Senin, 04 Juni 2012

Krisis Air dan Kearifan Lokal

Krisis Air dan Kearifan Lokal
Siti Nuryati ; Penulis Skenario Film-Film Dokumenter Lingkungan,
Penerima Anugerah Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI
SUMBER :  SUARA KARYA, 4 Juni 2012


Di musim kemarau, ancaman krisis air mendera sejumlah daerah. Krisis ini makin mengkhawatirkan dan kian meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, degradasi lingkungan dan menurunnya ketersediaan air.

Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek ditemukan bahwa sekitar 77 persen kabupaten/kota di Jawa telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun.

Air merupakan sumber kehidupan. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air, kita akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam kacamata ekonomi, air pun menduduki peran utama bagi berbagai kepentingan seperti untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, transportasi, hingga penyediaan air bersih dan bahan baku air minum. Namun, air kini menghadapi problem serius berupa ancaman kelangkaan.

Dengan keterbatasannya ini, sungguh keliru kalau orang mengeksploitasi air secara berlebihan. Mereka memanfaatkan air seolah-olah air berlimpah dan merupakan "barang bebas". Padahal semakin terbatas jumlahnya, berlakulah hukum ekonomi, bahwa air merupakan benda ekonomi. Buktinya, kini orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal untuk membeli air ketika terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara tropis, seperti Indonesia, harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas.

Konservasi air merupakan isu serius yang harus betul-betul digarap. Konservasi yang dapat diterjemahkan sebagai kekekalan dan jangan sampai hanya dipandang sebagai tindakan penanaman pohon, tetapi merupakan semua tindakan yang membuat keberadaan air menjadi kekal dan lestari.

Air yang berasal dari hujan yang turun harus ditahan supaya lebih lama di daratan. Perlu upaya-upaya konservasi air yang disebut panen hujan dan aliran permukaan. Air dapat ditampung dalam berbagai bentuk konstruksi dari skala kecil sampai waduk multifungsi yang dapat mempunyai nilai ekonomi tinggi melalui pembangkit tenaga listrik, usaha perikanan, sumber air bersih dan pariwisata.

Beberapa sungai di kawasan timur Indonesia telah dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik seperti di Tondano, Sulawesi Utara. Tetapi, pembangunan waduk berskala besar tidak dapat dilakukan di semua tempat dan saat ini waduk besar dianggap tidak sustainable. Waduk besar sering tidak layak secara ekonomi karena biaya pembangunan dan pemeliharaan yang tinggi dan sulit diterima secara sosial jika disertai penggusuran. Sehingga, waduk besar dianggap tidak menguntungkan secara politis, baik bagi pihak pemberi pinjaman maupun pelaksana pembangunan. Karena itu, kecenderungan saat ini adalah dengan membangun usaha konservasi air berskala kecil yang dapat dibangun dan dipelihara oleh masyarakat setempat di pedesaan-pedesaan. Jadi, muncullah berbagai kearifan lokal di sini.

Topografi dan bentuk wilayah yang sesuai untuk pembangunan prasarana konservasi air seperti waduk tidak selalu dapat ditemukan di semua wilayah. Usaha panen hujan skala pedesaan dapat dilaksanakan tanpa perlu mengorbankan lahan untuk kepentingan utama seperti permukiman dan lahan pertanian. Struktur seperti rorak atau sumur resapan dam parit (channel reservoir) hanya memanfaatkan ruang yang ada tanpa mengganggu fungsi lahan utama. Dam parit hanya memanfaatkan jalur drainase yang sudah ada sehingga tidak mengganggu lahan pertanian.

Air juga dibiarkan merembes sehingga dapat meningkatkan aliran dasar sehingga mengisi air sumur di hilir. Pertimbangan dalam menentukan posisi dam parit adalah daya tampung dan biaya sehingga dipilih jalur ang paling sempit di hilir cekungan yang cukup besar.

Di Nusa Tengara telah banyak dibangun embung, suatu waduk kecil yang dapat menampung air antara 5.000-10.000 m3 di lahan pertanian untuk keperluan musim kemarau. Pemanfaatan air embung biasanya hanya untuk masing-masing lahan usaha tani petani atau beberapa petani dan keperluan rumah tangga lainnya. Tetapi, karena peningkatan jumlah penduduk, persaingan semakin ketat dalam penggunaan lahan sehingga di Lombok, embung yang tersisa hanya di bagian tenggara pulau ini.

Kelembagaan pengelolaan distribusi air untuk pertanian berbasis masyarakat telah lama berkembang di Bali dan Lombok. Sistem Subak ternyata jauh lebih langgeng dibandingkan dengan berbagai proyek irigasi yang lebih top down. Dengan memiliki sedahan manajer di level daerah aliran sungai (DAS) atau saluran primer dan pekasih manajer di saluran tersier, petani secara bersama mengelola air sebaik-baiknya.

Dengan meniru pola Subak, kelompok petani pemakai air di daerah lain seperti Bandung, dapat mengelola air tidak hanya di saluran tersier tetapi juga di saluran sekunder. Tetapi, masih ada tarik ulur antara berbagai kepentingan sehingga perlu dipecah bersama dalam pemanfaatan bersama secara proporsional.

Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air telah memberi banyak bukti bahwa konservasi air sangat mungkin dilakukan pada level-level masyarakat. Hanya saja, demi keberlanjutan di tengah tarik ulur berbagai kepentingan yang seringkali sulit dihindari, seperti yang dialami di Bandung, perlu dibentuk semacam Forum DAS dengan memainkan juga peran kelembagaan dari stakeholders lainnya.

Peran-peran yang harus diisi antara lain, rulator yaitu institusi pengambil keputusan yang terdiri dari para pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan, keputusan atau perizinan. Peran ini bisa dimainkan oleh Bappeda, Dinas Tata Ruang, Dinas Kehutanan, Dinas Sumberdaya Air, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar