Selasa, 19 Juni 2012

Konstitusi Perlu Konstituen


Konstitusi dan Negara Kesejahteraan :
Konstitusi Perlu Konstituen
Laporan Diskusi Panel oleh KOMPAS - Lingkar Muda Indonesia
Sumber :  KOMPAS, 19 Juni 2012


Di tengah sistem ekonomi politik yang menumbuhsuburkan korupsi dan kekerasan, bicara tentang negara kesejahteraan sesuai mandat konstitusi terasa seperti terlempar kembali ke zaman rimba. Betapa tidak. Ketika hidup manusia sudah keluar dari rimba, maka kata, data, dan argumen menjadi indikator penting dari peradaban.

Sesuatu bisa diubah dengan kekuatan kata, data, dan argumen, demikian kesimpulan seorang pakar ekonomi politik. Sementara di Republik ”Rimba” seperti sekarang, yang punya daya pengubah bukan lagi kata-kata, data, dan argumen, melainkan uang dan kekerasan.

Meski konstitusi menegaskan cita-cita negara kesejahteraan, menagih terwujudnya negara kesejahteraan dengan bersenjatakan konstitusi saja tidak akan menggerakkan penguasa. Konstitusi membutuhkan konstituen. Tanpa konstituen, konstitusi akan mati suri.

Hilang Daya

Betapapun konstitusi dengan gamblang mengamanatkan sistem negara kesejahteraan, realitas republik sekarang ini justru kian menjauh dari cita-cita. Meski konstitusi merupakan pedoman bagi penyelenggaraan pemerintahan dan dalam pembuatan kebijakan, pemerintahan republik kian kehilangan orientasi.

Kekayaan alam banyak diserahkan pengelolaannya kepada korporasi dan pihak asing, BUMN banyak dijual, utang negara yang jadi tanggungan rakyat terus meningkat, kesenjangan sosial melebar, perampasan hak rakyat atas lahan dan sumber daya ekonomi kian masif, ketidakberdayaan rakyat dalam menjangkau pelayanan dasar pangan, pendidikan, dan kesehatan kian memburuk, sementara jaminan sosial masih diperdebatkan.

Praktik demokrasi yang diharapkan mampu mendorong terwujudnya negara kesejahteraan malah melahirkan negara kleptokrasi. Hasil pemeriksaan BPK semester II-2011 yang berindikasi tindak pidana korupsi mencapai 318 kasus senilai Rp 33,87 triliun. Sementara data Markas Besar Kepolisian RI menunjukkan, kasus korupsi terus meningkat dari 585 kasus pada 2010 menjadi 1.323 kasus pada 2011. Para elite bergelimang materi dan kemewahan, sementara kemiskinan semakin kasatmata.

Konstitusi yang menjadi cita-cita republik tinggal menjadi kata-kata kosong makna. Memang konstitusi tidak dimatikan, tidak dibunuh, tetap ada dalam lembar negara, tetapi sudah kehilangan daya. Konstitusi tidak lagi menghidupi. Konstitusi hanya diperdebatkan, jadi bahan diskusi, jadi acuan tuntutan aksi, jadi acuan revisi undang-undang di mahkamah konstitusi, tetapi tidak mengubah dan menghidupi apa pun. Penderitaan sosial terasa kian meluas, sementara kekerasan dan kebrutalan kian menjadi andalan dalam menyelesaikan persoalan.

Dua Jalan

Negara kesejahteraan tidak terjadi karena kemauan politik penguasa. Ia merupakan hasil kumulatif tanggapan atas deretan tuntutan untuk mengatasi berbagai penderitaan sosial, seperti pengangguran yang luas dan kelaparan. Kemauan politik hanyalah ilusi. Kalaupun ada kemauan politik, itu tak lebih dari langkah perubahan yang terpaksa dilakukan karena desakan dan tekanan dari bawah.

Sejarah lahirnya negara kesejahteraan membuktikan, gerakan kelas bawah—khususnya buruh dan petani—punya andil besar dalam mendorong adanya perlindungan sosial oleh negara. Desakan dan tekanan dari bawah yang terus-menerus terjadi memaksa para pemikir dan penguasa mencari solusi atas berbagai penderitaan sosial.

Solusi inilah yang kemudian ditanam dalam kinerja tata negara. Jadi, negara kesejahteraan merupakan titik-titik kulminatif dari perjalanan panjang mengatasi penderitaan-penderitaan sosial. Mewujudkan negara kesejahteraan, dengan demikian, bukanlah proyek sekali jadi.

Meski konstitusi menegaskan cita-cita negara kesejahteraan, untuk mewujudkan cita-cita tidaklah cukup hanya bersandar pada konstitusi. Sebab, konstitusi itu membutuhkan konstituen yang mengorganisasi diri dan terus-menerus bergerak untuk menghidupi konstitusi. Ada dua jalan yang bisa ditempuh konstituen dalam menghidupkan konstitusi. Pertama, dengan menguasai negara. Kedua, dengan gerakan ekstra parlementer yang memaksa penguasa mengatasi penderitaan sosial.

Terkait jalan pertama, ada pembelajaran dari kebangkitan negara-negara Amerika Latin dalam mewujudkan negara kesejahteraan. Kebangkitan ini diawali oleh adanya kekuatan politik terorganisasi yang lahir dari evolusi gerakan sosial terorganisasi di negara-negara Amerika Latin. Gerakan sosial yang berkembang menjadi pengorganisasian politik dalam bentuk partai pada akhirnya melahirkan kader-kader pemimpin yang berani bertarung lewat proses demokrasi prosedural untuk memenangi tujuan-tujuan demokrasi substantif.

Ada pemimpin negara Latin yang di hari pertama menjadi presiden langsung mengeluarkan dekrit pelaksanaan reforma agraria. Alasannya, karena kekuasaan untuk melaksanakan dan menghidupi konstitusi sudah ada di tangan. Sementara janji reforma agraria oleh presiden Republik ”Rimba” hampir dua periode belum juga dilaksanakan. Padahal, kekuasaan sudah ada dalam genggamannya.

Untuk mengurangi kesenjangan sosial, selain melaksanakan reforma agraria, para pemimpin Amerika Latin menghidupi konstitusi mereka dengan menerapkan sistem ekonomi pasar sosial, mengelola sendiri kekayaan alamnya yang sebelumnya dikuasai korporasi asing, dan mengembangkan sejumlah program sosial yang bertujuan memberikan akses modal, pendidikan, tanah, dan politik kepada golongan miskin.

Hal mendasar yang dilakukan pemerintah negara-negara Amerika Latin hingga dapat mewujudkan negara kesejahteraan adalah menjadikan bangsanya tuan di negeri sendiri dan bukan budak bagi kepentingan asing dan korporasi.

Jalan kedua mungkin lebih baik dilihat sebagai tekanan terus-menerus untuk memberlakukan solusi terhadap penderitaan sosial. Gerakan seperti yang dilakukan buruh di Bekasi, beberapa waktu lalu, merupakan salah satu model. Buruh mengepung jalan tol hingga lumpuh total demi menuntut diberlakukannya standar upah minimum adalah satu contoh kemenangan yang potensial melahirkan negara kesejahteraan.

Hanya saja, kemenangan saja belumlah cukup. Mekanisme kemenangan dan konsesi itu harus ditanam dalam kinerja tata negara. Entah pusat ataupun daerah.

Negara kesejahteraan de facto lahir secara gradual karena tekanan dan desakan. Karena itu, gerakan untuk mewujudkan negara kesejahteraan dilakukan pertama-pertama bukan dengan mengukur diri pada standar konstitusi. Namun, secara konstan melancarkan solusi-solusi terus- menerus atas berbagai penderitaan sosial, mendefinisikan dalam bingkai demokrasi, dan menanamnya dalam kinerja tata negara.

Akhir kata, gerakan mewujudkan negara kesejahteraan akan menghadapi tembok tebal sistem ekonomi politik Republik ”Rimba” yang menghidupi dan dihidupi oleh uang dan kekerasan. Di tengah sistem seperti itu, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan negara kesejahteraan selain konsisten memenuhi panggilan konstitusi. Konstitusi kita membutuhkan konstituen yang berkomitmen untuk terus bekerja mengatasi penderitaan sosial dan membebaskan republik dari kegelapan ”rimba”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar