Senin, 04 Juni 2012

Kontroversi Bea Masuk untuk Migas


Kontroversi Bea Masuk untuk Migas
Eddy Purwanto ; Mantan Deputi BP MIGAS
SUMBER :  KOMPAS, 4 Juni 2012



Akhirnya terbit keputusan pemerintah tentang pengenaan bea keluar atas ekspor 65 jenis barang tambang logam dan mineral yang berlaku sejak 16 Mei 2012. Tarif rata-ratanya 20 persen.

Keputusan pemerintah tersebut belum memasukkan batubara yang menurut kabar masih digodok. Aturan baru ini diikuti oleh berjatuhannya saham pertambangan hingga 16 persen, tetapi sebagian kalangan usaha percaya bahwa koreksi harga saham sifatnya hanya sementara.

Saat masyarakat pertambangan cemas menunggu terbitnya aturan bea keluar atas batubara, sebagian investor migas mulai berspekulasi jangan-jangan aturan bea keluar ini akan diperluas hingga sektor minyak dan gas bumi yang bisa berpengaruh negatif terhadap harga saham perusahaan minyak internasional yang beroperasi di Indonesia.

Belakangan pemerintah bertambah gamang karena impor minyak dan BBM dari tahun ke tahun cenderung meningkat, bahkan hasil bersih pengelolaan (net-impact) minyak dan gas bumi pada neraca pemerintah APBN-P tahun 2012 sudah defisit Rp 26,7 triliun. Penyebabnya adalah hasil penjualan migas dan penerimaan dari pajak berbasis migas sudah tidak mampu menutup belanja negara di sektor migas, utamanya karena melonjaknya impor minyak dan BBM serta subsidi listrik. Sejak 2012 Indonesia memasuki era baru sebagai net pengimpor bukan hanya minyak, melainkan juga gas bumi.

Defisit neraca migas merangsang pemerintah menempuh jalan pintas: memberlakukan bea keluar atas ekspor minyak dan gas bumi yang berdampak negatif terhadap masa depan industri migas nasional.

Bea Keluar Migas

Tata niaga dan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia diatur dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) antara kontraktor dan pemerintah. Salah satu keunikan PSC adalah membebaskan kontraktor dari berbagai macam pungutan dan pajak (assume and discharge), kecuali pajak penghasilan kontraktor. Jika digulirkan wacana pengenaan bea keluar atas ekspor minyak dan gas bumi, kontraktor migas di Indonesia akan berlindung di bawah payung ”assume and discharge” untuk tidak membayar pajak ekspor atau bea apa pun di luar ketentuan PSC.

Guna menjaga iklim investasi di sektor migas, sulit bagi pemerintah untuk memaksakan aturan bea keluar yang di luar koridor PSC. Sebagai gantinya, untuk meningkatkan nilai tambah migas dalam APBN, pemerintah sebaiknya menekan impor melalui penguasaan volume migas di dalam negeri.

Sedikitnya ada empat terobosan yang dapat ditempuh untuk mengurangi defisit neraca migas dengan hukum yang tersedia.

Pajak Penghasilan

Terobosan pertama adalah mengaplikasikan salah satu ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang pajak penghasilan untuk menambah penguasaan volume migas di dalam negeri.

Bunyinya, ”...dalam hal pemerintah membutuhkan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan kontraktor dari kontrak bagi hasil dapat dibayar berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor.”

Ketentuan tersebut selama ini belum pernah diaplikasikan sehingga kontraktor lebih senang membayar pajak penghasilan secara tunai. Mulai sekarang pemerintah sebaiknya melaksanakan hak atau opsi dalam PP 79 tersebut dan meminta Kementerian Keuangan untuk segera menyusun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang penghitungan dan tata cara pembayaran pajak penghasilan.

Dari pajak penghasilan kontraktor pemerintah akan dapat menambah penguasaan volume dalam negeri 10 persen dari lifting nasional sehingga mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor yang ancamannya di masa depan akan semakin luas, termasuk ancaman geopolitik.

Opsi Bagian Pemerintah

Terobosan kedua adalah memanfaatkan opsi ketentuan bagi hasil dalam kontrak PSC. Umumnya hasil produksi lapangan migas pada masa awal produksi lebih banyak tersedot untuk pengembalian biaya operasi (cost-recovery) sehingga bagian pemerintah di bawah 50 persen dari produksi total. Sesuai kontrak, pemerintah berhak ”mengambil” bagian produksi hingga mencapai 50 persen.

Kini waktunya pemerintah memanfaatkan opsi bagi hasil ini, terutama di lapangan-lapangan migas baru dengan produksi relatif besar, seperti Cepu dan Tangguh. Terobosan ini akan membantu pemerintah menahan sebagian volume migas di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Terobosan yang ketiga adalah menyempurnakan PSC, utamanya kontrak-kontrak baru agar lebih sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi Indonesia, termasuk laju pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, jumlah kendaraan, dan lainnya yang bermuara pada peningkatan konsumsi BBM.

Penyempurnaan PSC diarahkan pada peningkatan penguasaan volume di dalam negeri oleh negara tanpa merugikan investor, termasuk tata cara pengembalian biaya operasi yang selama ini dibayar dengan volume (natura) untuk selanjutnya agar dibayar tunai. Kontraktor dijamin tetap mendapatkan hak bagi hasil atas produksi dalam bentuk volume untuk diekspor tanpa bea keluar.

Melalui terobosan ini volume minyak di dalam negeri akan bertambah sepertiga volume lifting minyak Indonesia sebagai tambahan bahan baku kilang domestik. Dengan demikian, impor minyak akan berkurang 300.000 barrel per hari.

Jika kontraktor menolak membayar tunai biaya operasi, pemerintah wajib mengenakan bea keluar atas ekspor volume migas yang berasal dari pengembalian biaya operasi.
Terobosan untuk menahan lebih banyak volume gas di dalam negeri adalah pada kontrak-kontrak jual-beli gas yang baru disarankan agar gas yang diekspor ke luar negeri hanya sebatas volume gas bagian kontraktor, sedangkan volume gas bagian pemerintah semaksimal mungkin ditahan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan harga terjangkau. Pemisahan volume gas bagian kontraktor dan pemerintah dapat dihitung melalui model akuntansi yang diakui internasional.

Iklim Investasi

Sejak memasuki era net pengimpor minyak dan gas, Indonesia menjadi sensitif terhadap produksi dan penguasaan migas dalam negeri. Kedaulatan atas volume menjadi sangat strategis karena menentukan hasil bersih pengelolaan minyak dan gas bumi pada neraca APBN.

Dari sisi produksi, Indonesia masih membutuhkan aliran modal yang besar sehingga semua kebijakan pemerintah dari hulu hingga hilir harus diarahkan ke perbaikan iklim investasi migas. Kebijakan bea keluar atas ekspor migas dikhawatirkan menghambat arus investasi untuk menggalakkan kegiatan eksplorasi di Indonesia.

Sebagai gantinya, pemerintah sebaiknya fokus memanfaatkan aturan dan ketentuan legal yang sudah tersedia untuk menahan lebih banyak volume dalam negeri demi mengurangi impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar