan sebagai tulang punggung utama hak asasi manusia (HAM).

Betapa tidak, meski ditolak elemen masyarakat dalam jumlah yang cukup signifikan, kubu yang mendukung misi Irshad Manji dan Lady Gaga di Indonesia justru berkeinginan sebaliknya. Postulat legitimasi klaim yang disebut terakhir tidak lain adalah HAM dan kebebasan. Mereka memahami bahwa semua instrumen HAM, khususnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) maupun UUD 1945, telah menjamin kebebasan setiap orang untuk berekspresi dan berapresiasi tanpa batas.

Tak dapat disangkal bahwa HAM dalam berbagai kajian, diskusi maupun dalam struktur kelembagaan telah dipuja oleh sebagian kalangan sebagai konsep yang berlaku secara universal dan absolut. Semua nilai dan tatanan yang berlaku di tingkat nasional, regional, dan lokal harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan HAM. Alhasil, pendewa HAM memang telah menjadikan HAM sebagai kitab suci baru yang menjadi supremasi atas hukum, agama, dan pranata sosial lainnya.

Namun, dalam perkembangannya, absolutisme dan universalitas HAM mengalami tentangan dari gerakan partikularistik dan relativisme HAM. Jadi konfigurasi pemahaman norma HAM kontemporer tidak hanya melembagakan hak yang tidak dapat dikesampingkan (non-derogable rights), tetapi juga mengakomodasi prinsip HAM yang dapat dikesampingkan, bahkan dapat dibatasi (derogable rights).

Norma pembatasan HAM itu diperintahkan sendiri oleh artikel 29 ayat 2 UDHR. Sejak norma HAM diformalkan dalam sistem hukum kita, prinsip pembatasan telah dilembagakan antara lain dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Berdasarkan uraian di atas sudah sangat jelas bahwa tidak ada HAM dan kebebasan tanpa pembatasan. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan berekspresi dan berapresiasi. Dalam putusan MK No 140/PUUVII/ 2009 tertanggal 12 April 2010, majelis hakim MK menegaskan bahwa HAM bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Ini berarti perbuatan yang berupaya untuk melahirkan sebuah pemahaman melalui penafsiran terhadap kebebasan yang berujung pada kebablasan dan demoralisasi tidak bisa disebut sebagai kebebasan karena sudah jelas bertentangan dengan prinsip HAM itu sendiri.

Artikel 29 ayat 2 UDHR yang diadopsi UUD 1945 melalui Pasal 28 J ayat 2 jo Pasal 73 UU No 39/1999 dengan tegas menetapkan antara lain bahwa setiap orang dalam melaksanakan hak asasinya dibatasi oleh empat hal: aturan hukum, ketertiban umum, moral/kesusilaan, dan agama. Dengan demikian, kebebasan berekspresi dan berapresiasi sebagaimana yang tampak dari isu Irshad Manji dan Lady Gaga dalam perspektif HAM ternyata harus tunduk pada aturan hukum di semua tingkatan.

Pembatasan terhadap HAM dan kebebasan sebagaimana amanat ketentuan di atas menyerahkan sepenuhnya kepada otoritas hukum. Dalam hal ini Indonesia telah memenuhi kewajiban tersebut dengan membuat aturan hukum yang meletakkan batas-batas kebebasan berekspresi dan berapresiasi sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam galeri hukum Indonesia, paling tidak ada dua aturan hukum yang mengatur batas kebebasan berekspresi dan berapresiasi, yaitu UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU N0 44 /2008 tentang Pornografi.

Karakteristik Dasar

Harus dipahami bahwa pengaturan tentang HAM sebagai pranata hukum ditopang oleh dua karakteristik dasar yang selalu melekat, yaitu hak di satu sisi dan kewajiban di sisi yang lain. Ketika HAM digali dari filsafat keseimbangan, maka HAM mempromosikan dua pranata, yaitu hak dan kewajiban yang bersifat melekat secara timbal balik. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 28J ayat 1 UUD 1945 jo Pasal 1 angka 2 UU No 39/1999.

Dalam hal ini kewajiban hak asasi sebagaimana amanat Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945 jo Pasal 1 angka 2 UU No 39/1999 tidak hanya bersifat individual, yaitu kewajiban menghormati hak asasi orang lain, tetapi juga kewajiban yang bersifat kolektif, yaitu kewajiban menghormati aturan hukum, ketertiban umum, moral/kesusilaan, dan agama. Sayangnya, dalam implementasinya, hak lebih ditonjolkan daripada kewajiban.

Inilah yang sering menimbulkan benturan karena masyarakat Indonesia sebagian besar masih berpegang dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral/kesusilaan dan agama. Maka siapa pun wajib menghormati keyakinan masyarakat seperti itu. Setiap pengabaian terhadap kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM. Perlu ditegaskan bahwa interpretasi masyarakat Barat terhadap nilai kebebasan, moral, kesusilaan, dan kesucian ajaran agama sangat berbeda dengan masyarakat non-Barat, khususnya Indonesia.

Jika masyarakat Barat memahami keberadaan nilai kesusilaan dan agama tak lebih hanyalah sebagai aksesori yang tidak perlu hadir dalam pranata kehidupan formal, hal itu dapat dimengerti karena pemikiran masyarakat Barat telah lama dirasuki tradisi sekularisme dan liberalisme. Dalam perspektif Barat, orang tidak beragama sekalipun (atheis) maupun asusila sudah merupakan fenomena biasa karena bagi Barat, agama maupun kesusilaan tidak penting, kalau perlu disingkirkan dalam kehidupan karena hanya menjadi penghalang kebebasan.

Hal itu tentu sangat berbeda dengan masyarakat Timur seperti di Indonesia yang memahami agama dan kesusilaan sebagai kepedulian tertinggi dari setiap manusia (the ultimate concern of human). Masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan kesucian agama serta seluruh atribut simbolik yang melekat padanya melebihi dari pranata mana pun.

Kecuali pikiran orang yang terbaratkan, agama dan kesusilaan adalah aset tertinggi bagi masyarakat Indonesia sehingga mereka rela berkorban apa saja demi mempertahankan kesucian dan kemuliaan ajaran agama maupun nilai kesusilaan dari segala bentuk tindakan penodaan.

Meski Manji dan Gaga akhirnya gagal melaksanakan misinya di Indonesia, negara yang diwakili Polri tidak hanya berkewajiban untuk memenuhi hak mereka dalam berekspresi dan berapresiasi, tetapi Polri juga wajib, bahkan lebih wajib, melindungi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan agama sebagaimana amanat Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945 jo Pasal 8, Pasal 71 dan Pasal 72 UU N0 39/1999.

Jika tidak, berarti negara justru melanggar HAM sebagian besar warganya (by ommision) karena membiarkan kedua trend setter tersebut meracuni generasi muda dengan mengeksploitasi pranata HAM dan kebebasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar