Konsekuensi
Hasil Pemilu Mesir
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle
East Studies
SUMBER : KORAN
TEMPO, 7 Juni 2012
Untuk pertama kalinya dalam 5.000 tahun
sejarah peradabannya, Mesir menyelenggarakan pemilihan presiden secara
demokratis. Hal ini hanya bisa terjadi setelah revolusi Mesir menjatuhkan
diktator Husni Mubarak pada 11 Februari tahun lalu. Untuk memastikan pemilihan
umum berjalan secara demokratis sesuai dengan tuntutan rakyat, Dewan Agung
Militer (SCAF), yang memerintah sementara, melibatkan 14.509 hakim dan puluhan
lembaga swadaya masyarakat dari dalam dan luar negeri untuk mengawasi langsung
jalannya pemilihan presiden selama dua hari, pada 23 dan 24 Mei. Rakyat pun
antusias mendatangi tempat pemungutan suara.
Secara mengejutkan Muhammad Mursi dari Partai
Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Al-Ikhwanul
al-Muslimun, menduduki peringkat pertama dengan memperoleh 25,4 persen
suara. Peringkat kedua diraih Ahmad Shafik, mantan anggota Partai Nasional
Demokrat (NDP), yang mendapat 24,5 persen suara. Mengejutkan karena dalam
berbagai jajak pendapat yang dilakukan berbagai lembaga survei, Muhammad Mursi
hanya menduduki peringkat keempat. Misalnya, jajak pendapat yang digelar Pusat
Kajian Politik dan Strategi Al-Ahram,
yang dirilis pada 14 Mei lalu, masih menempatkan Amr Mousa, yang pernah
menjabat Sekretaris Jenderal Liga Arab, dan Menteri Luar Negeri Mesir, pada
urutan pertama, dengan dukungan 40,08 persen responden.
Urutan kedua ditempati Ahmad Shafik, mantan
perdana menteri pada pemerintahan terakhir Presiden Husni Mubarak, dengan 19,09
persen dukungan. Urutan ketiga ditempati calon presiden Abdul Munim Abul Futuh,
mantan petinggi IM, dengan 17,08 persen suara. Mursi sebagai calon presiden
resmi IM menempati posisi keempat dengan didukung hanya 9,04 persen suara.
Calon presiden dari kubu sosialis revolusioner, Hamdin Sabahi, berada pada
urutan kelima dengan mendapat 7 persen suara responden. Calon dari Partai
Al-Nour (sayap politik gerakan Salafi), Hazem Abu Ismail, didiskualifikasi oleh
komisi pemilu dengan dalih ibunya memiliki kewarganegaraan ganda, yakni Mesir
dan Amerika Serikat.
Yang juga mengejutkan adalah banyaknya suara
yang diperoleh Ahmad Shafik, hanya beda tipis dengan Muhammad Mursi. Padahal
Shafik adalah pejabat di lingkaran kekuasaan Husni Mubarak. Maka tak
mengherankan jika terjadi insiden kecil ketika pemungutan suara sedang
berlangsung. Shafik dilempari sepatu oleh massa ketika memberikan suara di
tempat pemungutan suara di Kairo. Massa berteriak "jatuhkan loyalis
Mubarak" di depan Shafik.
Fenomena perolehan suara Shafik ini mungkin
disebabkan oleh beberapa hal berikut ini. Rakyat Mesir menderita secara ekonomi
sejak revolusi 25 Januari 2011, yang menjatuhkan rezim Mubarak. Perekonomian
Mesir terpuruk. Arus masuk investasi asing ke Mesir setelah revolusi mencapai
titik nol. Devisa dari sektor pariwisata anjlok hingga 80 persen dan Mesir
merugi US$ 40 juta per hari akibat terhentinya wisata. Tingkat kemiskinan di
Mesir naik tajam hingga 70 persen. Utang luar negeri dan domestik mencapai
1.080 miliar pound Mesir (sekitar US$ 180 miliar) atau 90 persen dari
pendapatan domestik Mesir.
Pemasukan negara juga susut akibat produksi
terhenti, baik akibat revolusi maupun unjuk rasa buruh menuntut kenaikan upah.
Pada Mei 2011, sektor industri Mesir merugi 10-20 miliar pound Mesir (US$
1,5-3,2 miliar). Cadangan devisa melorot dari US$ 36 miliar pada Desember 2010
menjadi US$ 16 miliar pada April 2012. Pemerintah mengklaim rugi US$ 1 miliar
per bulan sejak 25 Januari tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi anjlok hanya 2,5
persen pada 2011 dan hanya naik hingga 4 persen pada 2012. Kondisi ini mungkin
yang membuat publik Mesir merindukan kembalinya stabilitas dan keamanan lewat
figur Shafik yang telah berpengalaman dalam pemerintahan.
Adapun sukses Muhammad Mursi meraih suara
terbesar, meski tetap mengejutkan, bisa dipahami. IM adalah organisasi
budaya-politik Mesir yang sudah tua, sehingga sangat berpengalaman dalam
mengorganisasikan dirinya. Hasil yang diperoleh Mursi menunjukkan mesin
organisasi IM, yang memenangi pemilu parlemen pada akhir 2011, sangat efektif
dan tidak bisa ditandingi partai lain di Mesir. IM memperlihatkan organisasi
yang solid, rapi, dan memiliki sistem komando yang efektif. Padahal Mursi
sempat diragukan lolos ke putaran kedua karena bersaing ketat dengan kubu
islamis lainnya.
Bagaimanapun, seharusnya pemilihan presiden
hanya satu putaran kalau kelompok islamis lain tidak mencalonkan tokohnya dan
berdiri di belakang Mursi. Pada pemilu parlemen, IM dan Al-Nour meraih 70
persen suara. Kalau dalam pemilu presiden, konstituen Al-Nour memilih Mursi,
tidak perlu ada pemilu putaran kedua yang direncanakan digelar pada 16 dan 17
Juni nanti. Jadi, tidak tercapainya sebuah partai memperoleh suara 50% + 1 disebabkan
oleh perpecahan internal mereka, baik kubu islamis maupun kelompok
nasionalis-sekuler. Upaya IM membujuk kelompok Salafi, seperti Al-Nour, kaum
muda IM, partai islamis Wasat, dan al-Awa, tidak berhasil. Di pihak lain,
kelompok nasionalis-sekuler juga terpecah dalam tiga calon presiden, yaitu Amr
Mousa, Hamdin Sabahi, dan Ahmad Shafik.
Hasil pemilihan presiden ini menunjukkan
rakyat Mesir terbelah antara mereka yang takut negeri itu kembali diperintah
oleh sisa-sisa rezim lama Mubarak dan mereka yang takut kelompok islamis akan
mendominasi negara itu. Memang, bila Shafik menang dalam pemilu putaran kedua,
rezim lama yang didukung militer akan berkuasa kembali dan kebijakan dalam
ataupun luar negeri tidak akan banyak berubah. Dengan demikian, Mesir akan kembali
menghadapi konflik serius. Salah satu juru bicara Gerakan Pemuda 6 April,
Mahmud Afifi, menegaskan, pihaknya tidak akan tinggal diam jika Ahmad Shafik
menang dalam putaran kedua.
Bila kelompok islamis yang menang dalam
putaran kedua, kubu nasionalis-sekuler pun sulit menerimanya karena banyak
kepentingan mereka akan disingkirkan. Selain itu, kebijakan luar negeri Mesir
akan berubah. Ia akan memasang jarak dengan Amerika dan lebih memilih sikap
independen walaupun akan kehilangan bantuan US$ 1,3 miliar dari pemerintah
Amerika setiap tahun. Kebijakan terhadap Israel pun akan berubah. Pemerintahan
islamis akan lebih mengakomodasi kepentingan Palestina, terutama Hamas yang
sesungguhnya merupakan IM cabang Palestina, dan akan membuka lebar-lebar
gerbang Rafah yang ditutup rezim Mubarak atas permintaan Israel, sehingga Jalur
Gaza benar-benar menjadi penjara terbesar di dunia. Israel menuduh gerbang ini
sering digunakan Hamas untuk memasukkan senjata ke Jalur Gaza.
Pemerintahan islamis juga akan mendekat ke
Iran untuk mendapatkan keseimbangan kekuatan di Timur Tengah. Kebetulan
mayoritas rakyat Mesir yang Sunni memeluk mazhab Syafii yang secara syariah
lebih dekat dengan mazhab Syiah Itsna Asyariah yang dipeluk mayoritas rakyat
Iran. Dengan demikian, rakyat Mesir akan menghadapi konsekuensi serius siapa
pun yang akan menjadi presiden. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar